Jernih.co

Jejak Aktivisme dan Legacy Fadli Zon

Fadli Zon dan penulis, sekitar 30-an tahun lalu.

Tak heran, ketika masih menjalankan orientasi studi — semacam retreat — di Fakultas Sastra UI tahun 1991, Fadli langsung jadi bintang di Aula 113. Fadli mengkritik cara Sitok Srengenge membacakan puisi di depan ratusan mahasiswa baru: berteriak-teriak.

Oleh : Indra J Piliang*

JERNIH- Fadli Zon dipercaya Presiden Prabowo Subianto sebagai menteri kebudayaan Republik Indonesia yang pertama sepanjang sejarah Indonesia moderen. Sebagai orang dekat Prabowo, penunjukan ini sangat beralasan. Fadli adalah sosok paripurna sejak sekolah menengah atas dan mahasiswa. Bukan saja prestasi, tetapi juga legacy.

Dalam masa Nusantara kuno, bisa saja terdapat menteri yang khusus mengurusi kebudayaan. Empu Prapanca yang hidup sezaman dengan Ibnu Khaldun, pada abad ke-XIII, bisa disebut sebagai menteri kebudayaan yang jalankan tugas sebagai sejarawan Kerajaan Majapahit era Hayam Wuruk. Era Airlangga dalam Kerajaan Medang Kahuripan di awal abad ke-XI, juga muncul sejumlah pujangga atau empu.

Fadli sudah meraih sejumlah prestasi sejak menyandar status siswa, hingga mahasiswa. Fadli tercatat sebagai mahasiswa berprestasi Universitas Indonesia tahun 1993. Ia sudah menulis di banyak koran dan majalah sejak sekolah menengah.

Tak heran, ketika masih menjalankan orientasi studi — semacam retreat — di Fakultas Sastra UI tahun 1991, Fadli langsung jadi bintang di Aula 113. Fadli mengkritik cara Sitok Srengenge membacakan puisi di depan ratusan mahasiswa baru: berteriak-teriak.

“Baca puisi, ya, baca!” ujar Fadli. Walau menjadi dekat dengan WS Rendra dan Sutardji Calzoum Bachri yang dikenal membaca puisi secara berapi-api, Fadli tetap seseorang yang sangat ‘akademis’ dalam membaca puisi. Pun dibandingkan dengan Taufik Ismail, sang paman. Lebih dingin dibanding cara baca puisi Sapardi Djoko Damono. Tak pernah mendayu-dayu dengan teknis pernafasan perut kembang kempis.

Bahkan setelah bergabung dengan Teater Sastra UI yang digawangi I Yudhi Soenarto, teknis membaca puisi Fadli tetap tak berubah. Fadli jarang berlatih, begitu pun saya. Tetapi saya ikut sejumlah latihan keras di Cisarua, termasuk dalam pendakian Gunung Gede Pangrango, bersama rombongan Teater Sastra UI. Saya ikut megap-megap membaca naskah pementasan di dalam kolam renang yang sangat dingin, guna ‘menyambung’ mulut saya yang gagap dan otak saya yang ‘kecepatan berpikir’.

Bintang panggung kala itu Suroyo yang bernada berat dan Syukri yang riang gembira, bersama Alfian Siagian dan Wibowo Prasetyo. Saya beberapa kali ikut latihan bersama Denny Lesmana, Olan Hasiholan, Fachrurodji, Ramdansyah, Ahmad Syukri, Mbak Henny dan Ige. Bekas sabetan tongkat kayu Denny yang tak sempat saya hindari, masih ada hingga kini di kaki kiri. Hampir mematahkan kaki, membongkar kulit terlihat tulang, hingga kini berjejak hitam. Denny menguasai ilmu Merpati Putih, sementara Ramdan memiliki ilmu Sin Lam Ba. Apalah artinya saya yang berdiri dengan jurus Langkah Alif!

