Site icon Jernih.co

Saat Tumbila Bisa Jadi Seekor Pet

JAKARTA— “Tumbila diadu boksen

Ditonjokan ku adina

Beuki lila beuki bosen

Horeng tos aya gantina..” [‘Tumbila Diadu Boksen’—Sinden Upit Sarimanah]

Sampai sekitar kelas tiga SD, hampir setiap pekan saya menginap di rumah Uyut Jia. Saya lupa nama asli Uyut, karena konon kata Ibu, Jia hanyalah sebutan dari kata ‘Hijina’—yang satunya. Ibu, dari pihak kakek memiliki dua nenek, Uyut Jia dan kalau tak salah—Uyut Bati, yang mungkin juga disebut begitu karena beliau pedagang beras.

Biasanya, Sabtu siang usai sekolah dan pulang ke rumah, saya akan langsung berangkat. Tas saya akan berisi sepotong baju dan celana, sarung untuk shalat dan selimut, serta sebuah buku bacaan. Meski di rumah Uyut  bisa dipastikan saya akan tenggelam dalam banyak permainan kanak-kanak bersama para sepupu dan sepupu jauh, tetap saja buku selalu saya bawa. Kebiasaan itu masih nempel hingga hari ini.

Tentang berbagai permainan yang bisa dilakukan saat menginap, biarlah saya tulis lain kali.

Jarak rumah kami di Putat Barat dengan kampung Omas tempat Uyut tinggal, kalau dulu sih tak terasa jauh. Hanya terhalang dua kampung. Kampung Lapang Sari dan Teluk Jambe bila melintas kawasan pabrik gula, atau Kampung Dukuh Domba dan Teluk Jambe Kaler bila melintas jalan kampung. Jalan tersebut menjadi ruas transportasi yang menghubungkan banyak kampung di desa kami. Meski belum beraspal, cukup bagus dan bisa dilintasi mobil karena dikeraskan dengan batu-batu kali. Kedua jalan itu masing-masing tak lebih dari lima kilometer dan saya tempuh dengan berjalan kaki.

Uyut Jia tinggal sendiri. Uyut Endo, suaminya, meninggal kalau tak salah saat saya kelas satu SD. Uyut sudah jarang memasak di dapur yang masih memakai kayu bakar. Untuk keperluan makan-minum, baik pagi siang atau pun sore, keluarga Aki Endo–anaknya yang terpisah tiga rumah, selalu mencukupi.

Ada sekitar tiga kamar di rumah yang ditinggali Uyut. Hanya satu yang dipakai buat kami semua tidur: Uyut, Bi Erni, Bi Yanti, dan saya. Namanya saja bibi, karena mereka sebaya, bahkan Bi Yanti lebih muda dibanding saya. Satu kamar tidur lain tak pernah diisi. Sementara satunya dipakai sebagai ‘goah’—tempat persediaan logistik serta tempat ‘ngukus’ alias menaruh sesajen tiap malam Jumat.

Anak-anak lain jarang mau masuk ke goah, kecuali saya. Saya—di usia itu selalu terpukau dan kerap mengelus-elus keris dan sebilah golok tua yang tergantung di sana. Konon kata Ibu, keris dan golok itu sesekali suka bergerak-gerak. Biasanya pertanda akan ada ‘sesuatu yang besar’ terjadi. Misalnya, konon lagi, saat menjelang G30S. Di kemudian hari setelah dewasa, kedua benda itu oleh ahli waris diserahkan kepada saya.

Kami berempat sama-sama tidur di satu ranjang. Ranjang besi yang kokoh dari tahun 1940-an. Sebelum digelari kasur kapuk randu, alasnya dari papan dan talupuh—papan dari bambu yang dibelah, lalu dicacah agar rata.  Talupuh, papan dan kasur inilah salah satu penarik saya datang menginap, meski harus seranjang berempat. Saya biasanya tidur tegak lurus dengan kaki-kaki Uyut, Bi Erni dan Bi Yanti, yang berjajar di posisi lain. Entah ukuran berapa ranjang besi itu.

Biasanya, sekali sebulan, menjelang siang kami sama-sama menunggu seseorang. Orang yang tak lain tukang basmi tumbila alias kepinding atawa kutu busuk, datang dengan teriakannya yang khas. “Basmi Tumbilaaa! Tumbilaaaaa! Tumbilaaaaaa!”

