- “Israel dapat melakukan apa pun yang diinginkan kepada kami; menyita tanah kami, atau membunuh kami. Namun mereka tidak dapat mengubah identitas kami,” ujar penduduk Dataran Tinggi Golan.
- Mereka yang menerima KTP Israel dikucilkan komunitas dan tidak lagi dianggap sebagai Druze.
JERNIH — Sekian lama Dataran Tinggi Golan tak menjadi berita sampai sebuah rudal menghantam lapangan sepak bola di Madjal Shams, kota komunitas Druze, menewaskan 12 orang dan melukai puluhan lainnya.
Israel dengan cepat menyalahkan Hizbullah, seraya mengatakan kelompok perlawanan di Lebanon itu menggunakan rudal buatan Iran. Seperti pahlawan kesiangan, PM Benjamin Netanyahu bersumpah Israel tidak akan membiarkan serangan mematikan itu tidak dibalas, dan Hizbullah akan membayar harga yang mahal.
Hizbullah membantah pihaknya menargetkan Majdal Shams, kota dengan penduduk yang menolak kewarga-negaraan Israel dan setia memegang identitas Suriah. Israel mencaplok Dataran Tinggi Golan tahun 1967, tapi tak bisa menaklukan penduduknya.
“Hizbullah tidak ada hubungan dengan insiden di Majdal Shams,” demikian keterangan resmi Hizbullah.
Axios, mengutip pejabat AS, memberitakan pejabat Hizbullah memberi tahu PBB bahwa insiden di Dataran Tinggi Golan akibat rudal pencegat Israel yang menghantam taman bermain di Majdal Shams, kota terbesar di Golan.
Beberapa saksi mata anonim, seperti dikutip sejumlah media, mengatakan melihat rudal pencegat jatuh di lapangan. Semua saksi menolak bicara di depan kamera karena takut dibunuh Israel.
Beberapa hari kemudian Israel melancarkan agresi di pinggiran selatan Beirut, mengakibatkan pemimpin militer tertinggi Hizbullah Sayyed Fouad Shokor terbunuh.
Dalam pidato yang saat pemakaman Sayyed Shokor, Sekjen Hizbullah Sayyed Hassan Nasrallah mengatakan Israel mencoba memberi label agresi di Beirut sebagai respon terhadap insiden di Majdal Shams.
Upaya Memicu Konflik Druze-Hizbullah
Israel, menurut Hassan Nasrallah, tidak bisa menerima hipotesis bahwa insiden di Majdal Shams akibat rudal pencegatnya, meski ada banyak bukti menunjukan hal itu. Bahkan sejumlah analis militer memperkuat hipotesis itu.
Israel, lanjut Hassan Nasrallah, berusaha memicu pertikaian sektarian antara Druze di Golan yang diduduki Israel dengan Hizbullah. Semua itu dilakukan untuk merusak pencapaian Banjir Al Aqsa, yang menjadi simbol persatuan Arab.
Druze tidak terpancing dengan narasi Israel. Hizbullah menyampaikan terima kasih kepada pemimpin politik dan spiritual Druze atas sikap mereka. Artinya, Israel gagal memicu konflik Druze-Hizbullah.
Penolakan Druze terlihat saat upacara pemakaman korban serangan itu pada Sabtu pekan lalu. Channel 13 Israel melaporkan penduduk Majdal Shams menyerang anggota Partai Likud pimpinan Benjamin Netanyahu yang datang untuk ikut dalam upacara pemakaman.
Israel Walla, media Israel lainnya, memberitakan penolakan warga Majdal Shams terhadap kedatangan Menteri Keuangan Bezalel Smotrich.
“Keluar dari sini, kami tidak menginginkan kamu, pembunuh,” kata penduduk kepada Smotrich. “Kalian memanfaatkan darah anak-anak kami.”
