- Awalnya patroli budak. Setelah perbudakan dihapus, polisi menggantikan peran patroli budak.
- Polisi kulit putih mewarisi sentimen ras patroli budak.
- Ketika hak-hak sipil kulit hitam terjamin, pemerintah AS mencari cara mengkriminalisasi kulit hitam.
Washington — Derek Chauvin menekan leher George Floyd dengan lutut. Tiga polisi rekan Chauvin hanya menyaksikan.
“Aku tidak bisa bernafas,” itulah kata-kata Floyd terkhir sebelum mengembuskan nafas.
Chauvin dan tiga rekannya dipecat, dan menghadapi tuntutan hukum. Floyd telah dimakamkan. Pertanyaannya, apakah tindakan rasis aparat kepolisian kulit putih akan berhenti setelah kematian Floyd?
Jawabannya bisa ya, bisa tidak. Yang pasti, George Floyd bukan orang pertama yang mengatakan ‘saya tidak bisa bernafas’ sebelum melepas nafas terakhir.
TAhun 2014, Eric Garner megap-megap dan berkata lirih; ‘saya tidak bisa bernafas’ sebelum meninggal saat ditangkap polisi. Garner ditangkap karena menjual rokok ilegal di New York City.
Yang membedakan adalah kematian Garner terlupakan, Floyd tidak. Yang membuat Floyd tidak terlupakan adalah rekaman video, saat Chauvin menekan leher Floyd dengan lutut, viral dan mendunia.
Floyd tewas di era media sosial, lainnya tidak. Kematian Floyd menginspirasi aksi ujuk rasa masif di sekujur AS, dan kota-kota dunia, lainnya hanya menimbulkan aksi protes lokal.
Sejarah Panjang
Pertanyaannya, apakah kematian Floyd akan mereformasi perilaku polisi kulit putih AS terhadap penduduk kulit hitam?
Jennifer Cobbina, profesor peradilan pidana di Michigan State University, mengatakan pejabat penegak hukum di sekujur AS punya sejarah membunuh orang kulit hitam jauh lebih lama.
“Terlalu sering orang melihat masalah kontemporer, masalah sedang terjadi, tapi tidak memahami semua yang terjadi adalah warisan ketidak-adilan selama 400 tahun,” kata Cobbina kepada USA Today.
“Keluhan masa lalu, bahaya masa lalu oleh penegakan hukum, perlu ditangani sebelum menjadi lebih maju,” lanjutnya.
Segalanya berawal pada tahun 1600-an, atau saat AS masih koloni Inggris. Penduduk kulit putih di kota-kota membangun sistem penjaga, dengan setiap warga secara bergiliran berpatroli di komunitas mereka untuk mencegah pencurian, pembakaran, dan menjaga ketertiban.
Sally Hadden, profesor sejarawan Western Michigan Unibersity dan peneliti patroli budak, mengatakan ketika populasi budak meningkat dibentuklah patroli budak di South Carolina dan diperluas ke negara-negara bagian di selatan Amerika lainnya.
Patroli budak bertugas memburu pelarian, menekan pemberontakan, dan lainnya. Akibat populasi budak yang tinggi, jumlah pemukim kulit putih menjadi kalah jumlah. Muncul kekhawatiran di kalangan kulit putih, akan kemungkinan terjadi perlawanan budak.
Patroli budak adalah pasukan sukarela, yang mensurvei dan menyerang orang kulit hitam, dan siapa saja yang mencoba membantu kulit hitam melarikan diri.
“Seperti itulah yang dilakukan polis saat ini,” kata Hadden. “Patroli budak berfokus pada ras. Polisi saat ini juga begitu. Seharusnya, polisi netral terhadap ras dalam penegakan hukum.”
Seth Soughton, profesor hukum di Fakultas Hukum South Carolina University, mengatakan patroli budak tidak dibentuk untuk melindungi keselamatan pulbik dalam arti luas, tapi menjamin kekayaan para tuan tanah kulit putih.
Soughton adalah mantan petugas polisi di Tallhassee, Florida. Ia meneliti tindakan kepolisian yang berlebihan terhadap kulit hitam.
Setelah penghapusan perbudakan tahun 1865 dengan disahkannya Amandemen ke-13, menjelang berakhirnya Perang Saudara, patroli budak dihentikan, dan kepolisian menjadi lebih umum.
