Bila perwira menengah yang kini bertugas di Kodam VI/Mulawarman itu merasa menyesal, hal itu wajar saja. Urusan yang kini membelitnya itu bermula dari perkara yang bagi orang sipil mungkin sepele: merasa tak dihormat—alias dikasih hormat ala militer dengan telapak tangan diletakkan di dahi dan sikap sempurna.
JERNIH–Peribahasa “sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna” tampaknya menjadi atmosfer kehidupan Kolonel Inf. DH saat ini. Setidaknya itu yang terlihat di persidangan yang mengadili perbuatannya di Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta, Jakarta Timur, Kamis (6/4). Sepanjang prosesi peradilan yang dimulai setelah waktu ashar itu, Kol. DH lebih sering tepekur menatap lantai gedung peradilan.
Bila perwira menengah yang kini bertugas di Kodam VI/Mulawarman itu merasa menyesal, hal itu wajar saja. Urusan yang kini membelitnya itu bermula dari perkara yang bagi orang sipil mungkin sepele: merasa tak dihormat—alias dikasih hormat ala militer dengan telapak tangan diletakkan di dahi dan sikap sempurna.
Berdasarkan info selama persidangan, kasus itu bermula ketika pada Senin malam, 24 Oktober 2022, Mayor DM bermaksud mencari makan malam di luar Mess Mabesad Pejambon, Jakarta. Untuk itu ia berjalan menuju lift di ujung lantai 8 gedung tersebut, menuju parkiran. Menurut pengakuan Mayor DM, ia berjalan sambil terus bertukar pesan WA dengan telepon selular di tangan kiri. Sementara tangan kanannya memegang helm hitam yang akan dipakainya untuk perjalanan dengan sepeda motor. Kepada Majelis Hakim yang terdiri dari Kolonel Chk Adeng, S.Ag, S.H sebagai hakim ketua, Kolonel (Sus) Mirtusin, S.H., M.H. dan Kolonel (Sus) Siti Mulyaningsih, S.H., M.H., Mayor DM mengaku saat itu dirinya tidak fokus dengan situasi. “Pandangan saya lebih banyak tertuju kepada telepon selular untuk membalas WA,”kata dia di persidangan.
Kelalaian yang berbuah buruk. Sebagai perwira menengah dengan pangkat di atas Mayor DM, Kol. DH yang disebut-sebut lebih dulu berada dalam lift merasa diperlakukan tidak layak. Menurut DM di persidangan, DH menatapnya sinis.
“Kau tinggal di mana?” tanya Kol. DH.
“Siap! Mohon izin, saya di kamar 708, Bang,”jawab Mayor DM. (Percakapan sengaja ditulis nyaris verbatim sebagaimana terungkap di persidangan.
“Dinas di mana, kau?”
“Siap! Izin, dinas di Dispenad Mabesad, tapi sekarang sedang mengikuti tugas belajar di STHM.”
“Kau nggak ada etika! Nggak ada hormat kau dengan saya!”kata Kol DH.
“Siap! Mohon izin siap salah, Bang! Saya tidak melihat Abang karena sedang membalas WA ini dan memegang helm,” kata Mayor DM. Di sidang ia mengaku saat itu telah mengambil sikap sempurna sebagai sikap penghormatan, posisi dada ditarik ke atas, dengan dagu diturunkan ke bawah.
Setelah itu tak ada lagi percakapan. Menurut DM, DH langsung memukulnya dengan posisi tangan kanan mengepal erat, meninjunya tepat di pipi kiri. Pukulan itu menurut DM juga mengenai telinga kirinya, membuatnya menderita sakit dan memar sebagaimana tertuang dalam visum.
DM mengakui, DH tidak hanya sekali memukul. Kolonel tersebut memukulinya berulang kali. Ia sendiri mengaku dua kali kena pukul karena pada pukulan-pukulan selanjutnya DM mulai berusaha menangkis. Sembari menangkis itu, menurut DM di persidangan, ia berkali-kali berupaya menyadarkan Dannie.
“Bang, ini sudah berbeda. Ini sudah penganiayaan. Saya bisa laporkan Abang!”
Namun bila berdasar pengakuan DM, tampaknya DH sudah gelap mata. Jawabannya justru terkesan menantang. “Kau laporan saja. Saya tunggu laporan kau. Tuntut saja! Nggak takut aku sama kau!” Ucapan itu pula yang terakhir didengar DM keluar dari lisan DH, sementara atasannya itu turun melalui lift.
Persoalan menjadi lebih kompleks, karena menurut DM, puterinya yang saat itu masih balita ternyata mengikutinya. Mouna, anak yang baru sekitar tiga tahun itu, menjerit dan menangis menyaksikan peristiwa tersebut. “Karena saya dianiaya oleh tersangka, anak saya yang kedua itu ketakutan. ART yang mengasuh anak saya pun saya minta segera membawanya masuk kamar,”kata DM. Kamar yang didiami DM memang berada di lantai tempat perkara terjadi. Kamar 708 itu hanya terpisah beberapa jarak dari kamar tersangka DH, yakni 701.
