Kamp yang sesak membuat social distancing menjadi mustahil; langkanya air, sabun dan dokter membuat kamp pengungsi seolah ruang tunggu besar sebelum pembantaian
Di sebuah kamp di Suriah, jasad itu berada dalam kantong tertutup. Dokter telah melihat jasad meninggal pasien dengan gejala seperti coronavirus itu. Hanya ia tidak dapat mengobatinya karena kekurangan tempat tidur, alat pelindung dan tenaga medis profesional. Sebuah kamp pengungsi di Bangladesh begitu sempit sehingga kepadatan populasinya hampir empat kali lipat Kota New York, membuat social distancing terasa mustahil. Sebuah klinik di kamp pengungsi di Kenya berjuang di masa normal dengan hanya delapan dokter untuk hampir 200.000 orang.
Ketika negara-negara kaya seperti Amerika Serikat dan Italia berjuang melawan penyebaran besar-besaran virus corona, para pakar kesehatan internasional dan para pekerja sukarela semakin khawatir bahwa virus itu dapat merusak orang-orang yang paling rentan di dunia: puluhan juta mereka yang dipaksa meninggalkan rumah-rumah mereka karena konflik kekerasan.
Kamp-kamp pengungsi di seluruh Afrika, Timur Tengah, dan Asia dipenuhi oleh orang-orang yang mengalami trauma dan kekurangan gizi, dengan akses terbatas ke perawatan kesehatan dan sanitasi dasar, tempat pengembangbiakan virus yang sempurna untuk penularan. Tak terhitung keluarga besar terjebak dalam tempat perlindungan dari terpal dengan lantai lumpur. Makanan, air, dan sabun seringkali kurang. Penyakit, mulai dari batuk-batuk kecil hingga penyakit mematikan, karena tidak terobati, kian memfasilitasi penyebarannya.
Virus corona, yang telah menginfeksi ratusan ribu orang di seluruh dunia, sangat mudah menembus kamp-kamp ini dengan kecepatan dan kematian yang luar biasa. “Jika kami melihat hal ini telah menjadi masalah besar di AS dan Eropa, kami tak bisa membayangkan bagaimana jika Covid masuk ke populasi pengungsi,” kata Adam Coutts, seorang peneliti kesehatan masyarakat di Universitas Cambridge. “Kini pun orang-orang bahkan tidak bisa memandikan anak-anak mereka, apalagi mencuci tangan.”
Sejauh ini, jumlah kasus virus corona yang dikonfirmasi di kalangan pengungsi rendah, tetapi itu mungkin akibat dari kurangnya pengujian. Alat uji sangat terbatas, dan pengungsi jarang menjadi prioritas. Dokter yang merawat pengungsi di Suriah dan Bangladesh mengatakan bahwa dalam beberapa minggu terakhir mereka telah merawat dan kehilangan pasien dengan gejala yang konsisten dengan virus.
“Membeda-bedakan bahwa itu populasi bukan pengungsi dan ini pengungsi adalah teramat naif,” kata Coutts.
Jika virus datang, kamp-kamp tersebut sedikit pun tidak diperlengkapi peralatan untuk menanganinya. Banyak klinik kamp sudah berjuang untuk melawan wabah, seperti demam berdarah dan kolera, meninggalkan mereka tanpa sumber daya untuk mengobati kondisi kronis, seperti diabetes atau penyakit jantung. Coronavirus, yang vaksinnya belum ada, atau rejimen pengobatan yang disepakati untuk Covid-19–penyakit pernapasan yang disebabkannya, di kamp-kamp bahkan bisa lebih dahsyat.
“Kami sedang mempersiapkan yang terburuk,” kata Avril Benoit, direktur eksekutif Doctors Without Borders di Amerika Serikat, yang telah mengerahkan tim untuk bekerja dengan para pengungsi di seluruh dunia. “Kami tahu bahwa di tempat-tempat kami bekerja, kami sangat-sangat kekurangan peralatan dan manusia.”
Kehidupan sehari-hari di kamp pengungsi adalah inkubator ideal untuk penyakit menular. Kekurangan air mengalir, air bersih dan sanitasi dalam ruangan menjadi hal biasa. Orang sering mengantre berjam-jam untuk mendapatkan air, yang tidak cukup untuk mandi secara teratur, apalagi untuk mencuci tangan guna waspada.
“Jika virus corona masuk ke kamp, itu akan menjadi bencana,”kata Ahmadu Yusuf, seorang pemimpin masyarakat di kamp Bakassi di timur laut Nigeria, yang sebagian besar warganya melarikan diri dari kelompok militan Boko Haram. “Akan lebih dahsyat daripada pemberontakan yang membawa mereka ke sini.”
Kehidupan pengungsi juga membuat social distancing, mantera kesehatan yang dipercayai di Barat, menjadi tidak mungkin.
Di tempat-tempat ramai dan miskin seperti Gaza atau daerah kumuh perkotaan di Indonesia dan India, yang memulai lock down terbesar di dunia dalam menanggapi virus minggu ini, menjaga jarak sejauh enam kaki dari yang lain adalah sulit. Permukiman pengungsi seringkali lebih padat.
Sebuah kamp pengungsi di Lesbos, Yunani, dibangun untuk 3.000 orang. Sekarang kamp itu dihuni 20.000 orang dan hampir tidak ada sanitasi. “Satu hal yang ditekankan semua orang dalam memerangi virus corona adalah menciptakan social distancing, tetapi justru itulah yang tidak mungkin bagi para pengungsi,” kata Deepmala Mahla, direktur regional CARE—sebuah lembaga kemanusiaan, untuk Asia. “Di mana Anda bisa menciptakan ruang kosong? Tidak ada ruang kosong.”
