Dalam sistem lembaga pemasyarakatan, narapidana terorisme Indonesia dan Malaysia telah meradikalisasi hingga merekrut sesama tahanan, bahkan penjaga.
JAKARTA—Setelah hampir setahun pasca-jatuhnya benteng terakhir kekuatan ISIS di Baghouz, Suriah, sebuah pertanyaan wajar menyeruak: bagaimana nasib ratusan relawan yang bersedia datang dari Asia Tenggara untuk berjuang demi ISIS yang mereka anggap kebenaran? Nasib mereka, jujur saja, penuh ketidakjelasan.
Berdasarkan estimasi, ribuan orang dari Filipina, Indonesia dan Malaysia, selama periode-periode awal kemunculan ISIS rela melakukan perjalanan ke luar dari negeri mereka. Orang-orang itu, dengan aneka latar belakang dan tujuan, datang ke Suriah untuk berperang bersama ISIS dan kelompok-kelompok militan lainnya.
Seiring jatuhnya ISIS dan terbukanya berbagai kedok yang menutupi kebohongan selama ini, puluhan orang telah kembali ke negeri-negeri asal mereka. Ada kira-kira 700 orang Indonesia dan 65 orang Malaysia ditahan di penjara-penjara dan kamp-kamp Pasukan Demokratik Suriah (SDF) di Suriah utara. Mungkin mereka bisa melarikan diri manakala SDF kehilangan kendali atas kamp-kamp tersebut bila ketidakstabilan akibat oerang terjadi, terutama akibat konflik yang kini melibatkan Turki sebagai lawan. Paling tidak, hal itu telah terjadi pada sebagian mereka, manakala pada Oktober 2019 lalu sekitar 50 relawan garis keras (ergeka) yang berafiliasi dengan ISIS asal Indonesia telah lolos dari tahanan SDF.
Mereka ini—ergeka yang kabur, sangat mungkin kembali ke tempat asal, dan punya potensi besar mengakses jaringan sesama ergeka lain di Asia Tenggara. Beberapa kelompok jihadis regional telah berjanji setia kepada ISIS, antara lain Jamaah Ansharut Daulah di Indonesia, hingga Kelompok Maute dan faksi Basilan dari Kelompok Abu Sayyaf di Filipina. Para ergeka kaburan asal Indonesia dilaporkan telah melakukan perjalanan dari Suriah dan Irak untuk bergabung dengan ISIS-Khorasan di Afghanistan.
Daveed Gartenstein-Ross dan Colin P. Clarke dari South China Morning Post berpendapat, tersedia banyak rute dan metode pulang bagi para ergeka. Mereka sangat mungkin untuk menghindar dari deteksi ketika kembali ke Asia Tenggara. Ini ibaratnya maling dengan polisi, kedua pihak senantiasa saling mencari kemajuan dan inovasi, saling adu akal untuk membuktikan siapa yang lebih unggul. Turki kemungkinan menjadi salah satu titik keluar dari Suriah, seperti yang ditunjukkan kedekatan geografisnya, serta beberapa rute yang terbukti digunakan para ergeka Eropa untuk pulang.
Lebih dekat ke ‘rumah’, Thailand dapat berfungsi sebagai titik masuk ke Malaysia dan kawasan Asia Tenggara yang lebih luas. Malaysia selama ini mengaku mengalami kesulitan untuk mengamankan perbatasan tersebut. Para eks-ergeka mungkin akan mencoba untuk mengeksploitasi rute penyelundupan yang sebelumnya digunakan oleh sel-sel teroris lokal. Upaya untuk menghindari deteksi saat kembali masuk Asia Tenggara itu bisa jadi juga menyatu dengan arus pengungsi dan migran.
Jika para ergeka berhasil mencapai Asia Tenggara, mereka mungkin dapat mengeksploitasi rute transit ilegal dan perbatasan yang minim penjagaan untuk memfasilitasi perpindahan orang dan barang antara Indonesia, Malaysia, dan Filipina di sekitar Laut Sulu dan Laut Sulawesi. Gerakan tersebut dimungkinkan dengan adanya identifikasi palsu, yang bisa diperoleh para ergeka di Malaysia. Negara bagian Sabah, khususnya, selama ini terbukti telah menjadi pusat kegiatan tersebut.
Di antara negara-negara Asia Tenggara sejatinya tidak ada standar seragam dalam undang-undang dan kebijakan yang membahas para bekas ergeka yang kembali itu. Indonesia, Malaysia, dan Filipina, sama-sama telah memulangkan beberapa warga negara mereka dari Suriah dan Irak. Tetapi ada perbedaan penting dalam kebijakan mereka.
