Unjuk rasa tampaknya tak akan berhenti, karena Gotabaya, presiden Sri Lanka dan adik Perdana Menteri, masih bercokol di kekuasaan
JERNIH—Di tengah krisis ekonomi, setelah sekian tahun berada di kekuasaan, Perdana Menteri Sri Lanka, Mahinda Rajapaksa, mengundurkan diri di tengah paksaan warga yang memprotes ketidakbecusan pemerintah menangani krisis ekonomi yang semakin dalam.
Langkah itu dilakukan saat negara pulau itu berada dalam ketegangan pemberlakuan jam malam, setelah terjadinya bentrokan keras antara para pengunjuk rasa warga dengan para pendukung Rajapaksa yang kemungkinan dibayar di ibu kota Kolombo. Lima orang tewas, termasuk seorang anggota parlemen partai yang berkuasa, dan lebih dari 190 orang terluka dalam kekerasan tersebut.
Protes atas terus membumbungnya harga serta pemadaman listrik yang menyulitkan warga telah dimulai sejak bulan lalu. Negara pulau itu memang menghadapi krisis ekonomi terburuk sejak memperoleh kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1948.
Rajapaksa, 76, mengirim surat pengunduran diri kepada adiknya, Presiden Gotabaya Rajapaksa, mengatakan dia berharap itu akan membantu menyelesaikan krisis, tetapi langkah itu sangat tidak mungkin bisa memuaskan lawan-lawan pemerintah. Di negara yang menghadapi krisis ketidakpastian ekonomi itu pengunduran diri Mahinda Rajapaksa bukanlah hal yang mengejutkan. Ada spekulasi berhari-hari bahwa dia akan keluar dari kekuasaan, setelah laporan bahwa saudaranya mengatakan kepadanya bahwa dia harus berhenti.
Dalam beberapa hari terakhir Mahinda Rajapaksa bertahan, dengan pandangan bahwa sebagai saudara yang lebih populer, dia seharusnya tidak menjadi orang yang keluar, tetapi pada akhirnya itu yang terjadi.
Sebelum dia mengucapkan selamat tinggal, dia berbicara kepada para pendukung setianya di sebuah rapat umum di pagi hari—beberapa dari mereka kemudian terlihat menyerang pengunjuk rasa anti-pemerintah.
Ketika berita pengunduran PM itu mencapai kawasan pejalan kaki depan laut Kolombo, Galle Face Green, para demonstran serentak menari dengan gembira. Selama berminggu-minggu mereka telah menuntut keluarga Rajapaksa, yang telah memerintah dan mematikan kehidupan negeri itu selama beberapa dekade, mengundurkan diri.
Tapi banyak yang melihat hal itu hanya kemenangan parsial karena target sebenarnya adalah presiden. Karena si Adik itu tidak menunjukkan tanda-tanda akan ikut mengundurkan diri, berarti protes akan terus berlanjut.
Pada Senin malam kantor berita AFP melaporkan bahwa tembakan telah Meletus di dalam halaman kediaman perdana menteri ketika polisi berusaha menghentikan pengunjuk rasa agar tidak masuk ke dalam lingkaran keamanan bagian dalam rumah tempat Rajapaksa bersembunyi dengan beberapa loyalisnya.
Sebelumnya, polisi dan pasukan anti huru hara dikerahkan, menyusul kekerasan di luar kantor perdana menteri dan presiden di Kolombo. Polisi menembakkan gas air mata dan meriam air ke ribuan pendukung partai yang berkuasa setelah mereka melanggar garis polisi dan menyerang pengunjuk rasa anti-pemerintah dengan menggunakan tongkat dan galah.
Setelah merobohkan tenda-tenda pengunjuk rasa di luar kediaman PM di Temple Trees, para pendukung Rajapaksa kemudian menyerbu kamp “Gota Go Home” di kawasan pejalan kaki. “Kami dipukuli, personel media dipukuli, bahkan perempuan dan anak-anak,” kata seorang saksi.
Tepat di luar ibu kota di kota Nittambuwa, polisi mengatakan ribuan pengunjuk rasa mengepung mobil seorang anggota parlemen dari partai yang memerintah. Dia melepaskan tembakan, menewaskan satu orang. Anggota parlemen itu sendiri kemudian ditemukan tewas, begitu juga pengawalnya, kata polisi kepada AFP.
Anggota parlemen lain di kota selatan Weeraketiya juga menembaki pengunjuk rasa di rumahnya, menewaskan dua orang dan melukai lima lainnya. Massa membakar beberapa properti politisi partai yang berkuasa dan pejabat pemerintah lokal diserang, menurut laporan.
Sejak demonstrasi meletus pada awal April, pengunjuk rasa telah berkemah dengan berisik tapi damai di luar kantor Presiden Rajapaksa di Galle Face Green, menuntut dia mundur. Orang-orang marah karena biaya hidup menjadi tidak terjangkau.
Cadangan mata uang asing Sri Lanka hampir habis, dan tidak mampu lagi membeli barang-barang penting, termasuk makanan, obat-obatan dan bahan bakar.
Pemerintah telah meminta bantuan keuangan darurat. Pemerintah juga menyalahkan pandemi COVID-19 yang disebutnya membunuh pariwisata, salah satu penghasil mata uang asing terbesar Sri Lanka. Tetapi banyak ahli mengatakan salah urus ekonomi yang seharusnya disalahkan.
Dalam surat pengunduran dirinya, Perdana Menteri mengatakan pengunduran dirinya dimaksudkan untuk membuka jalan bagi “pemerintah semua partai untuk membimbing negara keluar dari krisis ekonomi saat ini”, lapor AFP.
Partai-partai oposisi sejauh ini menolak untuk melakukannya dan juga meminta presiden untuk mundur.
Ayeshea Perera, editor Asia untuk BBC News, menulis bahwa pengunduran diri Mahinda Rajapaksa menandai perubahan nasib buruk bagi seorang pria yang selama bertahun-tahun menjadi orang paling berkuasa di Sri Lanka.
Masa kepresidenannya ditengarai dengan penumpasan pemberontak Macan Tamil pada 2009. Tetapi dia dirundung berbagai tuduhan pelanggaran hak asasi manusia yang serius, serta tuduhan–yang dengan keras dia bantah– bahwa dirinya korup saat berkuasa.
Dia ditolak untuk ketiga kalinya sebagai presiden pada tahun 2015. Namun kurang dari lima tahun kemudian dia kembali ke kekuasaan–meskipun kali ini sebagai perdana menteri, sementara adiknya, Gotabaya, menjadi presiden.
Tuduhan korupsi telah menambah bahan bakar untuk protes saat ini–banyak orang percaya Mahinda Rajapaksa membuka jalan bagi keluarganya untuk menjarah kekayaan negara untuk keuntungan finansial mereka sendiri. Papan reklame dan nyanyian yang menuntut keluarga itu mengembalikan “uang curian” negara, adalah pemandangan umum dalam protes rakyat di seluruh Sri Lanka. [BBC/AFP]