- AS tidak mungkin membantu Taiwan, karena militer Paman Sam sibuk mengatasi wabah Covid-19 di kapal induk.
- Berkaca dari kasus Hong Kong, satu negara dua sistem untuk Taiwan tidak mungkin diterapkan.
- Beijing berusaha meredam demam nasionalis di Cina daratan, dengan tetap mempertimbangkan kemakmuran Taiwan sebelum dan pasca penyatuan.
Beijing — Cina berusaha meredam deman nasionalis yang menyeru Beijing menginvasi Taiwan saat dunia sibuk dengan urusan pandemi virus korona.
South China Morning Post (SCMP) menulis media sosial dibanjiri banyak seruan agar Taiwan segera dipersatukan denga Cina daratan secara paksa. Beijing tidak mengesampingkan kemungkinan itu, tapi analis yakin Cina justru sedang berusaha mendinginkan demam nasionalisme.
Demam nasionalisme di Cina, yang mendesak perlunya mempersatukan Taiwan secara paksa, muncul setelah majalah Central Party School menerbitkan sebuah artikel yang menggambarkan penaklukan Dinasti Qing atas Taiwan di abad ke-17.
Artikel itu menyoroti pentingnya kesabaran dan perencanaan cermat, untuk menginvasi Taiwan.
Qing Merebut Taiwan
Qing, penguasa Cina dari Manchuria, mengambil alih kekasaan di Beijing — dan mengakhiri kekuasaan Dinasti Ming — tahun 1644. Qing mengkonsolidasikan kekuasaan atas sekujur Cina daratan dalam beberapa dekade berikut.
Dua tahun sebelum Qing mengambil alih Beijing, sejumlah tentara Dinasti Ming dipimpin Koxinga nyeberang ke Taiwan, mengusir Belanda, dan membangun Kerajaan Tungning.
Koxinga meninggal mendadak akibat malaria. Ia digantikan putranya; Zheng Jing. Selama berkuasa, Zheng Jing berusaha mewujudkan impian sang ayah, kembali ke Cina daratan, mengalahkan Manchu, dan membangun kembali Dinasti Ming.
Ia mengirim tentara ke daratan Cina dan terlibat pertempuran, tapi selalu kalah jumlah pasukan. Zheng Ping frustrasi, menghabiskan usia dengan anggur dan wanita sampai menemui ajal.
Zheng Keshuang, putra Zheng Jing, naik tahta pada usia 12 tahun. Seperti dua pendahulunya, Keshuang mencoba menaklukan raksasa Manchu. Tahun 1683, setelah Pertempuran Penghu, Keshuang — generasi ketiga Dinasti Tungning — menyerahkan Taiwan ke Qing.
Taiwan kembali ke pangkuan Cina daratan di bawah Dinasti Qing, dan menjadi bagian Propinsi Fujian.
Sejarawan Deng Tao, penulis artikel lima ribu kata di Study Times, mengatakan Qing menghabiskan 20 tahun untuk mempersiapkan invasi dan penaklukan Taiwan.
Qing, masih menurut Deng Tao, telah menggunakan semua langkah; politik, diplomatik, dan ekonomi, untuk mencapai tujuannya, dan tidak semata mengandalkan kekuatan militer.
Sukses Qing, demikian Deng Tao, ditentukan oleh kemampuannya mengisolasi penguasai Taiwan secara diplomatis. Qing juga mengirim perwakilan ke Taiwan, dan meminta dukungan penduduk Han dengan berbagai iming-iming.
Kaisar Kangxi, penguasa Dinasti Qing saat itu, membangun dan melatih armada invasi untuk mengambil alih Taiwan tahun 1683.
Sejarah Terulang
Tahun 1949, Chiang Kai-shek mengakhiri upayanya melawan komunis pimpinan Mao Zedong dan melarikan diri ke Taiwan dengan sisa pasukannya.
Di Taiwan, Jenderal Chiang mendirikan Republik Cina dan memimpinnya selama 25 tahun. Ia melancarkan perjuangan diplomatik ke Barat, yang membuat Republik Cina mendapatkan pengakuan.
Ketika Jenderal Chiang meninggal pada 5 April 1975, Taiwan telah menjadi negara yang mapan, dan mampu membangun kekuatan militernya. AS terikat oleh hukum untuk melindungi Taiwan dari invasi Cina.
Sejumlah mantan pemimpin militer Cina berpendapat AS, akibat wabah Covid-19 di kapal induknya, tidak akan bisa melindungi Taiwan dari invasi Cina.
Tian Feilong, profesor Universitas Beihang, meminta Beijing mempertimbangkan penggunaan militer untuk menyatukan Taiwan. Argumentasinya, UU Antipemisahan yang disahkan tahun 2005 memberikan wewenang hukum untuk melakukan penggunana militer terhadap Taiwan
Dalam artikel yang diterbitkan situs berita guancha.cn, Feilong berpendapat situasi politik di Taiwan tidak memungkinkan penyatuan Taiwan dengan damai.
Protes antipemerintah di Hong Kong, menurutnya, menunjukan satu negara dua sistem — yang diharapkan Beijing menjadi dasar penyatuan kembali dengan Taiwan — telah gagal. Menunggu sampai kekuatan militer dan ekonomi Cina sejajar dengan AS, masih menurut Feilong, juga sangat mahal dan berisiko.
Feilong punya alasan untuk emosional. Sejak 2016, komunikasi Beijing-Taipei membeku setelah Tsai Ing-wen — dari Partai Progresif Demokratik yang pro-kemerdekaan — terpilih sebagai presiden Taiwan. Ing-wen menolak model satu dina sebagai dasar hubungan.
Qiao Liang, pensiunan jendera angkatan udara, berpendapat — dalam artikel yang diterbitkan platform WeChat — mengatakan saat ini bukan waktu yang tepat mengambil Taiwan secara paksa.
Masih Berharap Damai
Sumber militer di Beijing mengatakan Cina masih berharap penyatuan diselesaikan secara damai, dengan mayoritas penduduk Taiwan masih ingin mempertahankan status quo.
“Mempertahankan stabilitas dan kemakmuran Taiwan sebelum dan sesudah penyatuan masih menjadi prioritas bagi Beijing,” kata sumber itu.
Lee Chih-horng, dari Universitas Nanyang Singapura, mengatakan Beijing masih ingin tetap pada jadwal penyatuan Taiwan yang dibuatnya.
“Pemimpin di Beijing menyadari mereka perlu meredakan demam nasionalis ketika seruan mempersatukan Taiwan menjadi terlalu emosional, dengan banyak media mengaduk topik itu untuk mendapat perhatian,” kata Lee.
Seperti dikatakan Qiao, menurut Lee, Beijing menyadari sekarang bukan waktu yang tepat mengambil kembali Taiwan dengan paksa. Namun, lanjutnya, Presiden Xi Jingping akan muncul dengan solusi terbaik.
Lalu, bagaimana dengan pernyataan Fan Bing — profesor di Universitas Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) — dua tahun lalu di China Central Television (CCTV) bahwa penyatuan Taiwan tidak bisa diperlambat ketika Kuomintang yang ramah kepada Beijing berkuasa, atau ketika Partai Progresif Demokratik mengambil alih kekuasan.