Veritas

Hari Ini 75 Tahun Silam: 100 Ribu Penduduk Tokyo Terbakar Saat Tidur

Tokyo — Hari ini, 10 Maret 1945 sekitar pukul 04:45 dini hari, pesawat-pesawat pembom B-29 AS menjatuhkan 1.665 ton bom di Tokyo, membunuh seratus ribu orang dalam beberapa jam, menghancurkan 270 ribu bangunan.

Sekitar satu juta orang kehilangan tempat tinggal, dan tidur di jalan-jalan di bawah udara dingin dan debu tak berkesudahan.

Mungkin itulah pemboman paling luar biasa, sebelum AS menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, selama Perang Pasifik. Sebagian besar bom yang digunakan adalah E-46 500 pon pembakar napalm.

Tokyo, menurut kesaksian warga selamat, seperti lautan api. Sebagian bom napalm meledak sekian puluh meter sebelum menyentuh tanah, yang membuat kerusakan sedemikian masif.

Korban tewas adalah wanita, anak-anak, dan lansia, karena mereka yang muda dan sehat berangkat ke medan perang. Saat itu evakuasi kelompok rentan dari wilayah perkotaan belum dimulai.

Sejarah Pemboman

Pemboman Tokyo mungkin yang paling hebat, tapi bukan yang pertama dalam sejarah perang. Sejarawan perang menyebut Antwerpen sebagai kota pertama yang dihujani bom dalam perang pada akhir Agustus 1914. Pemboman dilakukan Zeppelin LZ Jerman.

Sejarawan lain mengatakan pemboman kota pertama terjadi tahun 1911, dalam Perang Italia-Turki. Perang Balkan 1912, pihak-pihak bertikai melakukan hal serupa.

Revolusi Meksiko 1914 juga menjadikan kota sebagai sasaran pemboman. Saat itu pesawat udara sedang dikembangkan untuk digunakan dalam militer.

Jepang mengembom kota-kota di Cina dalam Perang Sino-Jepang 1930. Cara serupa juga dilakukan lagi oleh Jerman saat melawan Inggris.

Lebih jauh ke belakang, serangan udara pertama justru dilakukan sekian ribu tahun sebelum Wright Bersaudara membuat pesawat. Pasukan Dinasti Song di Cina mengunakan layang-layang dalam pertempuran.

Orang-orang Eropa dan Thailang mempelajari dan menerapkannya dalam peperangan sepanjang abad ke-14 dan 17.

Tidak Efektif

Pemboman Tokyo mengubah skala kehancuran secara dramatis. Selama Perang Dunia II di Eropa, belum sekali pun serangan udara menimbulkan korban 100 ribu orang, dengan kehancuran luar biasa.

Skala yang coba terus ditingkatkan, dan terbukti dengan pemboman Hiroshima dan Nagasaki pada 6 dan 9 Agustus, plus pemboman Osaka pada 14 Agustus — sehari sebelum Jepang mengumumkan penyerahan diri kepada AS.

Serangan Tokyo 10 Maret 1945 bukan yang pertama terhadap ibu kota Jepang selama Perang Pasifik. April 1942, dalam operasi Doolittle Raid, 16 B-25 Mitchell diluncurkan dari USS Hornet.

Pesawat mencapai udara Tokyo, dan menjatuhkan bom. Kerusakan yang ditimbulkan tidak signifikan, tapi memukul moral pasukan dan rakyat Jepang. AS menjadikan sukses membom Tokyo untuk kepentingan propaganda.

Setelah pembom strategis B-29 Superfortress diperkenalkan, dan dianggap mampu meningkatkan parameter kehancuran, butuh sekian bulan melatih pilot agar bisa menyelesaikan misi mematikan.

Pembom B-29 kali pertama beroperasi di India, April 1944. Tugas pertamanya, menyerang sasaran di Asia Tenggara, dengan efek terbatas.

