DW menemukan desas-desus bahwa organ tubuh tahanan diambil dan dijual di tempat lain di Cina.
BONN—Setelah kebocoran dokumen pemeruntah Cina yang mengonfirmasi kebijakan mereka menahan orang-orang Uighurs tanpa harus ada alasan, terkuak bahwa hal itu telah dilakukan Cina sejak 2016.
Cara-cara biadab itu dilakukan pemerintah Cina dengan menangkapi orang-orang Uighur dan menahan mereka di kamp penampungan yang secara resmi disebut Pusat Pelatihan Pendidikan Kejuruan. Negara-negara Barat menyebut kamp itu sebagai kamp ‘pre-edukasi’, sebuah nama yang manis untuk kenyataan paling pahit. Berikut ini laporan media Jerman Deutsche Welle.
Di lantai dasar sebuah masjid di Istanbul, Turki, belasan pria berdoa di atas karpet berwarna biru pucat. Mereka semua adalah warga Uighur, komunitas Muslim yang berbasis di Daerah Otonomi Xinjiang di kawasan barat laut Cina. Semua pria yang tengah berdoa itu memiliki saudara di Xinjiang yang kemudian dibawa ke penjara dan kamp-kamp penampungan.
Kepada DW, para pria Uighur itu menunjukkan foto-foto kartu identitas keluarga mereka, foto-foto dari istri, anak-anak, dan orang tua mereka yang hilang tanpa jejak. “Saya bahkan tidak tahu apakah putriku masih hidup atau tidak,” ujar salah seorang pria sambil memperlihatkan foto seorang wanita muda.
“Pemerintah Cina ingin mengontrol apa pun yang kami lakukan,” kata imam masjid tersebut kepada DW sembari menggerakkan tangannya dengan emosi. “Mereka ingin membunuhi orang Uighur dan budaya kami.”
Sulit untuk mengatakan dengan tepat berapa banyak warga Uighur yang telah ditahan di Cina. Menurut perkiraan, sedikitnya satu juta dari sekitar 10 juta warga Uighur yang tinggal di Xinjiang telah menghilang ke dalam jaringan penjara dan kamp tahanan yang dibangun oleh pemerintah Cina.
Laporan dari wilayah tersebut menunjukkan bahwa beberapa tahanan ditahan tanpa batas waktu, sementara yang lain dipindahkan ke kamp kerja paksa. Mereka yang diizinkan untuk pulang ke rumah diawasi di bawah pengawasan ketat otoritas setempat di mana mobilisasi mereka dibatasi.
Otoritas Cina mengklaim bahwa “pusat-pusat pelatihan kejuruan” dibangun untuk melawan ‘gagasan-gagasan’ yang mereka anggap ekstrem, dan memberi warga Uighur “keterampilan yang berharga.” Di kamp-kamp tersebut, tahanan menjalani proses indoktrinasi yang ketat dan harus mengikuti kursus bahasa Mandarin. Dalam kunjungan ke Berlin baru-baru ini, Menteri Luar Negeri China Wang Yi mengatakan bahwa beberapa LSM, media, dan kalangan diplomat telah diberikan akses ke Xinjiang dan “mereka tidak melihat satu pun kamp konsentrasi atau kamp pendidikan ulang.” Dia menambahkan bahwa “tidak ada penindasan (terhadap orang Uighur) di Xinjiang.”
Cina menahan warga Uighur karena agama dan budaya
Sementara Cina terus menyampaikan narasi ini, sebuah dokumen baru yang diperoleh DW dan beberapa media Jerman seperti NDR, WDR, dan Süddeutsche Zeitung memberikan gambaran berbeda. Dokumen tersebut menyebutkan bahwa Cina memenjarakan warga Uighur berdasarkan agama dan budaya mereka, bukannya perilaku ekstremis seperti yang selama ini digaungkan pemeruntah Cina.
Dokumen setebal 137 halaman tersebut dengan rinci mencantumkan nama dan nomor identifikasi dari 311 warga Uighur yang ditahan pada tahun 2017 dan 2018. Hal it termasuk rincian anggota keluarga, tetangga, dan teman mereka yang belum pernah ditahan sebelumnya. Dokumen tersebut juga memuat lebih dari 1.800 nama tahanan, lengkap dengan kartu identitas dan informasi tentang perilaku sosial – misalnya jika seseorang shalat di rumah atau membaca Al-Quran. Ada juga ratusan nama lain yang terdaftar tanpa rincian detil ini.
Semua kasus yang terdaftar berasal dari warga Uighur di kawasan Karakax, werletak di baratdaya Xinjiang, dekat perbatasan India dan Tibet.
Meskipun hanya mewakili sebagian kecil dari Xinjiang, dokumen tersebut secara mengejutkan mengungkapkan jumlah data yang telah dikumpulkan mengenai warga Uighur. Setiap langkah mereka di Xinjiang diawasi oleh kamera keamanan yang dilengkapi piranti pengenal wajah dan aplikasi smartphone.
Sejumlah orang menjadi sasaran karena memiliki anak lebih dari yang diizinkan dan yang lainnya karena mengajukan permohonan pembuatan paspor. Beberapa pria ditahan hanya karena menumbuhkan janggut. Satu orang ditahan karena mengunduh video keagamaan sekitar enam tahun lalu.
