Site icon Jernih.co

Hashim Djojohadikusumo Masuk Kripto Menuju Infrastruktur Keuangan Nasional

Kripto di Indonesia bukan lagi hanya aplikasi jual-beli. Masuknya Hashim Djojohadikusumo ke COIN, industri ini kini punya bursa resmi, kustodian terawasi OJK, dan sistem yang mirip pasar saham.

WWW.JERNIH.CO – Masuknya Hashim Djojohadikusumo ke industri aset digital melalui PT Indokripto Koin Semesta Tbk (COIN) pada akhir 2025 menandai sebuah titik balik penting dalam sejarah kripto Indonesia. Langkah ini merupakan sinyal kuat bahwa industri aset digital telah bergerak keluar dari fase spekulatif menuju fase institusional, terstruktur, dan berorientasi jangka panjang.

Melalui Arsari Group, khususnya PT Arsari Nusa Investama, Hashim resmi menjadi salah satu pemegang saham COIN—perusahaan induk yang memegang infrastruktur paling vital dalam ekosistem kripto nasional. COIN membawahi dua entitas kunci: PT Central Finansial X (CFX) sebagai bursa aset kripto resmi Indonesia, dan PT Kustodian Koin Indonesia (ICC) sebagai lembaga penyimpanan aset digital.

KEDAULATAN DIGITAL

Kepemilikan atas dua simpul ini menempatkan COIN bukan sebagai “pemain biasa”, melainkan sebagai tulang punggung sistem.

Berbeda dengan investor ritel yang mengejar keuntungan dari naik-turunnya harga Bitcoin atau altcoin, masuknya keluarga Djojohadikusumo memiliki horizon strategis yang jauh lebih luas. Aryo Djojohadikusumo, Wakil Direktur Utama Arsari Group, secara terbuka menyampaikan bahwa tujuan utama investasi ini adalah membangun kedaulatan digital Indonesia.

Dalam konteks global, infrastruktur digital—termasuk sistem keuangan digital—telah menjadi medan persaingan antarnegara. Tanpa pemain nasional yang kuat, sebuah negara hanya akan menjadi pasar bagi produk asing. Melalui COIN, Arsari Group melihat peluang agar Indonesia tidak melulu menjadi konsumen teknologi blockchain global, tetapi juga produsen sistem, aturan, dan inovasi yang berdaulat.

Artinya aset keuangan digital dipandang sebagai salah satu pilar penting transformasi ekonomi, berdampingan dengan industrialisasi hijau, ekonomi kreatif, dan digitalisasi layanan publik. Lebih jauh, dengan regulasi yang kini berada di bawah Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Indonesia secara terbuka menargetkan diri sebagai pusat kripto Asia Tenggara.

TIGA ALASAN

Keputusan Hashim masuk melalui COIN bukan tanpa perhitungan. Ada tiga faktor utama yang menjadikan perusahaan ini sangat menarik bagi investor institusional besar. Apa saja?

Pertama adalah kepastian regulasi. Sejak Januari 2025, pengawasan aset kripto resmi berpindah dari Bappebti ke OJK. Peralihan ini meningkatkan standar tata kelola, transparansi, dan perlindungan investor, sekaligus memberikan kepastian hukum yang selama ini ditunggu oleh grup-grup besar. Dengan berada di bawah OJK, industri kripto diperlakukan setara dengan sektor jasa keuangan lain seperti perbankan dan pasar modal.

Kedua adalah besarnya pasar domestik. Hingga Oktober 2025, jumlah investor kripto di Indonesia telah mencapai sekitar 18,5 juta orang—melampaui jumlah investor saham yang berkisar 14 juta. Nilai transaksi tahunan telah menembus Rp400 triliun dan diproyeksikan mendekati Rp600 triliun seiring munculnya produk baru seperti derivatif kripto dan layanan institusional. Secara global, Indonesia berada di peringkat tujuh besar dalam Global Crypto Adoption Index, menjadikannya salah satu pasar paling aktif di dunia.

Ketiga adalah efek legitimasi. Masuknya tokoh nasional seperti Hashim Djojohadikusumo memberikan “stempel kepercayaan” kuat. Selama bertahun-tahun, kripto kerap diasosiasikan dengan penipuan, judi terselubung, atau spekulasi ekstrem. Kehadiran investor kelas kakap membantu mengubah persepsi publik bahwa aset digital adalah bagian sah dari sistem keuangan modern.

