- Tidak ada yang mengenang laga ini. Padahal, inilah laga yang mengawali bisnis pertarungan mix martial art (MMA).
- Mungkin ini bukan laga yang menarik, karena tidak diwarnai bantingan dan pukulan.
JERNIH — Jelang siang, saat buka salah satu situs, saya mendapat kabar duka; pegulat legendaris Jepang Antonio Inoki meninggal dunia.
Alih-alih membaca berita itu seutuhnya, saya justru berhenti di akhir paragraf kedua. Tepatnya, setelah tahu penyebab kematiannya, yaitu serangan jantung.
Saya lebih suka mengeluarkan memori saya tentang laga Inoki versus Muhammad Ali. Itu pertandingan aneh, karena petinju menghadapi pegulat.
Kata si empunya berita, Ali tidak dalam mandatory fight — atau melakukan pertandingan wajib untuk mempertahankan gelar. Dia boleh memilih lawan.
Promotor Bob Arum kedatangan orang Jepang yang menawarkan banyak uang jika Ali bersedia melawan Inoki. Ali merespon kabar itu dengan mengatakan; “Apakah tidak ada petarung Oriental yang berani menantangku? Saya akan beri Inoki satu juta dolar jika dia menang.”
Jadilah keduanya bertemu di ring di Nippon Budokan Arena, di Tokyo, pada 26 Juni 1976.
Hari-hari sebelum laga diwarnai kabar pembicaraan dewan juri tentang bagaimana laga keduanya harus berlangsung? Tentu saja soal penilaian.
Di AS, Ali berlatih serius. Ia menyewa Sheikh, pegulat yang mengalahkan Inoki tahun 1974. Di Jepang, Inoki — yang mantan karateka — merasa jauh lebih siap.
Yang tersaji kemudian adalah pertandingan lucu. Ali menari-nari di ring. Inoki berputar di kanvas dengan punggungnya, dan terus mengincar kaki Ali. Itu berjalan selama 15 ronde yang membosankan.
Saya dan orang-orang sekujur Rawa Bengkel, kampung di sudut Cengkareng Barat, Jakarta Barat, saat ini, menyaksikan laga lewat televisi hitam-putih 14 inci dengan energi accu (aki) milik tetangga. Saat itu televisi adalah barang mewah, yang tak setiap orang punya.
Sesekali Inoki membungkuk, dengan tangan berusaha menggapai kaki Ali. Entah di ronde ke berapa, Ali memanfaatkan situasi; melayangkan jab ke wajah Inoki.
Tentu saja bukan pukulan keras, tapi pukulan itu menghasilkan angka. Entah berapa kali dan di ronde ke berapa Ali melepas jab, saya lupa. Yang lamat-lamat saya ingat adalah Ali tiga atau empat kali melepas jab ke wajah Inoki.
Ketika laga tersisa beberapa ronde, Inoki tak lagi berdiri atau membungkuk. Ia sepenuhnya berputar-putar dengan punggungnya di kanvas, seraya terus menjatuhan Ali dengan sapuan kaki.
Ali bertahan. sesekali melompat untuk menghindari sapuan lawan. Inoki tak putus asa, dan terus berupaya. Beberapa kawan saya kecewa dengan pertarungan itu, dan meninggalkan saya sendirian.
Orang-orang dewasa, yang rata-rata penggemar Ali, berusaha nonton sampai habis untuk melihat siapa pemenangnya. Setiap kali Ali melancarkan jab dan mengenai wajah Inoki, mereka bertertiak.
Setelah tiga atau empat kali teriakan, suasana rumah tempat saya menyaksikan laga itu diwarnai gerutuan nggak karuan. Ada yang memaki Inoki, ada pula yang mengatakan; “Ini kan soal strategi bergarung.”
Layar TV hitam putih mengecil karena pasokan setrum berkurang. Tuan rumah mematikan TV-nya, setelah bel ronde ke-15 berbunyi, dan semua bubar.
Keesokan hari saya baca berita Muhammad Ali mendapat bayaran 6 juta dolar, dan Inoki mengantongi 4 juta dolar AS. Jumlah uang yang luar biasa besar bagi keduanya untuk ukuran saat itu.
Laga Ali vs Inoki terlupakan. Alias tak ada yang mengenang. Padahal, itulah pertarungan yang mengawali bisnis pertarungan mix martial arts (MMA) saat ini.