Koresponden Al Mayadeen Hanaa Mahameed mengunjungi lokasi jatuh proyektil dan mengumpulkan kesaksian penduduk. Seluruh penduduk Majdal Shams menentang narasi Israel bahwa Hizbullah berada di balik serangan itu.
Orang Druze sangat tahu karakter Hizbullah, yang tak pernah menutupi kesalahan jika terjadi salah tembak, atau roket yang mereka lepaskan jatuh ke pemukiman non-Yahudi.
Netanyahu Datang, Penduduk Marah
Netanyahu tiba di Majdal Shams dengan konvoi pejabat keamanan tingkat tinggi. Ia tiba sekitar pukul 02:00 dan diterima kepala dewan kota yang ditunjuk Israel di sebuah gedung pemerintah. Netanyahu masuk ke dalam gedung melalui pintu belakang.
Kabar kedatangan Netanyahu sampai ke telinga penduduk. Ratusan orang berkumpul di luar gedung tempat Netanyahu berada, dan berteriak; Pembunuh anak-anak. Penjahat.”
Setelah 15 menit, Netanyahu keluar dari gedung dan ngeloyor begitu saja. Penduduk Majdal Shams tidak menginginkan pejabat Zionis datang ke tempat mereka.
Al Mayadeen juga menemukan sejumlah penduduk yang menolak atap rumahnya dijadikan titik penjagaan sebelum kedatangan Netanyahu. Patut dicatat, 80 persen penduduk Dataran Tinggi Golan menolak kewarganegaraan Israel, dan masih tetap menyebut diri orang Suriah.
Hanya 20 persen penduduk Dataran Tinggi Golan yang menerima kewarganegaraan Israel, entah apa alasan mereka.
Media Israel melaporkan tahun 2018 hanya 272 dari 12 ribu warga Dataran Tinggi Golan yang memberikan suara dalam pemilihan lokal yang digelar otoritas pendudukan Israel.
Pendudukan Ilegal
Dalam Perang 1967, biasa dikenal sebagai Perang Enam Hari, Israel menduduki Jalur Gaza, Tepi Barat, al-Quds, Semenanjung Sinai, dan Dataran Tinggi Golan.
Dataran Tinggi Golan membentang seluas 1.860 kilometer persegi, mencakup satu persen total luas daratan Suriah. Selama Perang Juni 1967, Israel menduduki sekitar 1.250 kilometer persegi. Suriah hanya bisa mendapatkan kembali 100 kilometer persegi Dataran Tinggi Golan setelah Perang Oktober 1973.
Israel menggusur 95 persen penduduk Golan, sekitar 140 ribu warga Suriah, dan menghancurkan 340 desa dan kota Quneitra. Di atas desa-desa itu, Israel membangun 34 pemukiman pertanian dan kota Katzim, dengan populasi pemukim Yahudi 26 ribu jiwa.
Mereka juga membangun 76 radang ranjau, yang berisi sekitar dua juta ranjau, dengan beberapa berada di dalam dan sekitar desa desa berpenghuni.
Saat ini Israel menempati 1.176 kilometer persergi Dataran Tinggi Golan, termasuk 100 kilometer zona demiliterisasi sesuai Perjanjian Gencatan Senjata 1949.
Ada lima desa di Dataran Tinggi Golan yang diduduki; Majdal Shams, Mas’ada, Buq’ata, Ein Qiniya, dan Ghajar. Sekitar 10 persen penduduk lima desa itu bekerja di sektor pertanian, memanfaatkan 21 ribu dunam untuk bercocok tanam. Bandingkan dengan pemukim Israel yang bertani di atas lahan seluas 110 ribu dunam.
Dunam adalah satuan luas tanah yang digunakan Kesultanan Utsmaniyah, yang sampai saat ini masih digunakan di sejumlah negara Timur Tengah.
Tidak ada kesamaan pasti dunam dengan hektar. Di sejumlah wilayah satu dunam adalah 900 meter persegi, di wilayah lain 2.500 meter persegi. Namun di sebagian besar bekas wilayah Kesultanan Utsmaniyah, satu dunam setara dengan satu dekar atau 1.000 meter.
