Uncategorized

Pekan Ini, Kasus Maguindanao Massacre Diputuskan

Manila — Kamis, 19 Desember 2019, Pengadilan Manila akan memutus perkara pembunuhan politik paling keji dalam sejarah Filipina, dengan satu klan politik lokal di Pulau Mindanao menghabiskan seluruh sisa hidup di penjara.

Maguindanao Massacre, begitu pers menyebutnya, adalah pembunuhan politik paling keji dan pembantaian wartawan terbesar di dunia. Pembantaian terjadi Minggu 23 November 2009 di Ampatuan, Propinsi Maguindanao, Pulau Mindanao.

Sebanyak 58 orang tewas. Rincinya, 32 wartawan dan pekerja media, tujuh anggota klan Mangudadatu, tiga pengacara, dan sejumlah orang-orang dekat Keluarga Mangudadatu.

Pembunuhan berkaitan dengan politik. Andal Ampatuan Jr, walikota Datu Unsay dan putra Gubernur Maguindanao Andal Ampatuan Sr, mendapat tantangan dari Esmael Mangudadatu — wakil walikota Buluan.

Mereka konvoi dari Buluan untuk mendaftarkan Esmael Mangudadatu ke Komisi Pemilihan lokal. Bagi wartawan, pencalonan Keluarga Mangudadatu menjadi menarik, karena hanya keluarga ini yang berpeluang mengakhiri dinasti politik Ampatuan.

Setelah setengah perjalanan, sekelompok orang bersenjata menghentikan konvoi dengan hujan peluru dari berbagai arah. Seluruh anggota konvoi mati, orang yang kebetulan lewat dan menyaksikan peristiwa itu juga mati.

Hanya sebuah helikopter yang kebetulan melintas di atas peristiwa yang tidak ditembak, karena terbang cukup cepat. Namun, pilot heli menyaksikan kekejian itu.

Seluruh korban dan mobil yang mereka tumpangi berusaha dikubur. Alat berat menggali lubang-lubang besar di pinggir jalan, dan satu per satu mengubur mobil berisi mayat.

Tak seluruh korban terkubur. Pelaku pembantaian kabur meninggalkan korban begitu saja. Namun, pembantaian tidak berhenti sampai di situ.

Korban berikut adalah orang-orang yang berani menjadi saksi. Salah satunya dibunuh di bandara, saat hendak ke Manila untuk bersaksi.

Kepolisian Filipina menangkap 101 tersangka; terdiri dari anggota Klan Ampatuan dan anggota pasukan pribadinya. Mereka mengikuti sidang yang diwarnai isu suap, penangguhan penahanan, hilangnya beberapa saksi, dan ketakutan bahwa Ampatuan terlalu kuat untuk dilawan.

Carlos Conde, peneliti Human Right Watch, mengatakan putusan bersalah akan memberi sinyal kepada pelanggar HAM bahwa siapa pun tidak akan bisa lolos.

“Putusan tidak bersalah akan menjadi bencana besar bagi kemanusiaan dan keadilan,” katanya. “Akan ada asumsi bahwa pembunuhan adalah bisnis biasa dalam politik Filipina.”

Pelaku pembunuhan, lanjutnya, akan terus menggunakan kekerasan, intimidasi, dan korupsi, selama memerintah komunitas mereka.

Seluruh tersangka akan menghadapi ancaman hukuman 30 tahun penjara tanpa pembebasan bersyarat. Saat ini, seluruh Klan Ampatuan mendekam di penjara, lainnya berada di luar dengan status bebeas dengan jaminan.

“Kami berharap dan berdoa mendapatkan penilaian adil,” kata Mary Grace Morales, yang saudara perempuan dan suaminya terbantai di antara 32 wartawan.

“Mereka, orang Ampara — sebutan untuk orang-orang Ampatuan — punya kekuatan dan uang,” lanjutnya. “Mereka dapat membayar banyak pengacara untuk menangani kasus mereka.”

Pers Filipina memberitakan tersangka pembunuhan ini bukan 101, tapi 197. Sebanyak 80 masih buron, termasuk 15 anggota Klan Ampatuan.

Pembunuhan terjadi saat Filipina diperintah Presiden Gloria Macapagal Arroyo. Saat itu, posisi Arroyo serba sulit, karena dialah yang memberi kebebasan Klan Ampatuan punya banyak senjata.

Arroyo menjadikan Klan Ampatuan sebagai penyangga, atau lebih tepatnya milisi Muslim milik pemerintah, terhadap pemberontak Muslim Mindanao. Klan Ampatuan berharap Arroyo mengintervensi kasus ini. Arroyo tidak mungkin melakukannya karena sangat berisiko.

Bukti bahwa Klan Ampatuan masih sangat kuat terlihat pada pemilihan lokal Mei 2019. Sajid Ampatuan, satu dari 10 anggota Klan Ampatuan yang menajdi tersangka tapi dibebaskan dengan jaminan, memenangkan 25 kursi.

Back to top button