Pemerintah Modi mencabut hak otonomi Jammu dan Kashmir, negara bagian mayoritas Muslim di India, memutuskan pelayanan komunikasi dan internet selama berbulan-bulan dan memenjarakan para politisi Muslim terkemuka
NEW DELHI—Baru saja Delhi pulih dari kerusuhan anti-Muslim bulan lalu, sebuah majalah digital baru mulai beredar. Artikel utamanya bertajuk, “Jadi, ke Mana Sekarang Anda Akan Pergi? Ada Panggilan dari Muslim India.”
Bernama ‘Voice of Hind’–Bahasa Arab untuk India, majalah digital itu tidak menyebutkan secara langsung kekerasan sektarian yang merenggut setidaknya 53 nyawa ketika gerombolan nasionalis Hindu mengamuk di lingkungan kelas pekerja di ibukota India itu. Tapi tulisan itu mengolok-olok umat Muslim di negara itu yang yakin akan demokrasi, seraya memperingatkan pembaca bahwa mereka “di ambang untuk dilucuti hingga potongan martabat terakhir”.
Majalah itu—melihat waktunya yang seiring, menyoroti fokus baru di antara kelompok-kelompok ekstremis Islam transnasional pada upaya untuk datang merekrut anggota kelompok di India. Semua terjadi manakala kaum Muslim negara itu kian terpinggirkan oleh agenda nasionalis Hindu dari Perdana Menteri Narendra Modi.
Bahkan sebelum kerusuhan, buletin ISIS, Al-Naba, telah mendedikasikan sebuah artikel untuk perubahan pada undang-undang kewarganegaraan baru India, yang memperkenalkan kriteria agama ke dalam peraturan kewarganegaraan untuk pertama kalinya. Semua warga negara-negara Asia Selatan lainnya diprioritaskan, kecuali orang-orang Muslim.
Majalah itu kemudian menggunakan foto Reuters yang diambil selama amuk massa, yang menunjukkan seorang Muslim berdarah-darah dipukuli segerombolan Hindu yang hilang akal dan marah, seolah membenarkan untuk dilakukannya kekerasan balasan.
“Orang luar memancing di air ketruh,” kata Ajai Sahni, direktur eksekutif Institute for Conflict Management, sebuah lembaga think tank yang berfokus pada keamanan internal. “Jika Anda melihat media sosial, obrolan yang sedang berlangsung adalah riuhnya pernyataan kelompok ISIS yang meminta umat Islam bangkit dan memerangi ketidakadilan di negara mayoritas Hindu.”
Kabir Taneja, penulis buku tentang pengaruh ISIS di Asia Selatan, mengatakan Voice of Hind tidak memiliki kualitas propaganda sebagus ISIS. Tapi, dia berkata,” Yang mengkhawatirkan, hal ini benar-benar bisa keluar sama sekali. Ini bukan hanya menargetkan politik India. Ini tentang mencoba mengarahkan Muslim India ke arah ideologi ISIS,” kata dia.
Di masa lalu, Muslim India– sekitar 14 persen dari populasi, telah terbukti menentang kelompok-kelompok ekstremis Islam seperti al-Qaidah atau pun ISIS. Hanya sedikit yang bergabung dengan barisan mereka di Afghanistan atau Suriah, sangat kontras dengan Muslim Asia Selatan lainnya.
Di wilayah mereka sendiri, para pemimpin komunitas Muslim lndia telah bekerja sama dengan badan-badan intelijen dan keamanan negara untuk membantu membongkar kelompok-kelompok radikal yang tumbuh di dalam negeri. Para analis mengatakan, demokrasi India yang dinamis–di mana umat Islam pernah didekati sebagai konstituen penting, telah menumpulkan daya tarik Islam radikal, sementara pertumbuhan ekonomi yang kuat menghasilkan optimisme untuk prospek masa depan minoritas.