Tak akan lama setelah teriakan itu akan datang seseorang bersepeda kumbang alias sepeda onthel. Di salah satu sisi sadel belakang terikat sebuah pompa tangan: pompa pembasmi tumbila tea! Kami akan langsung meneriakinya pertanda memerlukan jasanya.   “Mang, tumbila!” Atau bahkan cukup,”Tumbila!”

Biasanya jasa si Mamang Tumbila kami perlukan setelah kerja sebenarnya kelar kami lakukan. Awalnya kami angkat kasur kapuk yang kami pakai semalam ke halaman, menjemurnya di terik matahari. Lalu satu persatu papan dan talupuh pun kami angkat dan jemur dalam posisi berdiri, setidaknya doyong menempel ke tembok.

Tak lama, hanya dalam beberapa menit, berhamburanlah binatang-binatang yang semalam berpesta pora mengisap darah kami: tumbila! Sesegera itu pula kami berburu, menelisik setiap lipatan kasur dan celah papan, mencari tumbila. Pekerjaan ini bagi saya mengasyikan. Seolah seorang gunslinger yang menandai bedil atau pegangan pistolnya dengan coretan pisau, saya sengaja menindas tumbila itu pada papan atau talupuh. Setiap tindasan menimbulkan garis merah, darah kami yang semalaman direguk si bangsat! Anehnya, tak jarang kami membaui tangan yang dipakai untuk menindas tumbila itu, seolah ingin memastikan bau hangru yang meruap kuat. Entah mengapa, karena kami lihat orang dewasa pun tak jarang melakukannya.

Tumbila di kasur Uyut itu menurut saya yang layak dicatat sebagai rekor sepanjang saya tahu. Selalu jumlah garis merah yang ada di akhir ‘permainan’ itu ratusan jumlahnya.

Nah, biasanya tukang tumbila baru kami panggil setelah perburuan kami selesai. Dia akan turun, mengambil pompanya dan mengisi pompa tersebut dengan air. Lalu diambilnya botol berisi cairan yang setelah saya melek membaca baru tahu itu adalah DDT (dikloro difenil trikloro-etan). Dicampurnya DDT ke dalam pompa, dipompa beberapa kali hingga tekanan di dalam tinggi. Barulah ia akan menyemprot seluruh bidang kasur, papan, talupuh, bahkan ranjang di dalam, seteliti mungkin. Alhasil, sebenarnya penyemprotan lebih untuk menegaskan bahwa tak hanya ditindas, seluruh tumbila, anak-anak hingga telurnya sudah kami basmi dengan DDT.  

Belakangan saja kami tahu DDT zat yang sangat berbahaya. Pengetahuan itu pula tampaknya, yang membuat tukang tumbila perlahan hilang dari masyarakat.  

Entah karena sanitasi yang membaik, tumbila pun perlahan hilang. Teriakan tumbila pun makin jarang terdengar. Sebagaimana pada kutu rambut, orang makin lama tampaknya makin segan membicarakannya. Seperti kutu rambut kemudian dianggap aib, keberadaan tumbila di rumah pun tampaknya demikian adanya. Pada akhir 1990-an, saya masih teriakan “Tumbilaaa…” itu lamat-lamat, di sebuah gang kecil tanpa saya lihat orangnya.

Baru puluhan tahun kemudian, pada 2018, saya kembali menemukan binatang langka tersebut. Di sel saya di Cipinang. Cukup banyak, meski tak sebuaaanyak yang ada di kasur Uyut dulu. Awalnya hendak saya basmi habis, tapi sebuah pikiran berkelebat lain. Saya sisakan sepasang, yang semoga berlainan kelamin.