Beberapa ahli sepakat bahwa dokumen tersebut, dalam bentuk dokumen PDF tanpa cap atau stempel resmi, kemungkinan besar otentik. DW juga berbicara dengan beberapa orang Uighur yang kerabatnya tercantum dalam daftar, dan mereka menguatkan beberapa fakta kunci yang ada.
Abduweli Ayup, akademisi Uighur lulusan University of Kansas, Amerika, yang saat ini tinggal di Norwegia, memberikan dokumen tersebut kepada DW. Dia pernah menghabiskan 15 bulan di penjara Cina setelah ia berusaha membuka sekolah bahasa Uighur di Xinjiang.
Ayup mengatakan kepada DW bahwa dia diawasi oleh otoritas Cina. Beberapa anggota keluarga istrinya di Xinjiang telah ditahan dalam beberapa bulan terakhir. Tidak lama sebelum bertemu dengan DW, dia menerima panggilan telepon ancaman yang memperingatkannya untuk mundur. “Ya, itu berbahaya,” katanya sambil mengangkat bahu. “Tetapi seseorang harus berbicara dan memberi tahu dunia apa yang terjadi.”
Dalam pertemuannya dengan DW di sebuah hotel di Norwegia, Ayup mengaku “terkejut” ketika pertama kali melihat dokumen itu. Dia dengan cepat menyadari bahwa sistem penahanan yang dilakukan Cina tidak ada hubungannya dengan apa yang disebut ekstremisme. “Mereka menangkap orang tanpa (harus ada) alasan. Hati saya hancur.”
Ayup memutuskan untuk mencari kerabat dari orang yang namanya tercantum dalam dokumen itu. Dia berhasil menemukan 29 dari mereka yang mayoritas tinggal di Turki. Ayup pun mulai menghubungi mereka. Salah satunya, Rozinisa Memet Tohti, seorang ibu rumah tangga yang memiliki tiga anak.
DW menemuinya di sebuah apartemen di Istanbul. Dalam sebuah wawancara yang emosional, Tohti mengatakan hatinya hancur setelah dia diberitahu bahwa adik perempuannya yang termuda ada dalam daftar. “Aku tidak bisa makan dan tidur selama berhari-hari. Aku tidak pernah berpikir, adik bungsu yang perempuan akan dipenjara.”
Dia tahu bahwa kakak perempuan yang tertua dan orang lansia semuanya ditangkap pada 2016. Seorang kerabat keluarga yang datang ke Turki untuk bisnis memberi tahu Tohti tentang penangkapan itu. Tetapi dia belum mendengar tentang penangkapan adik perempuan bungsunya. Kerabatnya yang tersisa di Xinjiang telah memutuskan kontak, dan Tohti khawatir menguhubungi mereka karena dapat membahayakan mereka.
Adik Tohti ditangkap karena memiliki terlalu banyak anak. Dokumen tersebut menjelaskan kasusnya secara rinci. Menurut dokumen bocoran itu, adik Tohti disebut ‘tidak berbahaya’ dan dia akan ‘lulus’ dari ‘pusat kejuruan’ untuk kemudian ‘diawasi oleh masyarakat.’
Tohti mengatakan dia cemas tentang keselamatan keluarganya setelah mendengar cerita mengerikan dari seorang mantan tahanan yang melarikan diri ke Turki dua tahun lalu tentang bagaimana tahanan di sana diperlakukan. “Aku dengar, kalau mereka berbicara satu sama lain, mereka akan dipukuli dan dimasukkan ke sel isolasi.”
Dia juga mendengar desas-desus bahwa organ tubuh tahanan diambil dan dijual di tempat lain di Cina. Kerabat Uighur di Xinjiang lainnya yang diwawancarai DW di Istanbul juga mengatakan hal serupa.
Militan Uighur siap berjuang sampai akhir
Pihak berwenang Cina mengatakan, dibangunnya kamp-kamp tersebut sadalah kebijakan melawan aksi para militan, dan ada alasan sah bagi Cina untuk khawatir tentang ekstremisme warga Uighur.
Kerusuhan etnis di Urumqi, ibu kota Xinjiang, tahun 2009 menyebabkan lebih dari 140 orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka, ketika pengunjuk rasa menyerang warga Cina dan membakari bus. Pada 2014, serangan teror dilakukan di sebuah pasar di Urumqi, menewaskan 31 orang. Sebagai respon, pemerintah Cina meningkatkan pengawasan dan kontrolnya terhadap warga Uighur. Muslim Uighur telah lama menghadapi diskriminasi budaya dan politik di Cina, yang menyebabkan ketidakpuasan warga Uighur dan memicu tindak kekerasan yang meluas.
Di Istanbul, DW pun bertemu dengan seorang pria Uighur yang berpakaian rapi dengan rambut yang dipotong pendek di sebuah toko kecil. Pria itu mengatakan dia telah melakukan perjalanan ke Suriah tahun 2015 bersama 50 hingga 60 orang Uighur lainnya untuk mengikuti pelatihan militer dari anggota Pasukan Pembebasan Suriah (FSA). Dia mengatakan bahwa mereka diajari cara menggunakan senapan Kalashnikov dan meriam.
Lebih lanjut dia mengatakan tujuan dari pelatihan enam bulan di Suriah adalah untuk kembali ke Xinjiang dan melawan Partai Komunis Cina. Kelompok itu merencanakan untuk menyerang markas militer, dan juga setiap warga Cina etnis Han yang bekerja untuk pemerintah. Dengan ekspresi tenang, pria itu berkata bahwa mereka “siap berjuang sampai akhir.” [DW]