Kondisi itu setara dengan negara-negara sub-Sahara seperti Malawi, Angola, dan Sierra Leone, dan populasi Indonesia menempatkannya di urutan kelima dunia untuk jumlah anak-anak stunting
JAKARTA—Bukan sekali dua negeri kita disebut sebagai gambaran fenomena yang ironis. Kali ini The Lowy Institute, lembaga tank pemikiran dan riset sosio-ekonomi dan politik internasional yang dibentuk 2003 lalu di Sydney, Australia, menyatakan kata yang sama. Meeka melihat negeri ini cukup makmur, namun sayang karena sebagian besar warganya hidup dicekik kemiskinan.
Dalam riset terakhir yang dirilis lembaga tersebut di The Interpreter, The Lowy menyatakan ironi itu terjadi karena Indonesia merupakan negara yang cukup makmur. Namun demikian, sejumlah besar penduduknya berada dalam kondisi sangat miskin dengan tingkat penghidupan yang sangat menyedihkan. Meski perekonomian diperkirakan akan terus mengalami booming, yang diramal akan menempatkan Indonesia sebagai satu dari lima besar ekonomi dunia pada 2050, kesejahteraan disangsikan akan dinikmati seluruh bagian rakyat.
Selama bertahun-tahun, perekonomian Indonesia telah tumbuh antara lima dan enam persen, Produk Domestik Bruto (PDB) jauh melampaui tetangga baratnya, Australia. Masuk ke dalam anggota G20, Indonesia tentu bangga dengan status baru yang disandangnya sebagai negara kelas menengah baru. Lepas dari berbagai kesangsian, perusahaan auditor internasional PricewaterhouseCoopers (PwC) bahkan memperkirakan negeri ini akan menjadi salah satu dari lima perekonomian teratas dunia pada 2050 mendatang.
“Karena itu, Indonesia sekarang lebih suka melihat dirinya sebagai negara donor bantuan ketimbang penerima,” tulis Lowy. Hal itulah yang menjadi penjelasan mengapa program bantuan Australia untuk Indonesia telah dipangkas habis-habisan selama dekade terakhir. “Ini salah satu kesalahan. Berita baik tentang kesuksesan ekonomi Indonesia menutupi situasi ironi yang sebenarnya: Indonesia menjadi negara kaya, tetapi masih menyisakan begitu banyak penduduk yang sangat miskin dengan kehidupan yang sangat tidak layak,” tulis The Interpreter.
Sekitar 50 juta orang alias kira-kira 20 persen populasi Indonesia masih rentan jatuh ke dalam kemiskinan, dengan pendapatan tepat di atas garis kemiskinan internasional yang dipatok 1,90 dolar AS per hari. Kenyataan dan datanya menjadi jauh lebih buruk manakala kita fokus kepada kondisi di luar Pulau Jawa dan Sumatra, dua wilayah yang menyumbang sekitar 80 persen PDB. Tingkat kemiskinan yang ada tujuh kali lebih tinggi di Papua daripada Jakarta, ibu kota Indonesia yang diisukan mau pindah itu.
Alasannya sederhana, kemakmuran itu menggenang di satu tempat. Empat miliarder terkaya di Indonesia memiliki kekayaan yang lebih banyak—25 miliar dolar AS, daripada 40 persen orang termiskin di Indonesia atau 100 juta warga yang hanya mengumpulkan 24 miliar dolar AS. Bagian pendapatan yang bisa dibagi-bagi 20 persen penduduk termiskin hanya 6,8 persen dari pendapatan nasional bruto, dan pendapatan per kapita pun tak lebih dari 3.840 dolar AS, lebih rendah dari Samoa, Tonga, Fiji, serta negara tetangga Malaysia dan Thailand.
Kapasitas pemerintah Indonesia untuk memperbaiki ketidaksetaraan yang parah ini dibatasi oleh pendapatan pajak hanya 9,9 persen dari PDB, yang terendah di Asia Tenggara selain Myanmar, dan lebih rendah dari rata-rata negara-negara kurang berkembang. Hal itu tentu saja sebuah dilemma. Di satu sisi akan membuat pemerintah tergerak untuk menggali pendapatan pajak lebih besar, sementara penarikan pajak sudah tentu makin mengurangi kesejahteraan rakyat. Pasalnya, Indonesia juga punya banyak cerita buruk tentang pajak dan para personelnya. Misalnya, soal kekayaan menakjubkan nyaris mustahil seorang aparat pajak menengah bernama Gayus Tambunan, beberapa waktu lalu.
Dua analisis The Lowy, Tim Lindsey dan Tim Mann menyatakan, akibat sejarah masa lalu, dimana investasi pemerintah dalam system kesehatan dan upaya memerangi kesenjangan antardaerah yang terbatas, manakala tergolong negara G20 pun kualitas kesehatan Indonesia jauh di bawah negara-negara kelas menengah.
Sebagai contoh, rasio kematian ibu (per 100.000 kelahiran hidup) pada 2017 lalu tercatat sangat besar. Sebaliknya, rata-rata di seluruh negara-negara Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) tercatat 14. Bahkan, negara tetangga miskin Indonesia, Timor-Leste berada di peringkat lebih baik dengan 142. Angka kematian bayi Indonesia (per 1.000 kelahiran hidup) adalah 21, lebih tinggi dari negara-negara Pasifik, termasuk Kepulauan Solomon (17), Samoa (14), dan Tonga (13), dan jauh melampaui negara tetangga Thailand (8) dan Malaysia (7).