Sistem kesehatan yang memadai pun tak ada. Konflik yang sama telah menggusur sejumlah besar orang untuk menghancurkan fasilitas medis, atau memaksa orang untuk tinggal di tempat-tempat di mana tidak ada orang.
Perang di Suriah telah mengirim lebih dari satu juta pengungsi ke Libanon, negara yang dipusingkan krisis ekonomi. Banyak yang hidup dalam kondisi sempit, jorok dan menderita kemiskinan akut.
Jawahir Assaf, 42, tinggal bersama keempat anaknya di tenda bersama 18 orang lainnya di sebuah kamp pengungsi di Lembah Bekaa, Lebanon. Rumah pemotongan hewan terdekat tekah menarik datangnya tikus, yang tak jarang menggigit anak-anak mereka.
Selama bertahun-tahun, ia dan penghuni kamp lainnya bertahan hidup dengan bekerja di pertanian terdekat atau berdagang komoditas dasar. Sekarang, ancaman virus corona membuat mereka terkurung tanpa penghasilan.
“Setelah 13 hari, kami kehabisan makanan,” kata Assaf.
Banyak pengungsi juga menderita gizi buruk dan kondisi kesehatan lainnya yang bisa membuat mereka rentan. Di Bangladesh, di mana sekitar 860.000 Muslim Rohingya melarikan diri sebagai pengungsi dari penganiayaan rezim biadab di Myanmar, pihak berwenang takut musim hujan akan menyebabkan air limbah meluap ke tempat penampungan, dan mungkin menyebarkan virus corona.
“Kami takut virus itu membunuh banyak orang di seluruh dunia,” kata Marjuna, seorang pengungsi Rohingya yang berusia 18 tahun di Kamp Kutupalong. “Kami tidak tahu cara menghentikannya.”
Kurangnya informasi di kamp telah meningkatkan rasa panik di antara orang-orang yang sudah menghadapi banyak kecemasan. Di Bangladesh, pemerintah membatasi akses internet seluler bagi banyak orang Rohingya, menciptakan kekosongan informasi yang memungkinkan rumor berkembang:
Makan bawang putih atau daun dolar akan menangkal virus, para pengungsi Rohingya mendengar hal itu. Orang beriman tak akan tertular penyakit. Mereka yang dinyatakan positif harus dibunuh untuk menghentikan penularan.
Pekerja kemanusiaan bahkan mengatakan mereka telah dipandang dengan curiga sebagai kemungkinan pembawa penyakit. Setidaknya dua orang telah diserang, kata seorang staf kamp.
“Kami berusaha memperbaiki kesalahan penafsiran, tetapi kurangnya jaringan seluler membuat sangat sulit untuk mengeluarkan pesan yang benar tentang kesehatan dan kebersihan,”kata Marie Sophie Pettersson, spesialis program untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, di kamp Rohingya.
Badan-badan bantuan yang kelelahan melihat, krisis kesehatan dan ekonomi di Barat akan berarti lebih sedikit uang untuk para pengungsi. Beberapa orang takut bahwa orang-orang di negara-negara kaya akan lebih sedikit khawatir tentang orang-orang miskin ketika mereka merasa terancam di rumah masing-masing. “Ketika para pemimpin dunia bersiap untuk yang terburuk di dalam negara mereka, seharusnya mereka tidak boleh meninggalkan mereka yang tinggal di luar negara mereka,” kata Jan Egeland, sekretaris jenderal Dewan Pengungsi Norwegia.
Pekerja bantuan memperingatkan bahwa penyebaran virus di Barat juga dapat menghambat kemampuan organisasi bantuan untuk merespons. Pembatasan perjalanan mempersulit pekerja bantuan untuk mencapai daerah yang terancam. Yang lain berharap pandemi ini akan menghasilkan empati global.
“Ketika kami tiba-tiba khawatir tentang keselamatan kami sendiri, itu mungkin membantu kami memahami apa yang dirasakan seorang wanita Rohingya,” kata Mahla dari CARE. “Terlepas dari status keuangan kita, perbatasan kita, kasta kita, warna kulit atau jenis kelamin kita, kita semua berada di kapal yang sama, melawan virus corona.”
Lock down yang diberlakukan pemerintah untuk memperlambat penyebaran virus telah menghukum pengungsi dengan kesulitan menemukan makanan. Di Libanon, tempat sebagian besar pengungsi Suriah tinggal di kota-kota, Nisrine Muhra, 35, mengatakan putra dan putrinya, 10 dan 13, dulu menjual jaringan di jalan di Beirut. Mereka kini terpaksa tinggal di rumah. Suaminya, pekerja harian, menghadapi risiko kalau keluar untuk mencari pekerjaan. Ia pernah diusir tentara dari jalanan.
Keluarga itu tiga bulan terakhir telah hidup hanya dengan minyak, roti, dan jamu, tanpa uang tunai untuk peralatan pelindung dan pembersih. “Daripada membeli masker, lebih baik membeli roti untuk anak-anak saya,”katanya. “Kita tidak akan mati karena korona, tetapi karena kekurangan makanan.” [Hannah Beech/ Ben Hubbard/The New York Times]
*Hannah Beech menulis dari Bangkok dan Ben Hubbard dari Beirut. Abdi Latif Dahir berkontribusi dari Nairobi, Kenya; Ruth Maclean dari Dakar, Senegal; dan Hwaida Saad dari Beirut.