Setiap bulan, manakala saya telisik, jumlahnya bertambah. Syukurlah, keberadaan mereka juga yang barangkali bisa membangunkan saya setiap malam untuk berusaha menyungkur berdoa. Seorang teman satu sel, Mas Jay, juga sempat meminta dua ekor—semoga artinya sepasang, untuk ia taruh di kasur lipat lipatnya. Sesekali, manakala membaca, jalan-jalan keliling lapangan atau mendengarkan ceramah mulai terasa membosankan, kami pun menelisik kasur. Tumbila, bagi sebagian kecil orang, juga bisa menjadi upaya menjaga kewarasan. [ ]  

JAKARTA— “Tumbila diadu boksen

Ditonjokan ku adina

Beuki lila beuki bosen

Horeng tos aya gantina..” [‘Tumbila Diadu Boksen’—Sinden Upit Sarimanah]

Sampai sekitar kelas tiga SD, hampir setiap pekan saya menginap di rumah Uyut Jia. Saya lupa nama asli Uyut, karena konon kata Ibu, Jia hanyalah sebutan dari kata ‘Hijina’—yang satunya. Ibu, dari pihak kakek memiliki dua nenek, Uyut Jia dan kalau tak salah—Uyut Bati, yang mungkin juga disebut begitu karena beliau pedagang beras.

Biasanya, Sabtu siang usai sekolah dan pulang ke rumah, saya akan langsung berangkat. Tas saya akan berisi sepotong baju dan celana, sarung untuk shalat dan selimut, serta sebuah buku bacaan. Meski di rumah Uyut  bisa dipastikan saya akan tenggelam dalam banyak permainan kanak-kanak bersama para sepupu dan sepupu jauh, tetap saja buku selalu saya bawa. Kebiasaan itu masih nempel hingga hari ini.

Tentang berbagai permainan yang bisa dilakukan saat menginap, biarlah saya tulis lain kali.

Jarak rumah kami di Putat Barat dengan kampung Omas tempat Uyut tinggal, kalau dulu sih tak terasa jauh. Hanya terhalang dua kampung. Kampung Lapang Sari dan Teluk Jambe bila melintas kawasan pabrik gula, atau Kampung Dukuh Domba dan Teluk Jambe Kaler bila melintas jalan kampung. Jalan tersebut menjadi ruas transportasi yang menghubungkan banyak kampung di desa kami. Meski belum beraspal, cukup bagus dan bisa dilintasi mobil karena dikeraskan dengan batu-batu kali. Kedua jalan itu masing-masing tak lebih dari lima kilometer dan saya tempuh dengan berjalan kaki.

Uyut Jia tinggal sendiri. Uyut Endo, suaminya, meninggal kalau tak salah saat saya kelas satu SD. Uyut sudah jarang memasak di dapur yang masih memakai kayu bakar. Untuk keperluan makan-minum, baik pagi siang atau pun sore, keluarga Aki Endo–anaknya yang terpisah tiga rumah, selalu mencukupi.

Ada sekitar tiga kamar di rumah yang ditinggali Uyut. Hanya satu yang dipakai buat kami semua tidur: Uyut, Bi Erni, Bi Yanti, dan saya. Namanya saja bibi, karena mereka sebaya, bahkan Bi Yanti lebih muda dibanding saya. Satu kamar tidur lain tak pernah diisi. Sementara satunya dipakai sebagai ‘goah’—tempat persediaan logistik serta tempat ‘ngukus’ alias menaruh sesajen tiap malam Jumat.

Anak-anak lain jarang mau masuk ke goah, kecuali saya. Saya—di usia itu selalu terpukau dan kerap mengelus-elus keris dan sebilah golok tua yang tergantung di sana. Konon kata Ibu, keris dan golok itu sesekali suka bergerak-gerak. Biasanya pertanda akan ada ‘sesuatu yang besar’ terjadi. Misalnya, konon lagi, saat menjelang G30S. Di kemudian hari setelah dewasa, kedua benda itu oleh ahli waris diserahkan kepada saya.

Kami berempat sama-sama tidur di satu ranjang. Ranjang besi yang kokoh dari tahun 1940-an. Sebelum digelari kasur kapuk randu, alasnya dari papan dan talupuh—papan dari bambu yang dibelah, lalu dicacah agar rata.  Talupuh, papan dan kasur inilah salah satu penarik saya datang menginap, meski harus seranjang berempat. Saya biasanya tidur tegak lurus dengan kaki-kaki Uyut, Bi Erni dan Bi Yanti, yang berjajar di posisi lain. Entah ukuran berapa ranjang besi itu.

Biasanya, sekali sebulan, menjelang siang kami sama-sama menunggu seseorang. Orang yang tak lain tukang basmi tumbila alias kepinding atawa kutu busuk, datang dengan teriakannya yang khas. “Basmi Tumbilaaa! Tumbilaaaaa! Tumbilaaaaaa!”

