Abdolnaser Hemmati, gubernur Bank Sentral Iran, menulis di halaman Instagram-nya pada 7 Desember lalu bahwa upaya Iran untuk membeli vaksin melalui pengaturan COVAX “terhenti” karena sanksi AS. Hal itu dibantah AS.
JERNIH– Ketika negara-negara di seluruh dunia berebut untuk mendapatkan akses ke vaksin Covid Pfizer-BioNTech, atau Sinovac untuk negara-negara dalam pengaruh Cina, Iran memilih menyiapkan back-up dengan bersiap untuk memproduksi vaksin Covid-19 mereka sendiri.
Padahal, Iran juga merupakan salah satu dari 94 negara yang telah menandatangani perjanjian komitmen dengan fasilitas COVAX, yang dipimpin bersama oleh Gavi, Vaccine Alliance; Koalisi untuk Inovasi Kesiapsiagaan Epidemi (CEPI); dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Fasilitas COVAX adalah salah satu dari tiga komponen utama akselerator Access to COVID-19 Tools (ACT) yang didirikan di bawah naungan WHO, Komisi Eropa, dan pemerintah Prancis untuk memastikan bahwa semua negara, termasuk negara berpenghasilan rendah, dapat memperoleh diagnosis, pengobatan, dan vaksin virus corona.
Namun tampaknya Iran memperhitungkan sanksi Amerika Serikat. Abdolnaser Hemmati, gubernur Bank Sentral Iran, menulis di halaman Instagram-nya pada 7 Desember lalu bahwa upaya Iran untuk membeli vaksin melalui pengaturan COVAX “terhenti” karena sanksi AS.
“Karena pembelian vaksin COVID-19 harus ditangani melalui saluran resmi WHO, segala upaya sejauh ini untuk mengirimkan dan mentransfer mata uang asing yang dibutuhkan telah terhalang karena sanksi yang tidak manusiawi dari pemerintah AS dan keharusan untuk mendapatkan izin dari OFAC,” tulis Hemmati dalam unggahannya.
Office of Foreign Assets Control (OFAC) adalah badan intelijen keuangan dari Departemen Keuangan AS yang mengawasi dan menerapkan sanksi ekonomi. Untuk terlibat dalam hubungan keuangan, perbankan, dan bisnis dengan Iran, negara-negara perlu mendapatkan izin OFAC atau mereka akan menjadi sasaran sanksi sekunder AS jika transaksi mereka terdeteksi.
Sanksi Amerika
Sanksi AS telah memengaruhi hampir setiap aspek kehidupan di Iran, termasuk kemampuan pemerintah untuk menyediakan barang-barang penting. Namun Iran masih memiliki instrumen yang dapat digunakan untuk menjaga perdagangan dan bantuan kemanusiaan tetap berjalan, dan negara-negara lain telah menunjukkan kesediaan untuk membantu.
Tetapi tentang vaksin, Departemen Luar Negeri AS menulis twit dalam bahasa Persia pada Kamis (17/12) bahwa AS “tidak pernah memberikan sanksi kepada sektor kesehatan dan medis, bantuan kemanusiaan dan obat-obatan Iran, dan tidak akan melakukannya.”
Kementerian Kesehatan Iran, yang mengklaim bahwa sanksi berdampak pada akses Iran ke vaksin asing, telah mengumumkan bahwa Iran sedang mengerjakan vaksin domestik yang kemungkinan besar akan diluncurkan pada Juni 2021.
Payam Tabarsi, kepala departemen penyakit menular di Rumah Sakit Masih Daneshvari Teheran dan salah satu peneliti yang terlibat dalam proyek vaksin Covid Iran, berkata kepada harian “Hamshahri” bahwa beberapa pejabat “membuat suara yang tidak perlu” dengan secara keliru mengklaim mereka telah membeli vaksin dari luar negeri, padahal Iran tidak dapat bertransaksi dalam dolar AS.
“Bahkan untuk mendapatkan vaksin flu, kami tidak dapat mentransfer uang. Kami harus menerima bahwa kami berada di bawah sanksi dan kami tidak dapat memindahkan uang ke luar negeri, jadi kami tidak dapat membeli vaksin. Ini sangat sederhana. Kami perlu mengembangkan vaksin sendiri,” katanya, sebagaimana juga dikutip Asia Times.
