Jernih.co

Manakala Soeripto Menyusup Blokade dan Menyuplai Bantuan Senjata Indonesia untuk Bosnia [2]

Soeripto bersama para pejuang Muslim Bosnia. foto Rizal Dharma Putra

Moerdiono saat itu terperanjat karena sebelumnya tak pernah tahu. Ia bertanya kepada Pak Harto dengan bahasa Jawa,”Pak, kapan kita bantu senjata?” “Wis. Wis, meneng bae,” jawab Pak Harto, yang saat ke Bosnia itu menolak mengenakan rompi dan helm anti peluru.

JERNIH—Paginya, sesegera usai shalat subuh, Soeripto segera bergegas turun dari perbukitan Igman, kembali ke Zagreb. Bagaimana pun ia punya janji untuk melunasi utang pembelian senjata kepada para mantan personel militer Kroasia.

Sesampai di Zagreb, datang telepon. Ia harus mengambil uang untuk pembayaran di Budapes. Komite di Jakarta bilang, uang itu bisa diambil di Budapes melalui Dubes Indonesia untuk Hongaria saat itu, Soelaiman Pringgodigdo.

Yang hingga kini disyukuri Soeripto, kelompok Kroasia yang mempercayainya berutang itu tampaknya kelompok desertir militer ‘baik-baik’. Dia tak mengalami kesulitan untuk keluar Kroasia menuju Hongaria via penerbangan. Padahal sangat mungkin sebagai orang yang punya utang cukup besar kepada sekelompok desertir– 2,5 juta DM, dirinya wajar kalau pun terus diintai.

Setiba di Bandara Ferihegy, Budapest, Soeripto dijemput langsung Dubes Soelaiman Pringgodigdo. Dubes Soelaiman datang sendirian, tanpa sopir, dengan tampilan yang sangat bersahaja. Mobil yang ia gunakan pun entah mobil dari mana, karena bukan mobil kedutaan. Dengan mobil itulah Soelaiman yang menyetir sendiri—karena akan sulit kalau menyetir berdua—membawa Soeripto ke sebuah bank Jerman.

Sebuah lukisan kontemporer tentang kejahatan perang di Bosnia-Herzegovina

Proses pengambilan uang di bank tak lama, dan lancar saja. Perlu dua backpack yang cukup besar untuk membawa utuh semua uang itu. Soeripto menutupi lapisan atas tumpukan uang itu dengan sedikit baju yang ia bawa, hanya agar pada saat tak sengaja dibuka, tak langsung membuat orang yang berdekatan tahu isinya.

Persoalannya, pulang ke Zagreb dengan membawa uang sebanyak itu tentu berbeda dengan saat pergi yang nyaris tak membawa barang berharga. Dengan membawa uang banyak, kemungkinan berurusan di bandara pun lebih besar. Soeripto merasa tak mungkin uang itu dibawa via penerbangan. Apalagi waktu pengambilan uang pun mepet dengan waktu tutupnya bank. Alhasil, hari sudah sore, bahkan hari sudah menjelang malam saat Soeripto berpisah dengan Dubes Soelaiman.

“Saya akhirnya memutuskan untuk menginap saja malam itu dan berangkat esok paginya. Saya mendatangi Hilton Budapest untuk menginap malam itu,” kata Soeripto.

Namun ternyata membawa uang banyak membuat Soeripto gelisah. Apalagi itu uang panas yang masih harus dibayarkan kepada empunya senjata di Zagreb. “Safe deposit box yang ada di kamar terlalu kecil untuk menyimpannya. Saya pun gelisah, tak dapat tidur.”

Entah mengapa, Soeripto memilih check out dari Hilton Budapest malam itu juga. Dicarinya taksi yang mau mengantarnnya ke Zagreb. (Jaraknya pada peta sekitar 390 km—redaksi Jernih.co). Untunglah ada sopir taksi yang mau dengan bayaran 500 dolar AS.

Persoalannya, baru saja mereka melewati perbatasan dan memasuki wilayah Kroasia, tiba-tiba sopir taksi berhenti. Ia yang tadinya gagah dan bilang tak ada masalah, tiba-tiba seolah mengkeret kehilangan nyali.

“Saya tak berani, Pak,” kata dia menghiba. “Banyak penembak gelap berkeliaran, bersembunyi, mengintai siapa saja yang dia curigai. Bapak turun di sini, bayar saja saya setengah kesepakatan kita.”

Soeripto tak bisa memaksa. Hanya ia minta diturunkan di hotel terdekat karena hari sudah beranjak sore. Soeripto pun turun, membayar 250 dolar sebagaimana kesepakatan.   Hotel tempat Soeripto diturunkan adalah sebuah hotel tua yang megah dan besar. “Mirip rumah drakula,” kata dia, mengenang. Saat check-inn di resepsionis, baru ketahuan, tamu hotel malam itu hanya dirinya seorang.

