Site icon Jernih.co

Di Kepulauan Spratly yang Dipersengketakan, Cina Bangun Supermarket untuk Suplai Tentaranya

Militer Cina (PLA) membuka supermarket pertamanya di pulau buatan yang disengketakan pada akhir 2020, menurut media pemerintah Cina. Foto: QQ.com

Pada 2015, Beijing mengatakan telah menghentikan reklamasi lahan di perairan yang disengketakan. Tetapi ada laporan bahwa Cina terus membentengi pulau-pulau itu dengan pangkalan militer canggih serta sistem rudal, radar, landasan pacu, dan bahkan jet-jet tempur.

JERNIH–Militer Cina (PLA) telah membuka supermarket di tiga pulau buatan terbesarnya di Laut Cina Selatan yang dipersengketakan. Hal itu dilakukan untuk mengatasi kebutuhan tentara Cina yang selama ini mendapatkan suplai dari kedatangan kapal-kapal PLA.

Toko-toko tersebut terletak di pangkalan militer di Fiery Cross Reef, Subi Reef dan Mischief Reef di Kepulauan Spratly, sebuah kepulauan yang diperebutkan berbagai negara di Laut Cina Selatand. Pemerintah Cina menyebut kepulauan itu sebagai Kepulauan Nansha, seperti dilaporkan televisi Cina, CCTV.

Filipina, Vietnam, dan Taiwan juga mengklaim ketiga terumbu karang tersebut sebagai wilayah negaranya. Sementara Malaysia dan Brunei mengklaim bagian lain dari kepulauan tersebut.

Toko pertama dibuka pada akhir tahun 2020 di Fiery Cross Reef, sebuah pulau buatan yang dikenal sebagai Yongshu Reef di Tiongkok. Itu memungkinkan personel Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) yang ditempatkan di pulau tersebut untuk berbelanja bahan makanan dan kebutuhan sehari-hari, daripada menunggu kapal pemasok yang hanya datang sekali sebulan.

Lebih dari 400 jenis produk, mulai dari keripik dan minuman dingin, hingga sampo dan sikat gigi tersedia untuk tentara. Selain itu harganya didiskon 15 persen dari harga pasar di daratan, menurut laporan CCTV tersebut.

Supermarket di Fiery Cross Reef juga memiliki sudut baca, kedai kopi, ruang binatu, dan ruang karaoke, menurut laporan PLA Daily sebelumnya. CCTV mengatakan kehadiran supermarket telah “lebih memperkaya dan mengeksplorasi kemampuan dukungan material ke Kepulauan Nansha”.

Cina telah membangun tujuh pulau buatan di Laut Cina Selatan, menciptakan lebih dari 3.200 hektare (7.907 acre) lahan baru sejak 2013. Lahan ciptaan baru itu juga telah mengecilkan 220 hektare yang dibangun oleh Vietnam, menurut CSIS Asia Maritime Transparency Initiative, sebuah Lembaga think tank yang berbasis di Washington, DC.

Pada 2015, Beijing mengatakan telah menghentikan reklamasi lahan di perairan yang disengketakan. Tetapi ada laporan bahwa Cina terus membentengi pulau-pulau itu dengan pangkalan militer canggih serta sistem rudal, radar, landasan pacu, dan bahkan jet-jet tempur.

Beberapa pengamat menggambarkan pembangunan militer itu dilakukan sebagai upaya Cina untuk menciptakan “kapal induk yang tidak dapat tenggelam” bagi angkatan udara dan angkatan lautnya di Laut Cina Selatan.

Perairan yang diperebutkan itu adalah lokasi kaya bagi perikanan dan potensi cadangan minyak dan gas yang sangat besar. Diperkirakan perdagangan internasional senilai 3,4 triliun dollar AS melewati rute pelayaran strategis itu setiap tahun.

Sementara rincian pembangunan militer Cina di Laut Cina Selatan masih langka, tampilan kekuatan militer PLA di wilayah tersebut telah memicu kritik dari penggugat saingannya,  serta Washington yang terkunci dalam persaingan sengit dengan Beijing dalam berbagai bidang.

Awal bulan ini, Filipina mengumumkan akan memberi militer AS akses yang diperluas ke empat pangkalan lagi, sebagai bagian dari komitmen antara kedua sekutu. Pemberian akses itu dilakukan untuk memperkuat kemampuan mereka melawan kemungkinan serangan bersenjata dari Cina. Pengamat Cina telah memperingatkan kesepakatan itu dapat membahayakan pertahanan strategis Beijing di wilayah tersebut. [South China Morning Post]

Exit mobile version