Ketika menyiapkan pementasan puisi ‘Meneropong Indonesia dari Bulan’ karya I Yudhi Sunarto, Fadli malah jarang datang. Sudah muncul generasi Nusron Wahid yang bergabung dengan Teater Sastra UI. Rossiana Silalahi (kini di Kompas TV) juga ikut dalam pementasan.

Dalam menyanyikan lagu-lagu “Tempoe Doeloe” bersama artis-artis senior seperti Ernie Djohan dan Titik Puspa, Fadli pun tetap seorang yang sangat “dingin”. Tak ada cengkok sama sekali dalam nada suaranya. Ketika nada tinggi datang, Fadli seolah sedang berorasi di depan massa aksi. Seperti berulang kali ia hadir dalam aksi-aksi mahasiswa UI era 1990-an.

Fadli melesat sebagai aktivis mahasiswa UI bukan saja dari sisi akademis dan intelektualitas, tetapi kaya informasi dan jejaring. Fadli langsung terjun dalam pergumulan politik tingkat fakultas dengan menjadi manager kampanye Pandji Kian Santang sebagai calon ketua Senat Mahasiswa FSUI. Walau sudah mengenal Fadli sejak masuk UI, “jabat tangan” kerja sama “politik” antara saya dan Fadli terjadi saat kampanye itu, di atas Teater Kolam.

Pandji menang. Fadli menolak posisi sekretaris umum SM FSUI 1992-1993. Hendro Utomo, Sastra Jepang 1988, dipilih menjadi Sekum. Fadli menjadi ketua Biro Pendidikan Senat Mahasiswa FSUI. Tak heran kalau Hendro menjadi ‘penyuplai massa’ ketika terjadi aksi-aksi demonstrasi. Bukan hanya Fadli yang menjalin perkawanan sejati dengan Hendro, pun saya ikut menyicipi hingga puluhan tahun.

Periode berikut, 1993-1994, Mustafa Kamal terpilih sebagai ketum SM FSUI. Saya dipilih jadi sekum SM FSUI. lompati dua angkatan (1989 dan 1990). Keterpilihan saya tak terlepas dari dua-tiga orang mahasiswa senior yang menjadi short list. Mereka menolak dengan sejumlah alasan. Mereka bersekongkol agar saya yang ambil. Tentu, saya tahu nama-nama itu.

Banyak sekali tokoh diundang ke kampus, baik atas nama Senat Mahasiswa, ataupun Teater Sastra UI, dalam masa itu. Fadli mendirikan Kelompok Diskusi LABIRIN yang berisi mahasiswa lintas jurusan dengan duduk lesehan di dekat Jurusan Ilmu Perpustakaan. Entah tak mau kalah, ‘kelompok’ saya di Sastra UI juga bikin kelompok diskusi TITIK TEMU. Adnan Buyung Nasution, Pramoedya Ananta Toer, Emha Ainun Nadjib, Kemal Idris, Mustafa Bisri, hingga Cosmas Batubara datang ke kampus FSUI.

Aksi mahasiswa Senat Mahasiswa Sastra UI juga sempat dilakukan di luar kampus. Di bawah Biro Lingkungan Hidup SM Sastra UI yang dipimpin Andi Saad, massa aksi bergerak ke arah Sarinah, Jalan Thamrin. Aksi Anti Stereoform itu masuk lingkungan restoran junk food dan fast food yang terkenal di kawasan padat itu.

Ketimbang bermain di tingkat fakultas, Fadli lebih memilih sebagai anggota Komisi Hubungan Luar Senat Mahasiswa UI (semacam Kementerian Luar Negeri SMUI) di bawah pimpinan Chandra M Hamzah sebagai ketua harian dan Firdaus Artoni sebagai ketua umum (1992-1993). Massa aksi mahasiswa UI melakukan demonstrasi pertama kali sejak tahun 1977-1978, sekalipun terdapat sejumlah mahasiswa yang terlibat aksi anti Normalisasi Kehidulan Kampus (NKK)–Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK) sampai tahun 1980. Ketua Komisi Hubungan Luar SMUI saat itu, Muhammad Firdaus, senior saya di jurusan Ilmu Sejarah FSUI. Massa aksi UI berhasil dibawa ke depan Kedutaan Besar Uni Sovyet menyangkut masalah Bosnia Herzegovina.