DM yakin, putrinya itu mengalami trauma dan ketakutan selama beberapa hari. Itu pula, tampaknya, yang membuatnya melaporkan peristiwa tersebut kepada Sekreatariat Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), awal April lalu.
Saat ditanya Majelis Hakim tentang kemungkinan adanya motif selain urusan ‘luput memberi hormat’ di depan lift tersebut, Mayor DM menjawab ada. Menurutnya, beberapa bulan sebelum insiden itu terjadi, 2 Desember 2021, dirinya beserta beberapa senior alumnus AKMIL 2000 dan istri-istri mereka yang tengah berkunjung ke mes tersebut, memergoki keberadaan seorang perempuan muda tak jelas, keluar dari kamar tersangka. Peristiwa tersebut terjadi mulai dari sebelum tengah malam hingga beberapa menit sebelum pukul 1 dini hari, mencakup saat kedatangan dan keluarnya si perempuan dari kamar. Namun, setelah Kol DH akhirnya turun ke lobi dan menjelaskan, menurut Mayor DM, akhirnya perempuan muda yang saat itu diakui tersangka sebagai seorang pemijat itu pun dilepas. Peristiwa itu sendiri kemudian dibiarkan menguap begitu saja.
“Kami nggak enak, Yang Mulia,”kata Mayor DM kepada Majelis Hakim.
Tentang dugaan adanya motif seiring peristiwa Desember malam itu, Oditur Militer Tinggi dengan Majelis Hakim tampaknya terjadi sedikit beda pendapat. Sementara Majelis Hakim menilainya tidak cukup kuat, Oditur Militer Tinggi Wensuslaus Kapo, SH,MH justru melihatnya sangat mungkin menjadi salah satu sebab. “Kalau itu melibatkan dendam, kami percaya bahwa dendam itu tak gampang lekang oleh waktu,”kata dia.
Sidang kemarin merupakan sidang pertama, setelah beberapa sidang yang direncanakan sebelumnya gagal digelar. Itu pun molor sekitar enam jam, dari rencana awal untuk digelar pukul 10 pagi.
Saat Majelis Hakim bertanya kepada tersangka Kol. DH, adakah yang akan ia sanggah, tersangka menyatakan ada dua hal dalam cerita versi Mayor DM yang ia sanggah. Pertama, ia tidak memukul dengan tangan terkepal, melainkan telapak tangan terbuka. Kedua, mengaku tidak menyadari kehadiran anak korban, Mouna.
Namun, Ketika Majelis Hakim mengembalikan kepada korban, Mayor DM menegaskan bahwa ia tetap kukuh pada keterangannnya tersebut.
Pada waktu ditanya Majelis Hakim, apakah selama ini mereka berdua tidak mencari waktu untuk berdamai, keduanya menyatakan pernah akan melakukan itu. Sehari usai kejadian, menurut Mayor DM, Kol. DH mengirim pesan WA, berbunyi: “Assalamualaikum wr wb Mas D, mohon maaf sebelumnya saya Kol Inf DH sudah ke Dispenad dan mendapat petunjuk dari Brigjen TNI Dr. Ateng Karsoma dan Kol Inf Ari Tri utk menyelesaikan masalah tadi malam. Kapan kita bisa bertemu di Mess Pejambon atau dimana dan jam berapa, tolong infokan saya ya. Terima kasih.”
Pesan itu dibalas istri Mayor DM, karena dirinya masih terbaring dalam pemulihan. “Waalaikumsalam.. Ijin bapak, saya istrinya Mas DM. Penyampaian mas, mohon ijin utk dirinya mau istirahat dulu…Karena masih pusing, insyaallah setelah membaik, mas DM akan segera menghubungi bapak. Mohon dimaklumi.”
Kol. DH membalasnya dengan: “Baik Dik, terima kasih. Saya mohon maaf sudah menyakiti fisik dan hati perasaan mas D dan keluarga. Semoga nanti saya bisa bertemu langsung dengan mas D, semoga segera pulih dan sehat Kembali. Terima kasih.”
Baik korban maupun tersangka juga mengaku sempat berencana bertemu dengan dimediasi Wakil Inspektur Jenderal TNI Angkatan Darat, Mayjen Hasanuddin. Namun rencana itu gagal. “Yang saya dengar, kasusnya sudah naik ke level ‘atas’, sehingga mediasi urung dilakukan,”kata Mayor DM. Di persidangan, Kol. DH membenarkan hal itu.
Sidang kemarin menghadirkan terdakwa, saksi korban (Mayor DM) dan saksi dua, yakni pengasuh Mouna, Siti Nurhidayah. Sidang akan kembali digelar Kamis mendatang, dengan menghadirkan, antara lain, saksi tiga, Yulia Sri Iswahyuni, penghuni mes di sebelah lift di TKP. [ ]