Suatu kali saya membaca tajuk yang ditulis dengan gaya esai, renyah dan enak dibaca. Kalau tak salah ingat tentang solidaritas; kisah seorang prajurit yang dieksekusi oleh komandannya gara-gara mencuri sekerat daging bekal pasukan untuk bertempur. “Prajurit itu sama saja memakan bangkai temannya, dia hanya memikirkan diri sendiri, tak peduli nasib yang lain”, ujar Ivan menjelaskan ketika saya bertanya kembali padanya tentang esai itu.
Oleh : Nezar Patria
JERNIH– Ivan adalah kelelawar di newsroom. Ivan berjaga pada malam hari hingga menjelang fajar dan tidur sebentar lalu bangun siang untuk hadir di rapat perencanaan redaksi dengan setengah mengantuk.
Tapi dia tak pernah kehilangan kendali. Rapat perencanaan di Koran Tempo, saat dia menjadi redaktur eksekutif, selalu menarik bagi seorang staf redaksi junior seperti saya. Informasi baru mengalir. Dan juga ilmu yang berbasis praktik, yang tak ada di buku teks sekolah komunikasi.
“Jurnalisme bukan cuma keterampilan tapi adalah juga sebuah sikap”, katanya suatu kali. Saat itu Ivan sedang memberi arahan kepada reporter baru Koran Tempo. Pada 2001, Tempo Media Grup membuat suatu kejutan; menerbitkan koran harian. Lama bermain sebagai majalah mingguan, Tempo tampaknya melirik peluang di segmen koran harian. Peluang pendapatan jelas jauh lebih besar di koran harian ketimbang majalah. Perencanaan sudah dibuat sejak awal 2000 dan rujukan yang diambil adalah Financial Times (FT), koran bisnis terbitan London yang terkenal dengan indepth reporting berbasis riset yang kuat.
Saya ingat dummy Koran Tempo bahkan dicetak di kertas warna peach, agar mirip dengan FT. Tapi ide warna peach ini tidak diteruskan karena ongkos produksi jatuhnya lebih mahal. Ivan menjadi redaktur eksekutif dan di jajaran pimpinan puncak adalah S Malela Mahargasarie serta Bambang Harymurti. Ivan ditugaskan membangun tim awal.
Saya termasuk barisan staf redaksi perintis yang diambil dari grup majalah. Maka dimulailah rekrutmen tenaga baru buat koran itu. Mereka datang dari berbagai latar belakang dan dari berbagai harian terkemuka misalnya Republika, Bisnis Indonesia, dan Media Indonesia.
Jurnalisme adalah sebuah sikap dan Ivan tampaknya mendapatkan rumusan ini dari perjalanan panjangnya bersama Majalah Tempo, tempat dia bekerja belasan tahun sebelum majalah itu dibredel bersama dua media lain—Tabloid Detik dan Majalah Editor, oleh Rezim Orde Baru pada 1994. Para wartawan yang melawan mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Sebagian besar wartawan masuk daftar hitam tidak bisa bekerja terbuka di media. Sebagian lagi terpaksa bekerja di media lain, dan saya ingat belakangan Ivan bekerja menggarap Media Indonesia Minggu, dan juga kelak bergabung dengan Majalah Forum pimpinan Karni Ilyas.
Saya terkesan membaca Media Indonesia Minggu suatu sore di akhir 1990-an. Tak seperti edisi harian, edisi Minggu digarap dengan pendekatan majalah; ada laporan utama dengan beberapa angle tulisan, kolom, wawancara, dan semacam tajuk. Suatu kali saya membaca tajuk yang ditulis dengan gaya esai, renyah dan enak dibaca. Kalau tak salah ingat tentang solidaritas; kisah seorang prajurit yang dieksekusi oleh komandannya gara-gara mencuri sekerat daging bekal pasukan untuk bertempur.