Tinglat kekerdilan (stunting) adalah masalah serius lainnya yang memengaruhi 36,4 persen anak Indonesia di bawah usia lima tahun pada 2013. Kondisi itu setara dengan negara-negara sub-Sahara seperti Malawi, Angola, dan Sierra Leone, dan populasi Indonesia menempatkannya di urutan kelima dunia untuk jumlah anak-anak stunting.
Orang-orang dewasa di Indonesia juga menghadapi masalah kesehatan yang parah. Sekitar 68,1 persen pria Indonesia dewasa adalah perokok, tingkat tertinggi kedua di dunia setelah Timor-Leste. Tidak mengherankan, lima penyebab utama kematian di Indonesia semuanya terkait dengan tembakau, termasuk penyakit jantung iskemik, penyakit serebrovaskular, tuberkulosis, diabetes, dan penyakit pernapasan kronis.
Sistem pendidikan Indonesia juga masih terpuruk. Meskipun ada peningkatan besar dalam akses pendidikan, kualitasnya tetap sangat buruk. Nilai Program Penilaian Pelajar Internasional (PISA) pada 2018 tercatat buruk, termasuk dalam semua kategori sejak tes terakhir pada 2015. Dari 79 negara, Indonesia hanya menempati peringkat 73 dalam matematika, 74 dalam membaca, dan 71 dalam sains, jauh di bawah Singapura, Malaysia, Brunei, dan Thailand.
Skor dari Program untuk Penilaian Internasional Kompetensi Orang Dewasa (PIAAC) menawarkan ukuran lain yang sama-sama memprihatinkan. Rata-rata orang dewasa di Jakarta (berusia 25-65) dengan tingkat pendidikan tersier memiliki kecakapan baca tulis yang lebih rendah daripada orang dewasa menurut Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) pada umumnya yang berusia 16-24 tahun dengan tidak lebih dari pendidikan sekolah menengah pertama. Sekitar 32 persen orang dewasa Jakarta berada di bawah level 1 (tingkat terendah) dalam melek huruf, dibandingkan dengan hanya 4,5 persen orang dewasa OECD.
Mengapa ironi ini terjadi di negara yang membanggakan keberhasilan ekonomi? Sebagian besar masalah ironi ini adalah tata kelola yang buruk dan korupsi. Sebagian besar pengamat ahli dari Indonesia dan banyak orang Indonesia setuju bahwa negara ini telah mengalami kemunduran demokrasi selama dekade terakhir dan semakin cepat dalam lima tahun terakhir.
Lembaga penelitian Freedom House, misalnya, memberi peringkat Indonesia “bebas” selama 2006-2013. Namun sekarang hanya menilai “bebas sebagian”. The Economist Intelligence Unit juga melihat Indonesia sebagai “negara demokrasi yang cacat”, lantas mendapatkan peringkat 64 dari 167 negara, lebih rendah dari negara tetangga Malaysia dan Filipina. Reporters Without Borders (RSF) melihat kebebasan pers, yang merupakan kunci keberhasilan demokrasi, juga bermasalah, dengan menempatkan Indonesia di posisi 124 dari 180 negara pada 2019.
Korupsi yang mengakar dalam di Indonesia sejak lama menjadi masalah populer yang bergejolak secara politis, tetapi perubahan yang didukung oleh elit politik segera setelah Pilpres 2019 justru berupaya membatasi kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sementara itu, proses investigasi korupsi di Nusantara terus lunglai. Pada 2019, Indonesia mendapat skor 40 pada Transparency International Corruption Perceptions Index (dengan 100 menunjukkan “paling bersih”). Sehingga, Indonesia berada di posisi 85 dari 180 negara dan kini cenderung terus mengalami penurunan peringkat.
Singkatnya, tata pemerintahan yang buruk terkait dengan korupsi dan kemunduran demokratis di Indonesia sangat menghambat hasil bagi masyarakat miskin di bidang kesehatan dan pendidikan, serta mempertahankan ketimpangan yang mendalam. Perjanjian perdagangan bebas baru Indonesia-Australia menandai keinginan untuk mengakses sebagian kekayaan elit kecilnya yang bertumbuh cepat. Namun, bagaimana dengan banyak penduduk Indonesia lainnya? Indeks Pembangunan Manusia (HDI) 2018, yang berdasarkan harapan hidup saat lahir, tahun sekolah yang diharapkan, tahun sekolah rata-rata, dan Pendapatan Nasional Bruto (GNI) per kapita menempatkan Indonesia di posisi 111 dari 189 negara dan wilayah, peringkat yang sama dengan Samoa.
Namun, tidak seperti Samoa, Indonesia adalah negara raksasa dengan penduduk 270 juta jiwa yang terletak langsung di utara Australia. Peningkatan bantuan dari Australia tidak akan memberikan keuntungan bagi negara itu, tetapi diharapkan dapat memenangkan akses dan terkadang pengaruh di Indonesia yang berperan vital bagi perencanaan strategis Australia dan akan menjadi kian penting ketika Cina menjangkau Asia Tenggara.
“Lebih penting lagi,” tulis The Interpreter, “adalah menghidupkan kembali bantuan Australia untuk kesehatan, pendidikan, dan pemerintahan yang dapat membantu sebagian dari 72 juta penduduk miskin atau hampir miskin di Indonesia, terutama perempuan dan anak perempuan yang mengalami kesulitan untuk tetap sehat dan mendapatkan pendidikan dengan biaya hidup terbatas hanya sedikit lebih dari 2 dolar AS sehari atau Rp 27.000.” [theinterpreter]