Saat saya SMA dan kemudian memasuki perguruan tinggi, manakala lagu “Aisyah Adinda Kita” dari Grup Bimbo menjadi hits, saya selalu meyakini bahwa lagu itu sedikit atau bahkan seluruhnya, mengambil fragmen-fragmen kehidupan Anne Rufaidah.
Oleh : Darmawan Sepriyossa
JERNIH—Saya mulai mengenal Anne Rufaidah dari lensa mata seorang bocah menjelang akil baligh. Di sekitar tahun 1984 itu, saat duduk di kelas dua SMP dengan uang jajan yang kadang datang dan tidak, saya sering membawa kimpul (wadah air minum) dan menahan keinginan untuk membeli penganan di warung sekolah, agar di hari kesekian bisa mendatangi sebuah kios buku dan majalah bekas di antara los-los ikan asin dan sayuran di Pasar Kadipaten, Majalengka.
Di tempat itu saya bisa membeli majalah TEMPO dan Zaman, bekas, secara kiloan. Kalau tak salah, tak lebih dari Rp 50—atau bahkan kurang, sekilo. Sepekan menahan diri itu membuat saya bisa membeli setidaknya dua atau tiga kilo majalah, berisikan puluhan majalah bekas yang akan dengan antusias saya lahap di antara keharusan membaca buku-buku pelajaran. Sejak kelas dua SMP itu, dalam setengah kebingungan kurang mengerti, setengah bangga karena bacaan saya bukan lagi Si Kuncung, Bobo, Ananda, Kawanku, Eppo atau bahkan Hai, saya dengan rajin menggunting Kiat-nya Bondan Winarno, Catatan Pinggir-nya Goenawan Muhamad, serta kolom-kolom bernas di era yang tak pernah lagi ada, dari para kolomnis seperti Mahbub Junaidi, MAW Brouwer, Gus Dur, Masri Singarimbun, Sudjoko, Emha Ainun Najib, Arief Budiman dan lain-lain, serta mengklipingnya rapi. Dalam sikap sok mengerti itu, saya sampai kini masih terkesan dengan beberapa kolom yang mereka tulis. Misalnya “Slilit Sang Kiyai” dari Emha, “Menunggu Setan Lewat” tulisan Gus Dur, atau tulisan Arief Budiman yang judulnya lupa, tentang pertanyaan yang diajukan Sphinx kepada Oedipus.
Dari majalah-majalah bekas itu, seorang bocah laki-laki menemukan Anne.
Awalnya dari majalah Zaman, ‘adik’ majalah TEMPO yang saat itu dikomandani Putu Wijaya. Anne tak sekadar nongol, ia bahkan menjadi gambar sampul majalah keluarga itu pada edisi 5 November 1983. Judul yang buat orang saat ini “ tak ada apa-apanya” itu, buat situasi di tahun 1980-an tergolong berani, bahkan nekat: “Anne Rufaidah Pro Jilbab”.
Judul itu bisa membuat Anne sebagai narasumber penulisan, kalau pun tidak dipanggil kantor Komando Distrik Militer (Kodim) atau Kantor Sosial Politik setempat, dipastikan akan membuat namanya tercatat sebagai bagian dari orang yang harus ‘ditengarai’. Saat itu jilbab adalah barang yang terlarang untuk dikenakan; yang membuat sekian banyak siswi SMP-SMA yang teguh memakainya dikeluarkan dari sekolah-sekolah negeri. Kalau pun tidak dikeluarkan, proses belajar mereka dikumpulkan dalam satu kelas, tak peduli–bila SMA—siswa itu ada di jurusan IPA atau IPS. Tegasnya, memutuskan memakai jilbab dan kukuh memegang komitmen untuk tetap bertahan, saat itu adalah perjuangan yang berat.
Tak hanya di ruang-ruang kelas para gadis belia itu diriksak, dirundung dan dihinakan. Di masyarakat pun dihemuskan sekian banyak isyu tentang kain penutup kepala dan para pemakainya tersebut. Mulai dari pemakainya adalah anggota Jamaah Imran bin Muhammad Zein, Komando Jihad, Islam Jamaah, penyebar racun, atau stereotype lain yang saat ini mungkin sepadan dengan tudingan teroris.
Dengan segala kondisi tersebut, orang beradab saat itu tak punya kemungkinan lain kecuali mengapresiasi dengan penuh hormat kepada seorang gadis pemakai jilbab. Apalagi bila gadis itu belum lagi usai dari masa pubertasnya.
Pilihan menjadikan Anne sebagai sampul Zaman pun tampaknya karena sikap tegas itu. Sebuah pilihan yang memang wajar dan masuk akal, di saat mayoritas orang-orang ketika itu terdiam menghadapi penyeragaman. Sementara, newspeg karena gadis muda itu terpilih sebagai Puteri Remaja Indonesia, sudah lewat tiga tahun sebelumnya. Pada saat Anne terpilih sebagai Puteri Remaja Indonesia 1980 itu, kolomnis Goenawan Mohamad menulis dalam Catatan Pinggir-nya, “Anne”. Seingat saya, tak banyak gadis muda menarik Goenawan untuk ia catat di kolom khasnya itu.
“IA berumur 18 tahun. Rambutnya hitam lebat, terurai ke bahu. Matanya berbentuk lingsa dan jeli. Tubuhnya sintal, pipinya seperti tomat yang segar. Dia dipanggil Anne, dengan dua “n”. Dia pandai merancang mode. Dia gemar membaca Agatha Christie. Dia dinobatkan sebagai “Putri Remaja Indonesia 1980”, menurut pilihan majalah Gadis. Tapi yang menarik dari semua itu ialah tambahannya: Anne, dengan dua “n”, akan menyumbangkan sebagian hadiah tabanasnya yang sebesar Rp 500.000 buat masjid sekolah. Anne agaknya sebuah fenomena…”
Catatan Pinggir itu memang kemudian melebar, menceritakan fenomena baru dalam kelas sosial di masyarakat, manakala kalangan santri disadari mulai menegaskan ek-sistensi diri. “Sepuluh tahun yang akan datang siapa tahu pembedaan yang dulu berlaku, antara santri dan abangan, misalnya, akan kian cair, dan para sarjana seperti Clifford Geertz harus menemukan kategorisasi yang baru,” tulis GM.