Ketika Fadli menjadi ketua Komisi Hubungan Luar Senat Mahasiswa UI periode 1993-1994, semakin sering aksi demonstrasi diadakan. Kebetulan saya menjadi anggotanya. Waktu itu yang menjadi ketua harian SMUI adalah Bagus Hendraning (kini bertugas di Kementerian Luar Negeri) dengan Ketua Umum SMUI, Hadi Djuanda (kini berpangkat Brigadir Jenderal TNI AD). Dibandingkan mahasiswa UI mana pun, Fadli paling banyak mewakili UI dalam forum-forum di dalam dan luar negeri. Saya sendiri paling banyak dikirim sebagai delegasi yang mewakili mahasiswa UI di kampus-kampus dalam negeri.

Tetapi, tunggu dulu, sisi lain yang dipupuk Fadli adalah kemampuan sebagai seorang penulis, baik populer, ilmiah populer, hingga ilmiah. Teknis penulisan terbaik bukan saja didapatkan sejak dini, barangkali ketika belajar di Texas, Amerika Serikat, tetapi langsung “secara terpimpin” diasah dan diasuh oleh Ismail Marahimin, sastrawan Angkatan 1945. Marahimin membuka mata kuliah “Penulisan Populer” selama dua semester di Jurusan Sastra Inggris. Mata kuliah yang ditakuti mahasiswa yang telanjur memasukan dalam rencana Satuan Kredit Semester. Akibat ‘ditelanjangi’ Marahimin di dalam kelas, banyak mahasiswa yang mengundurkan diri. Helvy Tiana Rosa adalah contoh mahasiswa UI yang ikut mata kuliah itu. Tentu saya juga ikut.

Tulisan-tulisan Fadli muncul di majalah Horison, dan sejumlah majalah lain. Termasuk opini di koran-koran nasional. Fadli yang memperkenalkan istilah “gerakan mahasiswa internasional” sebagai unsur yang baru dalam sejarah pergerakan mahasiswa Indonesia. Banyaknya kegiatan surat-menyurat yang dilakukan membawa Fadli kepada aktivitas makin serius dalam dunia filateli.

Berbeda dengan kebanyakan aktivis mahasiswa yang tertinggal di bidang akademis, Fadli justru sangat lancar mengerjakan tugas-tugas kuliah. Dalam penerimaan mahasiswa baru UI tahun 1994, nama Fadli berkumandang sebagai Mahasiswa Berprestasi UI, bersama kawan baik saya Rully Manurung dari Fakultas Ilmu Komputer UI. Di tingkat nasional, Fadli meraih juara tiga. Saat itu saya menjadi ketua Organizing Committee Orientasi Perguruan Tinggi FSUI.

Fadli lebih banyak aktif di Indonesian Student Assosiation for International Studies (ISAFIS) pada periode 1994-1995. Ketua Komisi Hubungan Luar Negeri SMUI beralih ke Soekarman Dj Soemarno, Ilmu Perpustakaan FSUI 1990. Ketua Harian SMUI dijabat Zulkieflimansyah dan Ketua Umum SMUI diampu Eman Sulaiman Nasim. Sekalipun ‘diutus’ Zul melakukan road show ke kalangan mahasiswa di Jakarta Raya bersama Hilmy Wahdi – dan ke kalangan tokoh bersama Fahri Hamzah –, saya lebih memilih fokus sebagai sekretaris umum Senat Mahasiswa FSUI dan Ketua Umum Studi Klub Sejarah (SKS) FS UI.

Namun di luar kampus UI, hubungan Fadli dengan mahasiswa asal kampus-kampus lain di dalam dan luar negeri diteruskan. Ketika ISAFIS mengundang William Liddle dalam diskusi, bersama Rizal Mallarangeng dan Anies Baswedan, saya turut hadir.

