Ilan Berman, wakil presiden Dewan Kebijakan Luar Negeri Amerika, mengompori agar Garda Revolusi mengambil-alih kendali pemerintahan lebih besar, dalam sebuah artikel
TEHERAN—Sekitar satu dekade lalu, Ali Alfoneh, seorang akademisi American Enterprise Institute, salah satu lembaga think tank paling terkemuka di Washington, mengajukan teori kontroversial tentang keseimbangan kekuasaan di Iran.
Gagasan yang pertama kali diartikulasikannya di sebuah artikel itu kemudian berkembang menjadi sebuah buku. Isinya, meski itu telah ditulis lebih dari 10 tahun lalu, mengemukakan bahwa sistem pemerintahan Iran telah mengalami perubahan mendasar dari sistem keulamaan sebagaimana saat negeri itu didirikan Ayatullah Ruhollah Khomeini pada 1979.
Alfoneh berpendapat, Iran telah mengalami apa yang dia sebut ‘kudeta merayap’. Sebagai akibatnya tantara-ulama negara itu, yang dikenal sebagai Korps Pengawal Revolusi Islam, atau Islamic Revolution Guard Corps (IRGC), kini sangat berpengaruh dalam politik negara itu.
Konsep itu sempat sangat mempengaruhi Hillary Clinton. Selama masa jabatannya sebagai menteri luar negeri dalam pemerintahan Obama, Clinton sering menyatakan bahwa Pemimpin Tertinggi Iran sedang ‘digantikan’ kontrol militer. Banyak orang lain juga mulai percaya bahwa meskipun masih berada dalam lingkaran kekuasaan politik, para ayatullah Iran telah jauh kurang efektif.
Kenyataannya ternyata jauh lebih bernuansa. Benar, IRGC telah memperluas kekuatannya dalam sistem pemerintahan Iran dalam beberapa tahun terakhir. Paling tidak karena ‘saham’ yang diberikan melalui perjanjian nuklir 2015 oleh pemerintahan Obama. Namun, setidaknya hingga kini IRGC secara meyakinkan menunjukkan loyalitas yang kuat pada hierarki kepemimpinan agama di negara itu: Pemimpin Tertinggi Ayatullah Ali Khamenei.
Tetapi poin inti Alfoneh, bahwa IRGC merupakan aktor strategis yang kuat dan berpotensi untuk mengalami transformasi, tidak diragukan kebenarannya. Hari ini, ketika Republik Islam Iran menghadapi tekanan internal dan eksternal yang meningkat, pendapatnya bahwa tantara-ulama itu mungkin didorong untuk membawa masalah ke tangannya sendiri, lebih kuat dari sebelumnya. Untuk memahami peran itu, penting untuk memahami peran unik yang telah dimainkan IRGC dalam politik Iran selama empat dekade terakhir.
Didirikan pada awal Revolusi Islam, Pengawal Revolusi sejak awal dibayangkan sebagai lengan Islam politik versi Khomeini. Untuk tujuan itu, Mukadimah Konstitusi 1979 Republik Islam yangb asli menegaskan bahwa tugas IRGC tidak hanya menjaga ketertiban di dalam negeri, tetapi juga mengekspor revolusi Iran ke seluruh dunia. Selama bertahun-tahun, mandat luas itu telah memungkinkan IRGC untuk menjadi pusat perhatian dalam kebijakan luar negeri dan urusan politik Iran.
Secara militer, IRGC dulu mengungguli pasukan bertahan Iran, Artesh, untuk menjadi alat pilihan strategis rezim. Sekarang Pengawal Revolusi berfungsi sebagai penjaga persenjataan rudal balistik yang sedang berkembang di negara itu, serta program nuklirnya yang masih baru. IRGC juga bertanggung jawab atas aset strategis rezim yang paling berharga: jaringan luas proksi regionalnya.
Sejak kekalahannya dalam perang delapan tahun dengan Irak di masa Saddam Hussein tahun 1980-an, Republik Islam Iran telah menghindari konfrontasi militer langsung demi perang tidak langsung. Untuk tujuan ini, ia bekerja dengan tekun selama beberapa dekade untuk membangun jaringan luas kelompok-kelompok proksi dan militan yang berafiliasi di seluruh Timur Tengah dan sekitarnya.
Kelompok-kelompok ini, di antaranya Hizbullah Libanon, kelompok Houthi Yaman, dan berbagai macam milisi Syiah Irak, telah memainkan peran penting dalam mempromosikan kepentingan Iran dan memajukan tujuan strategisnya dengan cara asimetris. Sampai kepulangannya awal tahun ini di tangan pemerintahan Trump, jaringan itu telah dikepalai oleh komandan militer IGRC paling berpengaruh, Mayor Jenderal Qassem Soleimani.
Sementara itu, secara ekonomi, Pengawal Revolusi telah tumbuh menjadi generator bonafid. Ia mengendalikan banyak perusahaan dan entitas perusahaan yang terlibat dalam segala hal, mulai dari transportasi, energi, hingga konstruksi. Entitas yang dikendalikan dan berafiliasi dengan IRGC sekarang merembes ke setiap sektor ekonomi formal Iran, dan memiliki pengaruh luas terhadap aktivitas pasar abu-abu dan pasar gelap negara (termasuk penyelundupan, transfer keuangan ilegal, dan proliferasi). IRGC telah diperkirakan menguasai sepertiga atau lebih dari total ekonomi Iran.