Yang disesalkan, para pejabat Iran juga seringkali berbantahan sesamanya, sebagaimana terjadi di Indonesia di awal-awal pandemi. Pada 8 Desember, Kianoush Jahanpour, juru bicara Badan Pengawas Obat dan Makanan Iran (IFDA), mengatakan kepada media bahwa total 42 juta dosis vaksin Covid-19 akan dibeli untuk 21 juta orang Iran, yang hampir 17 juta diantaranya akan dipasok melalui fasilitas COVAX, 21 juta akan diimpor langsung dari perusahaan manufaktur asing, sisanya akan diproduksi melalui usaha patungan dengan negara lain.
Namun empat hari setelah pengumuman Jahanpour, Mostafa Ghanei, kepala komite ilmiah Gugus Tugas Virus Corona Nasional, muncul di TV pemerintah untuk menampik gagasan impor vaksin melalui mekanisme COVAX.
Dia mengatakan, Iran telah memberi tahu COVAX bahwa mereka tidak memerlukan vaksin Pfizer-BioNTech. Pasalnya, menurut dia, Iran tidak memiliki pesawat yang dilengkapi dengan baik untuk mengangkut vaksin lewat udara dalam suhu yang sangat dingin, dan juga tidak memiliki lemari es khusus untuk menyimpan vaksin pada suhu -70 derajat Celcius, yang diperlukan untuk memastikan efektivitas vaksin.
Yang lebih memperumit situasi, Menteri Jalan dan Pembangunan Perkotaan Iran, Mohammad Eslami, membalas pada 17 Desember bahwa tidak ada kesulitan dalam hal pengangkutan vaksin melalui udara. Ia menambahkan, setelah Kementerian Kesehatan menentukan negara asal vaksin, pesawat Iran akan dapat terbang untuk menjemputnya.
Kepala Organisasi Penerbangan Sipil Iran Touraj Dehghani juga membenarkan bahwa ada dua maskapai penerbangan, yakni Iran Air dan Mahan Air, yang siap membantu pengiriman vaksin dan memiliki “syarat yang diperlukan” untuk melakukannya.
Selain logistik dan sanksi, teori konspirasi telah beredar di kalangan kelompok garis keras anti-sains di Iran, yang sejak awal wabah telah menentang penjarakan social (social distancing) dan protokol kesehatan lainnya. Mereka juga mencela WHO sebagai organisasi yang tidak beragama.
Namun tampaknya peluang Iran untuk mendapatkan vaksin belum sama sekali tertutup. “Dalam wawancaranya baru-baru ini, perwakilan WHO di Iran, Dr Christoph Hamelmann, telah meyakinkan Iran bahwa aturan dan regulasi sanksi tidak akan diterapkan ketika membeli vaksin dari COVAX dan bahwa Iran dapat memperoleh bagian yang adil selama mereka membayar vaksin dan biaya untuk fasilitas COVAX,” kata Mahan Ghafari, pakar epidemiologi di Universitas Oxford, kepada Asia Times.
Ghafari memperingatkan jumlah korban pandemi dapat meningkat jika Iran mengulur waktu dan gagal membeli vaksin dalam jumlah yang dibutuhkan untuk mengimunisasi populasi yang masih sangat rentan terhadap infeksi.
“Saya pikir tidak membeli vaksin dari COVAX akan menunda tanggapan kesehatan masyarakat yang sesuai. Kita harus ingat bahwa kita masih berada di tengah pandemi dan sebagian besar penduduk Iran masih rentan tertular COVID-19.”
Ia yakin, penundaan dapat membawa konsekuensi kesehatan masyarakat yang serius dan dapat mengakibatkan angka kematian yang berpotensi lebih tinggi dalam beberapa bulan mendatang. “Sementara Iran masih menunggu vaksin domestik mereka untuk memberikan hasil yang bermanfaat dalam uji klinis,”ujar Ghafari sebagaimana dikutip Asia Times.
Juru bicara Gavi yang di Jenewa, Vaccine Alliance, mengatakan kepada Asia Times bahwa “lisensi OFAC telah diamankan, sehingga tidak akan ada penghalang hukum bagi Iran untuk mendapatkan vaksin melalui fasilitas COVAX.
Gavi, kemitraan kesehatan global publik-swasta yang berjuang untuk memperluas payung imunisasi di negara-negara miskin, sejauh ini telah “mengamankan hingga 200 juta dosis vaksin untuk negara-negara berpenghasilan rendah dengan dukungan dari Bill & Melinda Gates Foundation, di bawah perjanjian transfer teknologi dengan AstraZeneca dan Novavax.”
“Vaksin yang diproduksi akan menjadi vaksin kandidat Novavax atau AstraZeneca, tergantung mana yang mendapatkan lisensi atau prakualifikasi. Kesepakatan ini juga mencakup opsi substansial untuk dosis lebih lanjut,”kata juru bicara itu. [Asia Times]