Tak akan lama setelah teriakan itu akan datang seseorang bersepeda kumbang alias sepeda onthel. Di salah satu sisi sadel belakang terikat sebuah pompa tangan: pompa pembasmi tumbila tea! Kami akan langsung meneriakinya pertanda memerlukan jasanya.   “Mang, tumbila!” Atau bahkan cukup,”Tumbila!”

Biasanya jasa si Mamang Tumbila kami perlukan setelah kerja sebenarnya kelar kami lakukan. Awalnya kami angkat kasur kapuk yang kami pakai semalam ke halaman, menjemurnya di terik matahari. Lalu satu persatu papan dan talupuh pun kami angkat dan jemur dalam posisi berdiri, setidaknya doyong menempel ke tembok.

Tak lama, hanya dalam beberapa menit, berhamburanlah binatang-binatang yang semalam berpesta pora mengisap darah kami: tumbila! Sesegera itu pula kami berburu, menelisik setiap lipatan kasur dan celah papan, mencari tumbila. Pekerjaan ini bagi saya mengasyikan. Seolah seorang gunslinger yang menandai bedil atau pegangan pistolnya dengan coretan pisau, saya sengaja menindas tumbila itu pada papan atau talupuh. Setiap tindasan menimbulkan garis merah, darah kami yang semalaman direguk si bangsat! Anehnya, tak jarang kami membaui tangan yang dipakai untuk menindas tumbila itu, seolah ingin memastikan bau hangru yang meruap kuat. Entah mengapa, karena kami lihat orang dewasa pun tak jarang melakukannya.

Tumbila di kasur Uyut itu menurut saya yang layak dicatat sebagai rekor sepanjang saya tahu. Selalu jumlah garis merah yang ada di akhir ‘permainan’ itu ratusan jumlahnya.

Nah, biasanya tukang tumbila baru kami panggil setelah perburuan kami selesai. Dia akan turun, mengambil pompanya dan mengisi pompa tersebut dengan air. Lalu diambilnya botol berisi cairan yang setelah saya melek membaca baru tahu itu adalah DDT (dikloro difenil trikloro-etan). Dicampurnya DDT ke dalam pompa, dipompa beberapa kali hingga tekanan di dalam tinggi. Barulah ia akan menyemprot seluruh bidang kasur, papan, talupuh, bahkan ranjang di dalam, seteliti mungkin. Alhasil, sebenarnya penyemprotan lebih untuk menegaskan bahwa tak hanya ditindas, seluruh tumbila, anak-anak hingga telurnya sudah kami basmi dengan DDT.  

Belakangan saja kami tahu DDT zat yang sangat berbahaya. Pengetahuan itu pula tampaknya, yang membuat tukang tumbila perlahan hilang dari masyarakat.  

Entah karena sanitasi yang membaik, tumbila pun perlahan hilang. Teriakan tumbila pun makin jarang terdengar. Sebagaimana pada kutu rambut, orang makin lama tampaknya makin segan membicarakannya. Seperti kutu rambut kemudian dianggap aib, keberadaan tumbila di rumah pun tampaknya demikian adanya. Pada akhir 1990-an, saya masih teriakan “Tumbilaaa…” itu lamat-lamat, di sebuah gang kecil tanpa saya lihat orangnya.

Baru puluhan tahun kemudian, pada 2018, saya kembali menemukan binatang langka tersebut. Di sel saya di Cipinang. Cukup banyak, meski tak sebuaaanyak yang ada di kasur Uyut dulu. Awalnya hendak saya basmi habis, tapi sebuah pikiran berkelebat lain. Saya sisakan sepasang, yang semoga berlainan kelamin.

Setiap bulan, manakala saya telisik, jumlahnya bertambah. Syukurlah, keberadaan mereka juga yang barangkali bisa membangunkan saya setiap malam untuk berusaha menyungkur berdoa. Seorang teman satu sel, Mas Jay, juga sempat meminta dua ekor—semoga artinya sepasang, untuk ia taruh di kasur lipat lipatnya. Sesekali, manakala membaca, jalan-jalan keliling lapangan atau mendengarkan ceramah mulai terasa membosankan, kami pun menelisik kasur. Tumbila, bagi sebagian kecil orang, juga bisa menjadi upaya menjaga kewarasan. [ ]  

Exit mobile version