“Prajurit itu sama saja memakan bangkai temannya, dia hanya memikirkan diri sendiri, tak peduli nasib yang lain”, ujar Ivan menjelaskan ketika saya bertanya kembali padanya tentang esai itu. Saya bertanya kepadanya karena di bawah esai memikat itu tertulis namanya: Ivan Haris Prikurnia. Ivan tertawa ketika saya mengingatkannya tentang hal itu dan dia mengatakan mendapatkan bahan cerita dari seorang jenderal yang dikenalnya baik.
Ivan memang punya pergaulan luas. Dia sangat menghargai narasumber dan selalu menyediakan waktu bersilaturahmi dengan berbagai kalangan. Ada jenderal, pengusaha, seniman, intelektual, sopir angkot, menteri, demonstran, dan lainnya. Daya tembusnya juga luar biasa. Dia bisa mendapatkan banyak informasi dari berbagai sumber yang “sulit dijangkau” dan semua diperlakukannya seimbang. Dia mengatakan belajar banyak dari seniornya Karni Ilyas, legenda wartawan yang berjejaring luas.
Jurnalisme sebagai sebuah sikap yang dimaksud oleh Ivan adalah berorientasi pada nilai. Persis seperti nilai yang ditulisnya di esai itu: solidaritas kepada yang lemah, tak menerima suap, berani berkata jujur, dan bersikap adil. “Dalam hal ini menolak amplop adalah sebuah sikap jurnalisme yang kita yakini, bukan karena semata aturan perusahaan, tapi lebih kepada kesetiaan kita pada sebuah nilai”, demikian Ivan menjelaskan di depan para reporter muda yang antusias.
Ivan, menurut saya, adalah salah satu penulis terbaik Tempo pada masanya. Dia mengajarkan kepada saya bagaimana menulis dengan kalimat pendek dan berirama. “Ibarat musik, kalimat harus bergerak dengan tempo staccato, agar menimbulkan jeda pendek dan memberi kesan kepada pembaca,” begitu ujar Ivan suatu kali setelah menyunting tulisan panjang saya tentang mafia di balik kerusuhan di penjara Cipinang yang terbit di edisi perdana Koran Tempo. Belakangan saya baru tahu dia suka musik dan menulis syair lagu, selain membuat skenario film tentang seorang inspektur polisi, dan tentu saja bertualang dengan jip Land Rover tua miliknya.
Setelah berhenti bekerja di Koran Tempo, Ivan kembali bergabung bersama Karni Ilyas di sejumlah stasiun televisi. Dia mendalami liputan investigatif televisi dan membuat sejumlah program yang menarik pada masa itu. Cara bertutur lewat teks lalu diterjemahkannya dalam bahasa gambar. “Gambar punya gramatika sendiri. Kamu harus pelajari itu,” ujarnya saat kami bertemu kembali pada 2008. Saat itu saya dan sejumlah teman bergabung dengan Viva Media Asia, yang menerbitkan VIVA.co.id dan masih bersaudara dengan ANTV.
Lama saya tak bertemu dengan Ivan, tapi setiap kali melihat liputan investigatif di televisi, saya mengingatnya. Terlebih jika ada program TV yang memakai label investigasi tapi isinya hanya daur ulang gambar lama dan kadang hanya gosip selebritis yang menyebalkan. “Unsur terpenting dari liputan investigasi adalah fakta baru dari suatu kasus. Tanpa fakta baru bukanlah investigasi”, ujar Ivan dengan suara sengau yang khas. Saat itu tubuhnya jauh lebih kurus dari satu dekade sebelumnya. Tapi gaya rambutnya masih seperti dulu, semi gondrong disisir berbelah tengah dan kacamata dengan kerangka semi bundar. Dia mengatakan sudah beberapa tahun menjadi penderita liver akut.
Lalu, setelah hampir satu dekade tak bertemu, saya mendapat kabar hari ini di Facebook bahwa Ivan berpulang ke keabadian. Dia meninggal tadi pagi. Saya mengenangnya sebagai kawan, guru, dan seorang wartawan berkarakter khas dan teguh pada sikap yang diyakininya. Al Fatihah. [ ]
*Judul dari redaksi Jernih.co
**Foto dari halaman FB Hanibal Wijayanta