Namun, warga Afro-Amerika masih dijaga ketat oleh petugas penegak hukum, terutama di wilayah yang mengeluarkan kota hitam, atau hukum yang membatasi kepemilikan properti, pekerjaan, dan perilaku lain, bagi kulit hitam.
Dari KKK sampai Clinton
Klu Klux Klan, dan kelompok kebencian lainnya, meneror komunita kulit hitam. Membunuh warga Afro-Amerika, menghancurkan sekolah kulit hitam, dan lainnya. Beberapa penegak hukum dan pejabat pemerintah menjadi anggota KKK, terutama di selatan Amerika.
“KKK sering mengandalkan empati atau bantuan aktif penduduk kulit putih,” kata Southton. “Polisi tidak melakukan apa pun untuk menghentikan itu, bahkan secara aktif membantu KKK.”
Ketika warga kulit hitam memprotes segregasi warna kulit, dan UU rasis lainnya, petugas penegak hukum sering dipanggil. Selama era perjuangan hak-hak sipil, polisi secara brutal menekan aktivis damai.
Polisi menggunakan anjing, selang api, untuk aktivis hak-hak sipil dan membubarkan aksi damai. Semua ini membantu keluarnya Civil Right Act of 1964, yang melarang diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, agama, dan jenis kelamin.
Ketika kulit hitam AS mendapatkan lebih banyak hak, pembuat udang-undang dan politisi mencari cara mengkriminalisasi komunitas kulit hitam.
Tahun 1971, Presiden Richard Nixon melancarkan perang melawan narkoba, yang mengakibatkan terjadinya peningkatan tangkapan dan hukuman penjara lebih keras. Perang ini menyasar kulit hitam.
John Ehrlichman, mantan kepala kebijakan domestik Presiden Nixon, mengkonfirmasi betapa perang itu dirancang untuk melukai keluarga kulit hitam.
“Kami bisa menangkap para pemimpin mereka, menyerbu rumah emreka, membubarkan pertemuan mereka, dan menjelek-jelekan mereka malam demi malam lewat berita malam,” kata Ehrlichman kepadal Harper’s Magazine.
Tahun 1994 Presiden Bill Clinton mengesahkan RUU Kejahatan, yang mengakibatkan lebih banyak kulit hitam ditangkap petugas penegak hukum dan dijebloskan ke penjara.
Antara 1980 sampai 2015, populasi penjara naik dari 500 ribu menjadi 2,2 juta, dangan kulit hitam membentuk 34 persen. Sensus AS saat itu menunjukan 13 persen warga AS adalah kulit hitam.
Orang kulit hitam masih terus mengalami kebrutalan polisi, dan sekarang. Menurut kelom;ok riset Pemetaan kekerasan Polisi, orang Afro-Amerika 2,5 kali lebih mungkin dibunuh oleh petugas polisi, ketimbang kulit putih.
Pada 2014, George Zimmerman — koordinator pengamat lingkungan — dibebaskan dari tuduhan penembakan yang menewaskan Trayvon Martin, seorang siswa usia 17 tahun di Sanford, Florida.
Vonis itu, persama penembakan oleh polisi terhadap Michael Brown — pria kulit hitam usia 18 tahun di Ferguson, Missouri — melahirkan Black Lives Matter, dan aksi protes atas kebrutalan polisi.
Rasisme Era Trump
Setelah Donald Trump terpilihs sebagai presiden AS, Departeken Kehakiman membatasi program penyelidikan terhadap departemen kepolisian dengan alasan rasisme dan tekanan berlebihan.
Namun kematian Floyd, dan Breonna Taylor — seorang teknisi ruang gawat darurat berusia 26 tahun di Louisvilla — memicu protes baru atas tindakan penegak hukum. Breonna Taylor terbunuh Maret lalu di rumahnya oleh polisi yang mencari tersangka kasus narkoba
Anggota parlemen dari Partai Republik dan Demokrat sama-sama mengecam pembunuhan Floyd, dan semua warga AS dari latar belakang etnis berduyun-duyun menuntut keadilan bagi Floyd, Garner, dan Taylor.
Lionel Kimble, profesor sejarah Chicago State University, mengatakan yang terjadi saat ini sangat jelas, betapa kulit hitam bukan satu-satunya kelomok yang peduli dengan kebrutalan polisi di AS.
“Negara ini harus dengan seksama melihat diri di cermin, dan berbicara tentang bagaimana menjadi polisi, dan peran apa yang dimainkan polisi dalam mendukung ketidak-setaraan di masyarakat AS,” katanya.