Tetapi di bawah, di bar maupun coffee-shop, ramainya minta ampun. Orang-orang berjubel menikmati music dan minum ini-itu, laiknya di bar-bar hotel umumnya.

Hanya beberapa puluh menit setelah masuk kamar, tiba-tiba pintu kamar Soeripto digedor-gedor. Jelas suaranya seorang perempuan, seperti minta izin masuk. Kuatir akan keselamatan dan uang yang dibawa, Soeripto tak membukakan pintu.

Tak sampai satu jam, kembali pintu kamarnya digedor. Kali ini suaranya lain, tapi tetap suara perempuan. “Saya akhirnya menelepon front office. Eh, dia mengatakan kalau malam pihak hotel tak bisa apa-apa karena hotel itu dikuasai mafia Rusia,” kata Soeripto. Kuatir, nyaris sepanjang malam Soeripto tak tidur. Menonton tv pun hanya bikin pusing, karena tak ada acara yang bisa ditonton. “Semua berbahasa Rusia, dan bukan siaran hiburan, namun pidato-pidato tak berkesudahan.”

Sekitar pukul 05 pagi ia kembali menelepon front office. Untunglah di bawah resepsionis bilang orang-orang yang disebutnya kelompok mafia Rusia itu sudah pergi.

Setelah tidur sebentar dan sarapan, Soeripto pun check-out.  Saat minta tolong untuk bisa mendapatkan taksi, resepsionis bilang tak ada taksi. Yang ada hanya bus, langsung menuju Zagreb. Dengan bus umum itu, dan dua tas besar yang merepotkan, Soeripto pun naik bus menuju Zagreb.

“Tak ada yang melihat saya dengan tatapan curiga. Mungkin mereka anggap dua tas besar itu hanya pakaian,” kata Soeripto. Sesampai di Zagreb, di satu hotel yang telah disepakati, uang itu pun Soeripto serahkan. Orang-orang Kroasia itu tak pernah tahu kalau untuk membayar senjata itu dirinya harus melakukan petualangan khusus lebih dulu hingga Hongaria.

Meski tak pernah lagi dimintai masuk Bosnia untuk berkirim bantuan, menurut Soeripto, Komite yang diketuai Probosutejo itu secara rutin terus mengirim bantuan ke sana. Hanya tampaknya sudah bukan lagi bantuan senjata. Atau mungkin saja terus, namun dengan cara-cara baru, atau dengan perantaraan orang lain. Soeripto mengaku tak tahu detil soal ini. Hanya dari sekian kali pertemuannya dengan Probo, tak pernah lagi ada tantangan untuk mengulang petualangannya di 1992 itu.

Yang menarik, sebagaimana kita ketahui, Presiden Soeharto sendiri pernah juga mengunjungi Bosnia di saat negara itu masih diamuk konflik, tahun 1995. Pak Harto yang saat itu sudah berada di Eropa dalam rangkaian lawatannya, berkeras meneruskan rencana kunjungan ke Bosnia, meski pada 11 Maret 1995–dua hari sebelum kunjungannya itu–pesawat yang ditumpangi Utusan Khusus PBB Yasushi Akashi, ditembaki saat terbang ke Bosnia.

Insiden itu tak membuat nyali Pak Harto, pemimpin negara-negara Non Blok itu urung mengunjungi komunitas Muslim Bosnia. Padahal, untuk tetap mendapatkan izin berangkat pun, Indonesia saat itu harus berdebat panjang dengan PBB.

Konon, manakala Presiden Bosnia Alija Izetbegovic bertemu Pak Harto yang ditemani Moerdiono, Presiden Alija menyatakan rasa terimakasih negaranya untuk bantuan senjata tersebut.

“Bantuan seperti itu yang kami perlukan, Paduka,” kata Soeripto menirukan apa yang dikatakan Presiden Alija,”Senjata, bukan hanya pakaian, makanan dan obat-obatan.”

Moerdiono saat itu terperanjat karena sebelumnya tak pernah tahu. Ia bertanya kepada Pak Harto dengan bahasa Jawa,”Pak, kapan kita bantu senjata?”

Wis. Wis, meneng bae,” jawab Pak Harto, yang saat ke Bosnia itu menolak mengenakan rompi dan helm anti peluru.

“Itu artinya Soeharto itu luar biasa. Urusan-urusan begitu, sekali pun Mensesneg, dia bikin nggak tahu,” kata Soeripto. Dia sendiri yakin, Pak Harto tahu pasti soal pengiriman bantuan tersebut.

Nggak mungkin Pak Probo berani tanpa pengetahuan dan restu Pak Harto. Bahkan siapa tahu ide itu sebenarnya datang dari mana,” kata dia. [selesai]

Exit mobile version