Orang-orang Golan bercocok tanam sejak berabad-abad, dan terkenal sebagai penghasil buah zaitun dan apel. Namun penggunaan air yang terbatas membuat kuantitas produksi pertanian tidak pernah tercapai.
Menurut Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi Rasial, perluasan permukiman Israel dan aktivitasnya telah membatasi akses petani Suriah terhadap air melalui penetapan harga dan biaya yang diskriminatif. Akibatnya, petani Golan hanya kebagian lima juta milimeter kubik air per tahun.
Peneliti Scott Kenedy, dalam The Druze of the Golan: A Case of Non-Violent Resistance, menulis sumber utama air di Golan disita untuk penggunaan eksklusif para pemukim Yahudi, dan sumber air lainnya sebagian dialihkan untuk digunakan Israel.
Dalam tindakan yang mencerminkan sifat biadabnya, tahun 1981 Israel secara resmi mencaplok Dataran Tinggi Golan melalui UU Dataran Tinggi Golan yang disahkan Knesset.
Pengesahan UU ini melanggar resolusi internasional, dan menganggap keputusan Knesset batal, tidak sah, dan tidak memiliki efek hukum internasional. Sikap ini ditegaskan kembali oleh PBB pada 28 November 2023.
Meski PBB dan masyarakat internasional tidak mengakui pencaplokan Golan, dan hukum internasional menganggap 33 pemukim Yahudi di wilayah itu tidak sah, Israel mendapat pengakuan dari Presiden AS Donald Trump tahun 2019.
Sebagai ucapan terima kasih kepada Trump, sebuah pemukiman baru didirikan dan diberi nama Donald Trump.
Menariknya, setelah Joe Biden memangku jabatan tahun 2020, pemerintahnya tidak membatalkan keputusan itu dan menyebut wilayah Golan sebagai Isael utara, bukan bagian wilayah Suriah.
Pada 26 Desember 2021, pemeirntah Israel di bawah PM Naftali Bennett menyetujui rencana menggandakan populasi Yahudi di Golan pada tahun 2030, dengan anggaran satu miliar dolar. Rencananya, Israel akan menghadirkan 23 ribu orang Yahudi di pemukiman baru di sekujur Golan.
Menolak Kewarganegaraan Israel
Israel dan AS boleh saja seenak jidat merebut Dataran Tinggi Golan, tapi mereka tidak bisa menaklukan rakyatnya. Tahun 1981, 90 persen penduduk Dataran Tinggi Golan menolak kewarganegaraan Israel.
Jonathan Kuttab, pengacara Palestina dan aktivis hak asasi manusia, dalam wawancara 1983 punya cerita menarik soal ini. Menurutnya, mereka yang menerima kartu identitas Israel dikucilkan komunitasnya.
“Mereka yang menerima kartu identitias Israel benar-benar telah memisahkan diri. Mereka bukan lagi Druze,” kata Kuttab.
Menurut Kuttab, setelah Israel mengesahkan aneksasi Golan, penduduk wilayah itu mengajukan banding dan petisi untuk pembatalan keputusan itu. Sebab, UU aneksasi itu mengharuskan mereka mendapatkan kewarganegaraan Israel. Ketika tuntutan ditolak, mereka mengumumkan tidak akan mematuni otoritas pendudukan.
“Israel dapat melakukan apa pun yang diinginkan kepada kami; menyita tanah kami, atau membunuh kami. Namun mereka tidak dapat memberi tahu siapa kami, Merka tidak dapat mengubah identitas kami,” kata Kuttab menirukan pernyataan pendudukan Golan.
Setelah keputusan aneksasi itu, penduduk Golan melancarkan perlawanan tanpa kekerasan yang heroik sebagai upaya menentang pemerintah Israel.