Sebagai contoh, Indonesia dan Malaysia memulangkan beberapa ergeka combatan dan anggota keluarga mereka. Laporan baru-baru ini menyatakan, Indonesia siap untuk memulangkan lebih dari 600 warga negara yang memiliki ikatan dengan kelompok-kelompok pro-ISIS. Filipina telah memulangkan pekerja asing mereka dari Suriah. Terdapat kekhawatiran bahwa berbagai organisasi teroris di Filipina mungkin berusaha untuk secara diam-diam memulangkan kembali para militan ke negara itu, dengan mengklaim bahwa orang-orang tersebut selama ini merupakan pekerja asing di luar negeri.
Kebijakan visa Indonesia, Malaysia, dan Filipina membuat negara-negara tersebut rentan terhadap para teroris yang berusaha untuk kembali dengan dokumentasi palsu. Malaysia tidak memerlukan visa untuk pelancong dari Suriah, Irak, dan Turki. Sedangkan Filipina tidak memerlukan visa untuk pelancong dari Turki. Indonesia secara otomatis akan memberikan visa pada saat kedatangan.
Negara-negara Asia Tenggara menghadapi tantangan yang signifikan dalam mencegah masuknya dan pergerakan militan. Malaysia telah menerapkan zona keamanan khusus di Sabah timur. Patroli udara dan laut bersama di Laut Sulu mampu mengurangi, tetapi tidak sama sekali menghilangkan risiko kembalinya eks-ergeka yang menggunakan rute penyelundupan.
Di Indonesia, upaya keamanan telah berulang kali terhambat oleh buruknya koordinasi antara lembaga-lembaga pemangku kepentingan. Di Filipina, Bandara Internasional Manila yang kumuh dan butut tak mampu menerapkan praktik keamanan yang memadai.
Untuk mengurangi ancaman yang ditimbulkan kembalinya para eks-ergeka, sebenarnya negara-negara Asia Tenggara telah memberlakukan sejumlah mekanisme hukum, meski tetap dengan berbagai kelemahan. Indonesia memperkenalkan undang-undang pada 2018 yang mengkriminalkan kegiatan terkait dengan bepergian ke luar negeri sebagai pejuang asing. Tetapi efektivitasnya mungkin terhambat oleh sistem peradilan.
Hukum Malaysia mengizinkan periode penahanan yang lama untuk para tersangka terorisme dan pemantauan pada saat mereka dibebaskan. Anggota keluarga para bekas militan yang kembali juga harus terus diawasi. Filipina memiliki mekanisme hukum yang terbatas. Serangan-serangan teroris di negara itu terus berlanjut meskipun telah ada berbagai kemajuan sejak pengepungan Marawi pada 2017.
Apa yang mungkin dilakukan oleh para militan yang kembali jika mereka berhasil menghindari pihak berwenang? Beberapa di antara mereka mungkin berusaha untuk meradikalisasi dan merekrut orang lain. Dalam sistem lembaga pemasyarakatan, narapidana terorisme Indonesia dan Malaysia telah meradikalisasi hingga merekrut sesama tahanan, bahkan penjaga.
Program deradikalisasi dan pelepasan bervariasi di setiap negara. Indonesia dan Malaysia memiliki program yang jelas dan mengklaim tingkat keberhasilan yang tinggi. Filipina telah memperkenalkan program deradikalisasi dan pelepasan bagi para militan yang dipenjara, tetapi belum jelas sejauh mana tingkat efektivitasnya.
Beberapa eks-ergeka yang kembali telah terlibat dalam plot dan serangan di kawasan Asia Tenggara. Para pentolan ergeka ISIS Indonesia telah bergabung dalam sebuah ‘komplotan virtual’, merekrut dan mengoordinasikan serangan di Asia Tenggara melalui komunikasi online dari Suriah. Lebih lanjut, ancaman yang ditimbulkan oleh perempuan dan anak militan ISIS yang kembali mungkin diremehkan oleh pemerintah daerah. Kedua kelompok tersebut telah berpartisipasi dalam serangan baru-baru ini di Indonesia. Propaganda ISIS menunjukkan, anak-anak ergeka asing Asia Tenggara telah menerima indoktrinasi dan pelatihan militer di Suriah.
Kekhalifahan ISIS saat ini jelas telah dikalahkan. Namun, pertempuran ISIS telah memasuki fase baru. Daveed Gartenstein-Ross dan Colin P. Clarke dari South China Morning Post menyimpulkan, pemerintah negara-negara di seluruh Asia Tenggara masih harus mempersiapkan banyak pekerjaan untuk mencegah kebangkitan ISIS. [southchinamorningpost]