Tentu saja artikel dan sampul Majalah Zaman, serta Catatan Pinggir di TEMPO 26 Juli 1980 yang saya dapatkan lebih kemudian itu saya gunting, simpan dan meneguhkan gambaran ideal lawan jenis di kepala saya yang beranjak akil baligh. Saat saya SMA dan kemudian memasuki perguruan tinggi, manakala lagu “Aisyah Adinda Kita” dari Grup Bimbo menjadi hits, saya selalu meyakini bahwa lagu itu sedikit atau bahkan seluruhnya, mengambil fragmen-fragmen kehidupan Anne Rufaidah.
Entah mengapa gambar sampul Zaman di 1983 itu memuat foto lama, manakala Anne terpilih sebagai Puteri Remaja yang masih belum mengenakan jilbab. Padahal, hanya setahun setelah ia terpilih—manakala telah lepas SMA dan masuk Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, Anne mulai komit mengenakan jilbab. Alhasil, Anne tentu merupakan generasi pertama mahasiswa yang mengenakan jilbab di awal-awal 1980-an itu. Tahun-tahun yang pasti sulit, karena urusan pro-kontra foto berjilbab saja masih bergaung di ITB hingga pertengahan 1990-an. Saya cukup mengerti hal itu seiring terlibat intens dalam gerakan demonstrasi anti-pelarangan jilbab yang merebak di awal 1990-an, bermula dari Bandung. Alhamdulillah, gerakan yang menasional itu pada 1991 berhasil. Siswa SMP-SMP kemudian diperbolehkan mengenakan jilbab. Seingat saya, Anne juga menjadi bagian dari para perancang busana yang memikirkan bagaimana bentuk jilbab yang layak dikenakan sebagai bagian dari seragam sekolah, saat itu, yang dikoordinasi MUI.
Barangkali, sikap teguh Anne menghadapi semua konsekuensi sikapnya itu berawal dari keyakinan yang dengan jeli ditangkap Emha Ainun Najib dalam puisinya yang terkenal di era 1980-an akhir, ”Lautan Jilbab”. Dengan cerdas Emha melukiskan bagaimana kondisi keterkungkungan para pemakai jilbab itu dalam syairnya.
“Jilbab ini lagu sikap kami, tinta keputusan kami, langkah dini perjuangan kami. Jilbab ini surat keyakinan kami, jalan panjang belajar kami, proses pencarian kami. Jilbab ini percobaan keberanian di tengah pendidikan ketakutan yang tertata dengan rapi. Jilbab ini percikan cahaya dari tengah kegelapan, alotnya kejujuran di tengah hari-hari dusta. Jilbab ini eksperimen kelembutan untuk meladeni jam-jam brutal dari kehidupan. Jilbab ini usaha perlindungan dari sergapan-sergapan…”
Setahun setelah menjadi cover Zaman itu, Anne kembali menjadi sampul di majalah yang sama, 21 Juli 1984. Kali ini karena dirinya yang masih mahasiswa ITB itu menikah. “Nikah Bisa Menimbulkan Cinta. Bukan Nikah Karena Cinta”, judul sampul majalah itu, sebagaimana petikan pernyataan Anne. Yang menarik, pernikahan itu alih-alih membuat membuatnya tersandera dalam rutinitas rumah tangga sebagaimana bayangan konvensional orang-orang terhadap kalangan Muslimah, Anne malah seolah menjadikannya titik awal baru aktivisme yang dijalaninya.
Ia terlibat di banyak kegiatan Masjid Salman, mulai dari PAS yang mengurusi pembangunan jiwa para kanak-kanak, Kharisma buat remaja, hingga kegiatan yang di masa Rezim Orde Baru dianggap berbau politik dan karenanya harus diawasi: Lembaga Mujahid Dakwah, LMD, yang kemudian hari berubah nama menjadi Study Islam Intensif (SII). Mungkin karena di sana ada nama founder yang selalu dikaitkan dengan keberadaan program tersebut, Muhammad Immaduddin Abdurrachim, alias Bang Imad. Pada Anne, tampaknya di sana terjadi proses persenyawaan yang ideal: Anne tak hanya menjiwai LMD sebagai program yang ia ampu, melainkan juga dijiwai olehnya.
Jadi, manakala dunia berubah dan hijab pun kini menjadi mode busana yang kian dianggap wajib sebagaimana tuntutan agama bagi kaum Muslimah, Anne Rufaidah jelas tak sekadar perancang busana. Ia datang sebagai ‘subjek’ paling riil komunitas busana Muslimah itu, yang tak hanya mengerti setiap detak perjalanannya dari awal, melainkan pula pedih perinya di saat komunitas itu masih serupa tunas. Ia pula yang menyemai kesadaran berbusana Muslimah itu di antara para Muslimah belia, menanam kesadaran itu di berbagai tempat, sementara mungkin yang lain hanya menganggap mereka sebagai ‘pasar’ pada saatnya kini.
Jadi, manakala pada Kamis 9 Juli 2020 Allah memintanya kembali, yang ada hanyalah perjalanan Anne yang telah paripurna. Seiring hijab yang semakin menjadi budaya, kita semua–tak hanya para Muslimah, akan senantiasa mengenangnya. [ ]