Tetapi ketika partai Modi–Bharatiya Janata, berkuasa, partai itu mendorong untuk mendefinisikan kembali India, terutama sebagai negara Hindu. Para analis keamanan takut pemuda Muslim yang merasa tidak puas dan terpinggirkan secara politik dan ekonomi, akan merangkul ideologi radikal Islam sebagai cara untuk melampiaskan frustrasi mereka.
“Demokrasi dan ekonomi India tidak memungkinkan radikalisasi diarusutamakan di India,” kata Taneja, seorang pegiat program studi strategis di Observer Research Foundation, sebuah lembaga think-tank India.
“Ada perasaan positif yang besar tentang apa itu India. Ketakutan sekarang adalah bahwa India pada dasarnya sedang diubah dan dirancang ulang secara fundamental. Mayoritas [Hindu] mengatakan, ‘kami adalah mayoritas dan suara kami akan selalu lebih keras daripada milikmu’,” tambahnya. “Itu akan memiliki konsekuensi dengan munculnya radikalisasi Islam.”
Di India, representasi politik Muslim terus menurun seiring penguatan BJP. Wakil Muslim di parlemen saat ini jumlahnya kurang dari 5 persen di majelis rendah India, turun dari puncaknya 9,7 persen pada tahun 1980. Tak ada seorang pun Muslim di antara legislator terpilih BJP di majelis itu.
Pesan yang mendasari BJP kepada para pendukung intinya adalah penolakannya untuk memberikan konsesi kepada minoritas agama yang ia yakini pernah memiliki pengaruh yang tidak semestinya terhadap pembuatan kebijakan, yang digambarkan BJP sebagai potensi ancaman berbahaya bagi keamanan.
Kebijakan Modi terbaru pun telah memicu kecemasan Muslim. Awalnya sebagai perdana menteri, dia berbicara tentang pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat, pekerjaan yang bisa disediakan dan memerangi korupsi. Tetapi sejak terpilihnya kembali Mei lalu– dengan India dalam cengkeraman perlambatan ekonomi berkepanjangan, Modi telah berputar ke arah isu-isu sosial politik yang memecah-belah, yang populer di antara kelompok sayap kanan Hindu.
Agustus lalu, pemerintah Modi mencabut Jammu dan Kashmir, satu-satunya negara bagian mayoritas Muslim di India, dari otonomi politik dan kenegaraannya, membuat pelayanan komunikasi (internet) buruk selama berbulan-bulan dan memenjarakan para politisi Muslim paling terkemuka. Perubahan pada hukum kewarganegaraan baru-baru ini, semakin mengasingkan umat Islam.
Ketika mereka turun ke jalan untuk memprotes, mereka dianggap sebagai kelompok anti- negara yang berbahaya. Kerusuhan bulan lalu di Delhi meletus setelah seorang pemimpin lokal BJP memberikan pidato yang menghasut, yang menuntut agar polisi menyingkirkan demonstran perempuan, seraya mengancam ia dan para pengikutnya yang akan melakukannya sendiri.
Para pakar keamanan khawatir sikap BJP yang tidak kenal kompromi terhadap minoritas agama terbesar di negara itu akan memperdalam alienasi Muslim, yang berpotensi melemahkan ikatannya dengan badan-badan intelijen. “Jika orang-orang dan Delhi tetap terus berperilaku seperti itu, ikatan itu akan sangat cepat terputus,” kata Sahni.
Yang lain memperingatkan bahwa anak muda Muslim mungkin akan beralih ke kekerasan untuk membuat protes mereka didengar. “Begitu orang tidak lagi memiliki kepentingan dalam masyarakat, mereka adalah orang-orang yang paling rentan terhadap ekstremisme radikal,” kata Ali Khan Mahmudabad, seorang profesor ilmu politik di Universitas Ashoka. “Orang-orang terjebak dalam pusaran kekerasan karena marginalisasi dan pencabutan hak pilih. Apa yang terjadi dalam situasi ini adalah, mereka akan melihat dan meminta bantuan seluruh dunia.” [Financial Times]