Awal Juli 1944, B-29 mulai beroperasi dari lapangan terbang di barat Cina. Sasaran pemboman adalah Kyushu dan Manchuria. Namun setiap serangan tidak efektif, karena B-29 tidak bisa melindungi diri dari pesawat tempur Jepang.

Kian jauh misi pemboman, akan mengurangi kemampuan senapan mesi di ekor pesawat dan perlindungan lainnya.

Musim panas 1944 AS merebut Marianas, membangun landas pacu. Saat itulah B-29 mulai bisa menjangkau seluruh sasaran di pulau-pulau utama Jepang. Sayangnya, mereka masih rentan tertembak meriam antipesawat terbang.

Akibatnya, serangan terhadap industri militer Jepang yang dimulai akhir November 1944 tidak efektif. Alasan lain, B-29 harus terbang pada ketinggian 9.100 meter untuk menghindari meriam Jepang, namun angin kencang membuat bom yang dijatuhkan melenceng dari target.

Di sisi lain, Jepang menjadi lebih mahir melawan B-29. Salah satunya, lewat serangan bunuh diri; menabrakan pesawat tempur.

Kehilangan satu B-29 adalah kerugian luar biasa besar bagi AS. Harga B-29 saat itu adalah 750 ribu dolar AS. Situasi ini membuat Laksamana Chester William Nimitz kepusingan.

Setelah perang di Eropa berakhir, AS mulai fokus menghadapi Jepang. Seluruh sumber daya perang dipindahkan ke Asia. Superfortress di Eropa dipindahkan. Namun, dalam pelaksanaannya tetap sulit.

Perang tidak Beradab

Desember 1955 Mayjen Curtis LeMay — komandan jenderal Bomber XX — tiba di Chengdu, Cina. Ia terlibat dalam perencanaan, dan memasukkan target sipil dalam serangan untuk membuat Jepang menyerah.

LeMay bereksperimen dengan pendekatan ini dalam sernagan terhadap dermaga Hankow, 18 Desember 1944. Ia pindah ke Guam, Januari 1945, dan memimpin Komando Pengebom XXI untuk melakukan hal serupa.

Dalam setiap serangan ke kota-kota di Jepang, LeMay menggunakan bom bakar tingkat rendah. Sebab, kota-kota di Jepang terbuat dari kayu, mengelompok di pemukiman padat, dan terlibat dalam pembuatan komponen untuk industri militer.

LeMay terinspirasi sukses pemboman Dresden, yang menewaskan 60 ribu orang dalam semalam. Bom napalm yang digunakan menciptakan badai api yang membakar seluruh kota. Ia yakin efek bom napalm akan sangat besar di Jepang.

Tentu saja LeMay tidak sedang mengajarkan perang yang beradab. LeMay berargumentai hanya itu cara mempersingkat perang.

Prediksi LeMay tidak selamanya benar. Jepang justru beradaptasi dengan setiap strategi baru yang dikembangkan AS.

Doktrin LeMay baru terlihat bisa menghasilkan kemenangan setelah AS merebut Iwo Jima, Maret 1945. Saat itu, Jepang tidak lagi memiliki landasan untuk meluncurkan pesawat tempur untuk mengganggu radar bomber.

Pada 9 Maret 1945 Operation Meetinghouse dimulai. Sebanyak 334 B-29 lepas landas, dan tanpa kesulitan mencapai kota-kota di Jepang serta menghancurkannya.

Tokyo dimbom 106 kali. Kota-kota Jepang dihancurkan berulang-ulang, tapi Jepang tak juga menyerah. Yang muncul adalah pertanyaan apakah semua menyasar target sipil adalah legal dalam hukum internasional.

Tentu tidak bermoral. Tapi bukankah banyak tindakan tak bermoral dalam perang.

Kini, sebuah museum — dengan direkturnya yang masih kecil saat bom jatuh di Tokyo — berdiri di titik nol Tokyo, sebagai peringatan betapa rakyat sipil paling menderita dalam perang.

Back to top button