Semuanya telah menjadikan IRGC sebagai kekuatan yang sangat diperlukan dalam politik Iran, dan simbol utama kedudukan internasional negara tersebut. Seperti yang dikatakan Nader Uskowi, seorang Senior Fellow di Dewan Atlantik dan penasihat Pusat Komando AS. “Rezim Iran membutuhkan IRGC sehingga dapat bernegosiasi dengan dunia dan dengan Amerika dari posisi yang kuat,” kata dia.
Persoalannya, maukah AS? Selama beberapa dekade, AS selalu diganggu pertanyaan, mungkinkah mereka berinteraksi dengan IRGC? “Sudah lama menjadi dikotomi dalam kebijakan Amerika,” kata Jay Solomon dari Washington Institute, yang telah menyelidiki aktivitas IRGC selama hampir dua dekade. “Bahkan kami telah meremehkan sifat dan kekuatan (IRGC), kami ingin bekerja bersama mereka untuk menyelesaikan berbagai masalah regional,” kata dia.
Untuk perannya itu, Iran telah dengan cerdas menggunakan impuls bersaing ini untuk keuntungan mereka, memperluas kegiatannya di seluruh wilayah di balik tabir penyangkalan yang masuk akal.
Sampai sekarang. Pembunuhan Jenderal Soleimani oleh Trump pada 3 Januari—yang disebut AS sebagai tanggapan atas meningkatnya provokasi terhadap pasukan dan aset AS oleh proksi Iran, merupakan pukulan berat bagi kemampuan strategis Iran.
“Republik Islam Iran telah sangat dipengaruhi kematian Soleimani,” kata Uskowi. Tanpa Soleimani, menurut dia, Iran kesulitan untuk menerapkan strategi proksi regionalnya secara efisien.
Namun Teheran juga menghadapi masalah serius di dalam negeri. Sejak Desember 2017, negara itu telah melewati protes anti-rezim yang gigih yang terus menguji legitimasi rezim ulama yang berkuasa. Setelah kematian Soleimani dan insiden ketidaksengajaan Iran menjatuhkan sebuah pesawat sipil Ukraina, protes-protes ini kembali berkobar.
Ilan Berman, wakil presiden Dewan Kebijakan Luar Negeri Amerika di Washington DC, mengompori agar IRGC segera memutuskan bahwa transisi internal adalah jawaban terbaik. Ia bahkan mendorong agar IRGC bergerak menghapus (atau setidaknya menundukkan) elit ulama negara Iran (Waliyatul Faqih?) saat ini.
“Bagaimanapun,” kata dia, menghasut,” Langkah itu akan memungkinkan IRGC untuk mempertahankan cengkeramannya yang luas saat ini pada kekuatan nasional, sementara secara bersamaan bekerja untuk mengurangi tekanan ekonomi dari AS dan mengintegrasikan Iran kembali ke dalam komunitas internasional,” kata dia.
Berman mengatakan gagasan itu mungkin tidak masuk akal. Namun baginya, justru pergeseran daya internal semacam ini telah terjadi lebih dari beberapa kali baru-baru ini. Itu terjadi di Rusia pada 1990-an, ketika intelijen internal negara itu mengeksploitasi kekacauan pasca-Soviet untuk mengkonsolidasikan control serta membentuk dirinya menjadi perusahaan ekonomi dan politik yang Tangguh, yang bertahan hingga hari ini. “Baru-baru ini, itu terjadi di Mesir, ketika militernya bergerak untuk menggulingkan pemerintahan yang didominasi Ikhwanul Muslimin Mohammad Morsi pada tahun 2013, dan membangun kembali status quo politik dan ekonomi yang telah terganggu oleh kebijakan agama Morsi,” kata dia.
Akankah Amerika menyambut perubahan seperti itu, jika itu terjadi di Iran? Sangat mungkin. Bagaimanapun, Presiden Trump telah berulang kali mengatakan bahwa tujuan dari strategi ‘tekanan maksimum’-nya adalah untuk membawa Iran kembali ke meja perundingan internasional, dengan menyimpulkan perjanjian baru yang lebih komprehensif untuk menggantikan kesepakatan nuklir 2015. Serenceng kalimat indah untuk sesuatu yang di realitas tak lebih dari pemaksaan.
Pengambilalihan IRGC dari kelompok ulama Iran, dalam pandangan para Hawk di Washington dapat membuat perkembangan seperti itu lebih mungkin. Mereka juga mungmin saja mengusulkan untuk memasang aktor strategis yang dipandang oleh banyak orang di Washington sebagai lebih pragmatis dan rasional.
Bagi Berman, jika memang Alfoneh ternyata benar—dan dia sepertinya meyakini itu, skenario ‘perubahan rezim’ yang paling mungkin untuk Iran mungkin bukanlah dari kelompok oposisi yang menggulingkan para mullah dan menciptakan sistem pemerintahan yang secara fundamental baru. Tetapi dengan mengubah IRGC, menariknya kepas dari para mullah di Waliyat al Faqih. Persoalannya, mungkinkah? Atau Berman harus belajar ideologi lebih dalam lagi agar tak terlalu menyederhanakan masalah, apalagi masalah itu menyangkut komunitas paling ideologis seperti Iran. [NationalInterest]