Tahun 2019, ada sekitar 15.000 aui pair yang datang ke Jerman, sebagian besarnya lebih dari 9.000 orang, berasal dari luar Uni Eropa.
JERNIH—Caroline dan Oliver terlihat lelah. Mereka memiliki tiga anak, dua putra kembar berusia dua setengah tahun Jakob dan Jaron, dan kakak perempuan mereka Clara, lima setengah tahun. Sampai September lalu, mereka masih bisa bekerja dan menjalankan kehidupan seperti biasa dengan anak-anak, berkat bantuan Diana dari Kolombia.
Dia sudah bekerja satu tahun sebagai au pair untuk keluarga di Berlin ini. Dia menjaga si kembar dan kakak mereka, membantu mencuci pakaian dan mebersihkan rumah. Diana juga banyak membantu, ketika anak-anak sakit tidak bisa pergi ke taman kanak-kanak karena wabah corona.
Istilah “au pair” berasal dari bahasa Prancis. Seorang au pair bekerja dengan kontrak kerja. Itu biasanya berarti jam kerja sekitar 30 jam per minggu, dengan tugas mengurus anak-anak dan melakukan pekerjaan rumah tangga ringan. Imbalannya adalah kamar pondokan dan tunjangan sekitar 280 euro per bulan. Au pair juga memiliki hak cuti dan waktu khusus untuk kursus bahasa Jerman.
Banyak kaum muda dari luar negeri tertarik dengan program ini, karena merupakan cara yang baik untuk mengenal budaya dan belajar bahasa Jerman. Sedangkan bagi keluarga majikan, ini sering kali menjadi satu-satunya cara mendapat bantuan di rumah tangga, ketika kedua orang tua harus bekerja.
Tahun 2019, ada sekitar 15.000 aui pair yang datang ke Jerman, sebagian besarnya lebih dari 9.000 orang, berasal dari luar Uni Eropa. Kebanyakan datang dari Kolombia dan Georgia, diikuti oleh Ukraina, Rusia, Madagaskar, Zimbabwe, Brasil, dan Vietnam.
Setelah masa setahun berakhir, Diana harus kembali ke Kolombia. Oliver dan Caroline dengan sedih mengatakan, anak-anak mereka merindukan Diana. “Dia memasak makanan khas Kolombia untuk kami, mengajari Clara berhitung dalam bahasa Spanyol dan sering berdiskusi dengan saya dan suami saya sampai soal politik,” cerita Caroline. Seorang au pair memang sering menjadi bagian dari kehidupan keluarga.
Setelah Diana kembali ke negaranya, mereka tadinya mengharapkan kedatangan Seheno yang berusia 23 tahun dari Madagaskar. Tetapi karena wabah corona, Jerman menghentikan pemberian visa untuk program au pair. Oliver tidak bisa memahaminya. Dia mengatakan, au pair bukan program wisata, tetapi suatu masa tinggal jangka panjang yang dapat diatur “dengan sangat, sangat aman dan tanpa membahayakan orang lain.” Jika perlu, Oliver siap membayar biaya tes corona dan biaya hotel untuk masa karantina bagi Seheno.
Monika Supernok, wakil ketua asosiasi au pair “Guetegemeinschaft Au pair“, yang memastikan transparansi dan kontrol kualitas untuk program au pair di Jerman, juga menyayangkan larangan berkunjung ke Jerman. Dia telah berkampanye agar Jerman melonggarkan peraturan, sehingga memungkinkan kelangsungan program au pair selama masa pandemi, seperti yang dilakukan Prancis. Dia telah menulis surat kepada politisi dan meluncurkan petisi online yang diserahkan ke parlemen Jerman, Bundestag.
Tetapi situasi terbaru menunjukkan angka infeksi harian Covid-19 di Jerman terus meningkat. Monika Supernok mengatakan tidak berilusi bahwa Jerman akan melonggarkan larangan kunjungan bagi au pair.
Caroline dan Oliver juga ragu bahwa Seheno akan diizinkan melakukan perjalanan dari Madagaskar ke Jerman dalam beberapa minggu ke depan. Saat ini, mereka terpaksa membayar jasa baby sitter yang mahal. Putri mereka Clara juga menghabiskan lebih banyak waktu bersama kakek dan neneknya yang tinggal di negara bagian Niedersachsen. Untuk saat ini, mereka hanya bisa berharap bahwa vaksin Covid-19 cepat tersedia dan situasi wabah corona di Jerman cepat membaik. [Deutsche Welle]