BAK PASAR MODAL

Untuk memahami mengapa COIN memiliki posisi sangat kuat, penting memahami bagaimana industri kripto Indonesia dirancang. Pemerintah tidak membiarkan satu perusahaan menguasai seluruh rantai bisnis. Sebaliknya, diterapkan sistem pemisahan fungsi yang mirip dengan pasar modal.

Dalam sistem ini, bursa kripto—yang dijalankan oleh CFX—bertugas mengatur perdagangan, menetapkan standar operasional, dan mengawasi seluruh pedagang aset kripto. Perannya setara dengan Bursa Efek Indonesia di pasar saham. Pedagang kripto seperti Indodax, Pintu, atau Tokocrypto hanya berfungsi sebagai perantara antara masyarakat dan pasar.

Aset milik nasabah tidak disimpan oleh pedagang, melainkan oleh lembaga kustodian independen. Di sinilah ICC berperan, dengan fungsi yang mirip KSEI di pasar modal. Regulasi OJK mewajibkan sekitar 70% aset kripto nasabah disimpan di kustodian resmi untuk mencegah penyalahgunaan dana.

Kustodian adalah lembaga independen yang bertugas menyimpan, mengamankan, dan mencatat kepemilikan aset milik nasabah, sehingga aset tersebut tidak dikuasai atau disalahgunakan oleh pihak yang melakukan transaksi.

Tanpa kustodian, pedagang kripto memegang penuh aset nasabah—sebuah kondisi yang sangat berisiko. Banyak kasus kebangkrutan bursa kripto global terjadi karena aset nasabah dicampur dan digunakan untuk kepentingan perusahaan.

Selain itu, terdapat mekanisme kliring yang menjamin penyelesaian transaksi dan kesesuaian data antara uang dan aset digital. Dengan struktur ini, risiko penipuan sistemik ditekan, dan kepercayaan investor meningkat.

COIN menjadi sangat kuat karena berada di hulu infrastruktur. Melalui CFX, setiap transaksi kripto legal di Indonesia harus tercatat, diawasi, dan mengikuti standar yang ditetapkan bursa. Melalui ICC, mayoritas aset kripto nasional tersimpan dalam sistem kustodian yang berada di bawah kendali grup yang sama.

Artinya, apa pun aplikasinya dan siapa pun pedagangnya, aktivitas kripto di Indonesia pada akhirnya melewati ekosistem COIN. Posisi ini memberikan apa yang sering disebut sebagai “last mile power”—kendali atas jalur terakhir tempat transaksi dan penyimpanan terjadi.

STATUS COIN

Keunggulan lain adalah status COIN sebagai ekosistem bursa kripto pertama di dunia yang melantai di bursa saham. Status perusahaan terbuka memaksa transparansi keuangan dan tata kelola yang lebih ketat, sekaligus membuka akses pendanaan jangka panjang.

Berbeda dengan investor koin yang bergantung pada harga, COIN memperoleh pendapatan berbasis biaya layanan. Selama ada transaksi, perusahaan mendapatkan fee. Selama ada aset yang disimpan, perusahaan memperoleh pendapatan kustodian. Naik-turun harga Bitcoin tidak terlalu memengaruhi inti bisnisnya.

Ke depan, COIN juga memiliki ruang ekspansi besar, mulai dari pengembangan stablecoin rupiah, layanan remitansi lintas negara, hingga penggunaan aset digital sebagai jaminan pinjaman resmi. Semua ini berpotensi memperluas peran kripto dari sekadar instrumen perdagangan menjadi infrastruktur keuangan nasional.

Lewat COIN muncul keyakinan bahwa ekonomi digital Indonesia sedang bergerak menuju fase yang lebih dewasa, terstruktur, dan berkelanjutan. Kripto tidak lagi diposisikan sebagai “permainan harga”, melainkan sebagai sistem.

Artinya COIN bukan bertaruh pada Bitcoin atau Ethereum, melainkan pada fakta sederhana: selama ekonomi digital Indonesia tumbuh, transaksi dan penyimpanan aset akan terus berjalan. Dan selama itu pula, infrastruktur akan selalu menjadi sumber kekuatan utama.(*)

BACA JUGA: Proyek Internet Rakyat, Kolaborasi Surge dan Jepang

Exit mobile version