Akan selalu ada yang dilakukan Cina. Jika bukan ekspansi teritorial, mereka mencoba mengkomodifikasi kedaulatan kami dengan membeli para pemimpin seperti yang mereka lakukan di Kamboja dan Laos.
Thachaporn Supparatanapinyo/aktivis mahasiswa Thailand yang tinggal di Taiwan.
Bangkok — Bagi yang pernah menyaksikan demo di Hong Kong selama 2019, mungkin akan merasa asing berada di tengah masa demonstran di Bangkok, ibu kota Thailand, akhir-akhir ini. Ada ‘bahasa yang sama’, dan itu bernama Aliansi Teh Susu.
Pengunjuk rasa dari kalangan generasi muda, berpakaian hitam, mengenakan topi keras, turun ke jalan-jalan di tempat yang diumumkan pada menit terakhir di media sosial. Ketika polisi mendekat, para demonstran bersiap untuk konfrontasi, mereka menggerakan tangan dan membentuk rantai mansuia untuk memastikan perbekalan — termasuk masker pelindung dan air — mencapai garis depan.
Taktik yang diadopsi dari demonstran di Hong Kong membantu aksi demo bertahan dari polisi menciduk para pemimpinnya, dan upaya langsung PM Thailand Prayuth Chan-ocha membubarkan aksi.
Bangkok bukan satu-satunya yang terinspirasi Hong Kong. Dalam beberapa bulan terakhir, solidaritas tak terduga berkembang di kalangan aktivis muda di Thailand, Taiwan, dan Hong Kong. Semula solidaritas itu terlihat di media sosial, belakangan terlihat di jalan-jalan; di depan pengadilan dan koridor kekuasaan.
Baca Juga:
— Menggugat Status ‘Dewa’ Raja Thailand
Lambang koalisi ketiganya, sebut saja Asia Timur, sangat lucu, yaitu teh susu — minuman sederhana yang biasa dinikmati di negara-negara Asia. Pengunjuk rasa melabeli dukungan lintas batas mereka yang tidak terduga sebagai Aliansi Teh Susu.
Teh susu dinimun secara berbeda di setiap tempat. Di Taiwan, teh susu dinikmati dengan gelembung tapioka dan es. Di Hong Kong, teh susu panas serasa lebih nikmat. Di Thailand, susu kental lebih mendominasi ketimbang teh.
Bahan dasar teh susu tetap sama, yaitu teh dan susu. Keduanya melambangkan tujuah dasar para demonstran, yaitu demokrasi.
“Jika Anda harus bersaing dengan kekuatan besar, Anda harus kreatif,” kata Netiwit Chotiphatphaisal, aktivis mahasiswa terkenal di Bangkok. “Namanya sangat lucu, dan itu menarik orang untuk tidak agresif.”
Seni protes yang dipublikasikan secara online menunjukan tiga teh dibesarkan bersama dalam toast. Gambar lain menunjukan minuman itu sebagai karakter komik lucu, yang berpegangan tangan dalam solidaritas, dan di atasnya lambang cinta melayang.
Mahasiswa Thailand berjuang melawan monarki yang kuat, dan menuntut demokrasi dan akuntabilitas. Di Hong Kong, mahasiwa melawan pemerintah yang didukung Beijing. Di Taiwan, politisi dan aktivis terlibat dalam pertempuran eksistensial dengan Cina, yang melihat pulau itu sebagai propinsi pembangkang.
Ada satu kesamaan dari ketiganya, yaitu melawan kekhawatiran tentang Cina. Pemerintah militer Thailand saat ini adalah sekutu utama Cina.
Janjira Sombatpoonsiri, asisten profesor ilmu politik Universitas Thammasat, mengatakan pengunjuk rasa di Thailand yang terinspirasi gerakan di Hong Kong melihat kesejajaran langsung antara pengalaman politik mereka dengan aktivis yang menentang otoritarianisme Cina.
“Ketika Anda melihat Hong Kong sebagai warga negara Thailand, Anda melihat pengulangan aturan otokratis lainnya; penindasan, kebohongan dan propaganda, disinformasi, dan penyalah-gunaan kekuasaan,” kata Janjira.
Lebih 80 pengunjuk rasa di Thailand ditangkap, para pemimpin kunci masih ditahan. Tiga dari mereka didakwa di bawah Undang-undang yang melindungi keluarga kerajaan. Ketiganya menyerang mobil iring-iringan ‘ratu’ dan terancam hukuman mati.
Pengunjuk rasa di Thailand tidak hanya melihat tujuan bersama, tapi juga musuh bersama yaitu Cina. Thachaporn Supparatanapinyo, aktivis mahasiswa Thailand yang tinggal di Taiwan, menggambarkan aliasi teh susu sebagai contoh sempurna sebuah gerakan regional.
“Untuk Partai Komunis Cina, akan selalu ada yang berikutnya dan berikutnya,” kata Supparatanapinyo. “Jika bukan ekspansi teritorial, mereka akan coba mengkomodifikasi kedaulatan kami, dengan membeli para pemimpin seperti yang mereka lakukan di Kamboja dan Laos.”
Jerry Liu, direktur urusan internasional Partai Kekuatan Baru di Taiwan, mengakui bahwa bagi banyak orang Taiwan, Aliansi Tek Susu hanya slogan yang samar dan mewah.
Namun, lanjutnya, sejarah demokratisasi yang relatif baru di Taiwan dan perjuangan konstannya untuk mempertahankan pemerintahan sendiri seharusnya membuat aktivis pro-demokrasi di tempat lain menjadi sekutu kami.