Tapi saya tak banyak tertarik dengan aktivisme Fadli itu, bukan saja berhimpit dengan aktivitas saya, melainkan tak memicu adrenalin. Kalau berjumpa Fadli, saya lebih suka mendengar aktivitas intelektual dia. Nama Fadli “naik ke langit” manakala tulisan tentang Ronggo Warsito muncul di Jurnal PRISMA. Begitu juga tulisannya di majalah Horison, sebagaimana ketika pelajar Fadli menulis di majalah Bobo dan Aneka.

Nah, entah bagaimana, “konflik ideologis” saya dengan Fadli dimulai ketika pada bulan Maret 1995 hadir buku “Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif LEKRA/PKI DKK” yang ditulis D. S. Moeljanto dan Taufik Ismail. Buku itu dibedah keliling fakultas di UI dengan Fadli sebagai pembuka salam. Dan seolah peristiwa 1992 terulang, kali ini Fadli sebagai moderator, saya hadir sebagai penanya kritis dalam sesi diskusi. Taufik Ismail sampai mengira saya adalah “tokoh kiri” yang pernah ia temui di Singapura.

“Puber ideologi” dan “puber religius” adalah dua frase yang sangat khas keluar dalam tulisan atau mulut Fadli. Sekaligus dua frase itu menegaskan: Fadli Tak Kanan dan Tak Kiri. Guna membalas kolom Fadli di majalah GATRA, saya kirim kolom dengan judul “Hegemoni Pemikiran Karl Marx”. Namun tak dimuat.

Ketika saya maju sebagai calon ketua Senat Mahasiswa UI 1995-1996, Fadli sudah terlalu sibuk di luar kampus. Ia sangat jarang hadir di kampus. Tak ada sama sekali bantuan apa pun datang dari Fadli, bahkan tema atau topik kampanye sekalipun. Kalaupun ketemu, Fadli lebih banyak menekankan agar saya menjadi penulis. “Banyak topik yang bisa Lu tulis sebagai anak sejarah!” katanya berulang.

Bau “politis” Fadli baru muncul lagi ketika terjadi Pemilihan Raya Senat Mahasiswa UI tahun 1996-1997. Tiga kandidat muncul: Selamat Nurdin, Budi Sept dan Subuh Prabowo. Saya menjadi calon senator kubu Busept, walau menjadi sahabat Subuh. Subuh? Adalah sumber dari bau “politis” Fadli. Nurdin, tentu dari kalangan tarbiyah.

Usai seluruh pertarungan internal itu, saya memilih bersua Fadli di daerah Menteng. Fadli sudah mendirikan Institute for Policy Studies (IPS) bersama Prabowo Subianto dan sejumlah kaum intelektual. Saya mengambil cuti kuliah, usai ikut Tarpadnas Pola 144 Jam di Cibubur sebagai utusan mahasiswa UI. Lulus sebagai Penatar P-4 Tingkat I, selangkah lagi menjadi Widya Iswara, saya dinyatakan sah sebagai ‘Anak Negara’, bukan lagi Neo Ikhwan atau Neo Marxis Ya, Tak Kanan dan Tak Kiri, sama dengan Fadli Zon dan Bagus Hendraning, barangkali. Atau secara lebih kronologis: 1995 adalah akhir dari ‘hari-hari ideologis’ dalam kalender pribadi saya.

Batuk darah dari penyakit paru-paru basah (bronkitis) yang saya derita, tak bisa lagi diobati lewat obat-obatan dari dokter-dokter di UI. Saya mengajukan cuti selama satu semester. Beberapa bulan saya di kampung, diobati secara tradisional dan spiritual oleh Tuanku Alim Basa, imam di Mesjid Lubuk Kerambil (Kelapa) Kenagarian Sikucur, Kecamatan V Koto Kampung Dalam, Kabupaten Padang Pariaman, dengan cara bedah ayam dan minum air kelapa yang sudah dibakar dan disyariatkan. Saya pun kembali ke Air Angat, kampung ayah, mandi dan berenang di kolam air belerang, tempat masa kecil. [ bersambung]
Jakarta, Senin, 04 November 2024

Exit mobile version