Dua orang, termasuk remaja laki-laki, tewas dan banyak lainnya terluka, termasuk polisi. Video berdurasi 72 detik yang menunjukkan fotografer Bijoy Baniya melompati tubuh salah satu Muslim yang ditembak polisi menjadi viral, memicu kemarahan di seluruh negeri. Rumah-rumah diratakan dengan tanah, beberapa dibakar.
JERNIH— Setelah sekian lama mengintimidasi warga Muslim di desa-desa di Assam, India, pemerintah kini mengusir warga Muslim tersebut untuk membersihkan lana seluas 77.000 bigha (25.600 hektare) untuk memberi ruang bagi Proyek Pertanian Gorukhuti.
Warga mengklaim mereka telah tinggal di lahan itu selama lebih dari 40 tahun dan sebagian sudah membelinya. Proyek pertanian itu bertujuan untuk mendirikan “pertanian modern” dan menyerahkannya hanya kepada pemuda ‘pribumi’ di negara bagian tersebut, sesuai tujuan chauvinis Partai Bharatiya Janata.
Penggusuran putaran pertama terjadi pada 20 September di Dhalpur. “Pemberitahuan dikeluarkan pada tengah malam pada 18 September dan pada 20 September pagi, polisi dan kelompok warga anti-Muslim mulai menggusur rumah-rumah,” ujar Sohabuddin Ahmed, warga terusir berusia 28 tahun, kepada Al Jazeera.
Keadaan menjadi tidak terkendali selama penggusuran putaran kedua pada 23 September di Dhalpur 3. Pemberitahuan penggusuran disampaikan pada larut malam sebelumnya dan penduduk desa memprotes, meminta lebih banyak waktu. Polisi dengan perlengkapan anti huru-hara, bersenjatakan tongkat dan senjata api, bentrok dengan penduduk desa, yang semuanya merupakan Muslim asal Bengali.
Dua orang, termasuk remaja laki-laki, tewas dan banyak lainnya terluka, termasuk polisi. Video berdurasi 72 detik yang menunjukkan fotografer Bijoy Baniya melompati tubuh salah satu Muslim yang ditembak polisi menjadi viral, memicu kemarahan di seluruh negeri. Rumah-rumah diratakan dengan tanah, beberapa dibakar.
Keluarga yang digusur telah tergiring ke sebidang tanah di Dhalpur 3 dan ditelantarkan tanpa bantuan medis, air minum, dan fasilitas dasar lainnya. Kebrutalan penggusuran membuat banyak orang di daerah itu yakin, niat pemerintah tidak terbatas pada pembukaan lahan melainkan memang mengusir warga Muslim.
“Keluarga yang digusur belum diberikan tempat alternatif untuk menetap sejauh ini. Tidak ada kejelasan tentang sepetak tanah ini juga karena tidak ada yang dikatakan oleh pemerintah secara tertulis,” Abjalur Mehdi, sekretaris jenderal unit Sipajhar dari All Assam Minority Students Union. “Selain itu, daerah ini juga rawan banjir. Keluarga takut mereka akan tersapu arus sungai.”
Sebagian besar keluarga mengatakan mereka secara informal diberitahu oleh pemerintah untuk pindah ke sungai.
Nasionalis etnis Assam di India berargumen, “tanah mereka” dan “budaya Hindu” berada di bawah ancaman “imigran ilegal” dari Bangladesh, membuat setiap komunitas berbahasa Bengali di negara bagian tersebut dicurigai.
“Di Assam saat ini, setiap orang yang berbahasa Bengali dicap sebagai orang asing tanpa bukti apapun. Semua orang ini memiliki bukti identitas dan nama mereka ada di NRC (Daftar Warga Nasional). Namun mereka disebut orang Bangladesh ilegal,” kata Mehdi dari All Assam Minority Students Union.
Setelah kekerasan selama penggusuran Dhalpur, meningkatnya sentimen suku di Assam menyatakan tanah pemerintah harus dibebaskan dari “imigran ilegal”.
Sohabuddin Ahmed melihat upaya penggusuran itu sebagai langkah untuk semakin memarjinalkan Muslim Assam yang berasal dari Bengali. “Mereka telah mendorong kami ke satu sudut dan menutup semua jalan. Ini tidak dilakukan untuk membersihkan tanah pemerintah tetapi untuk merendahkan, meneror, dan melecehkan kami.”
Ini bukan pertama kalinya penduduk desa Dhalpur mengungsi. Sejak partai nasionalis Hindu BJP berkuasa di Assam pada 2016, keluarga-keluarga tersebut telah diusir setidaknya tiga kali (pada November 2016, Januari 2021 dan Juni 2021) sebelum penggusuran September lalu.
Pada Juni, mereka diberitahu sehari sebelum rumah mereka dihancurkan karena diduga melanggar batas tanah yang dimaksudkan untuk kuil Hindu.
Pada Agustus, sekitar 200 kepala keluarga dari Dhalpur 3 mengajukan petisi ke Pengadilan Tinggi Guwahati untuk menentang penggusuran. Sebagai tanggapan, administrasi negara mengatakan para pemukim berada di tanah pemerintah.
Penggusuran September terjadi sebelum para pembuat petisi dapat mengajukan jawaban, menurut Santanu Borthakur, advokat yang mewakili keluarga-keluarga pengungsi. “Mereka terpaksa harus menunggu hasil akhir dari kasus ini,” kata Borthakur kepada Al Jazeera.
Bagian dari lokasi penggusuran telah terlibat dalam konflik selama beberapa dekade, yang mengarah ke penggusuran serupa dari waktu ke waktu. Sementara itu, desa-desa sekitar sudah takut akan penggusuran, meski belum ada pemberitahuan dari pemerintah setempat.
“Suatu hari Inspektur Polisi Darrang Sushanta Biswa Sarma datang dan bertanya kepada kami mengapa kami belum mengosongkan tempat tinggal kami. Ketika saya mengatakan kami belum mendapat pemberitahuan, dia berkata, ‘Lebih baik pergi sebelum ada pemberitahuan,’” kata salah satu penduduk desa Niz Salmara kepada Al Jazeera.
Penduduk desa juga mengklaim traktor pemerintah sudah mulai membajak tanah di sekitar rumah mereka. “Niat mereka adalah untuk mengintimidasi dan meneror kami. Kami telah hidup dalam ketakutan terus-menerus diusir dari rumah kami. Bagaimana jika mereka membakar rumah kita?” ujar Ilias (62).
Sementara mereka yang mampu mencari perlindungan di tempat lain telah pergi, Ilias mengkhawatirkan keselamatan keluarganya, tetapi tidak ingin meninggalkan rumahnya.
“Berapa kali kami harus membuat rumah baru?” dia bertanya. [Al Jazeera]