“Dalam seratus tahun, PKC mengumpulkan 90 juta anggota. Sebuah ekosistem internet seperti yang dibangun perusahaan layanan pesan pendek, Tencent, punya 1,2 miliar pengguna aktif hanya dalam sepuluh tahun,” kata Mayer
JERNIH– Alibaba, Tencent, Didi-– satu per satu raksasa teknologi Cina mendapat tamparan dari Partai Komunis. Perlakuan serupa juga diarahkan terhadap kelompok paling kaya. Apa yang dikhawatirkan Beijing?
“Siapa pun di Cina saat ini tidak dianjurkan untuk masuk dalam daftar orang paling kaya,” kata Maximilian Mayer, guru besar politik teknologi global di Universitas Bonn, Jerman. Alasannya tak lain kelakuan pemerintah Cina yang belakangan giat mengekang perusahaan-perusahaan teknologi terbesar negerinya. Korban paling baru adalah perusahaan layanan jasa transportasi, Didi Chuxing, yang baru-baru ini berhasil mencatatkan diri di bursa saham New York.
Lembaga Pengawas Siber Cina (CAC) menuduh Didi melanggar UU Keamanan Nasional. Akibatnya saham perusahaan anjlok lebih dari lima persen, Jumat (2/7) lalu.
Hal serupa melanda Colin Huang yang oleh Forbes ditaksir memiliki kekayaan 42 miliar dolar AS dan termasuk manusia paling kaya di Bumi. Belum lama ini, dia secara mengejutkan mengumumkan pengunduran diri dari Pingduoduo, sebuah platform bisnis pertanian yang membesarkan sang miliarder.
Perusahaan lain, Yunmanman dan Huochebang di sektor transportasi, serta Biss Zhipin yang menawarkan layanan tenaga kerja, termasuk dalam bidikan CAC. Sejak Minggu (4/7), semua platform internet di Cina diwajibkan mencabut aplikasi milik semua perusahaan tersebut.
Kita tahu, pendiri situs Alibaba, Jack Ma, telah lebih dulu berurusan dengan Presiden Xi Jinping, dan akhirnya mundur sebagai direktur utama. Hal serupa dilakukan pendiri-pendiri lain.
Kekuasaan atas data
Selain soal perlindungan data, laku Partai Komunis (PKC) mengebiri perusahaan teknologi didorong oleh insting kekuasaan. “Dalam seratus tahun, PKC mengumpulkan 90 juta anggota. Sebuah ekosistem internet seperti yang dibangun perusahaan layanan pesan pendek, Tencent, punya 1,2 miliar pengguna aktif hanya dalam sepuluh tahun,” kata Mayer. Jadi urusannya dekat-dekat ke perilaku ABG, cembokur.
Dengan jumlah itu, menurut Mayer,”Tencent menguasai data yang lebih besar ketimbang PKC.”
Hal itu tidak mengejutkan, kata Kirsten Tatlow, peneliti di Masyarakat Jerman untuk Kebijakan Luar Negeri (DGAP). “Cina melihat perekonomian dari kacamata keamanan.” Dia meyakini langkah Beijing berkaitan dengan kebijakan perusahaan teknologi yang mencatatkan diri di bursa-bursa AS.
“Isyarat dari partai ini multi-tafsir,” lanjut Mayer. Dia meyakini PKC ingin memaksa perusahaan tunduk pada target-target partai. “Tapi juga untuk membatasi orangnya sendiri, para pengusaha super kaya yang sering menikmati kultus individu di Cina.”
Namun begitu, kebijakan pemerintah Cina bukan tanpa konsekuensi bisnis. Baru-baru ini, perusahaan investasi Blackrock menyatakan mundur dari saham perusahaan teknologi Cina. “Kami ingin menjauh dulu dari platform-platform terbesar dan dominan di Cina,” kata Direktur Blackrock, Lucy Liu.
Perusahaan-perusahaan AS pun ikut terdampak. Investigasi terhadap Didi, misalnya, turut merugikan Apple yang menanam saham di perusahaan itu.
“Saat ini investor mengambil risiko jika menanam saham di perusahaan data di Cina,” tulis Kirsten Tatlow. “Pemerintah akan melakukan segala hal yang diperlukan untuk mempertahankan kekuasaan atas data-data itu.” [Deutsche Welle]