Bagi Lieutenant General Robert Stephenson Smyth Baden-Powell, Pulau Brownsea merupakan tempat yang menyimpan kenangannya semasa kecil. Ketika itu, Ia bersama saudara-saudaranya menjelajah pulau seluas 2,3 km2 penuh keceriaan. Padang terbuka dan hutan alami serta dua danau yang indah menjadi surga sekaligus guru terbaik untuk mengenal alam liar.
Kenangan itu dijumput kembali pada 25 Juli 1907, Baden-Powell bersama 21 bocah Boys Brigade berkemah di Pulau Brownsea. Hal itu dilakukan selepas Baden-Powell sukses mempertahankan kota Mafeking selama 217 hari sejak 18 Oktober 1899 sampai 17 Mei 1900. Kesuksesannya mempertahankan Mafeking dari gempuran 20.000 bom yang dilontaskan Pasukan Broer membuat Baden-Powell menjadi Pahlawan bagi Inggris.
Dalam kemping tersebut Baden Powell mempraktekan dan mengajarkan pengalamannya seperti yang ditulisnya dalam buku Aids to Scouting. Buku tersebut banyak terjual karena digemari oleh kalangan militer dan sipil karena isinya merupakan panduan dan keterampilan hidup di alam liar untuk membangun karakter dan kepercayaan diri. Maka kegiatan berkemah di Pulau Brownsea merupakan titimangsa lahirnya jambore dan gerakan kepanduan yang kemudian menyebar ke berbagai negara.
Tak bisa dipungkiri gagasan besar tentang kepanduan yang ditulis Baden Powell dalam buku berikutnya yang berjudul Scouting for Boys (1908) berpengaruh luas menggaungkan kepanduan ke berbagai negara. Di Indonesia, semangat kepanduan berkembang pada masa kolonial. Belanda yang membawa gerakan kepanduan ke Indonesia dengan mendirikan Nederland Indische Padvinders Vereeniging (NIPV) pada 4 September 1914. Anggotanya dituntut untuk setia terhadap Ratu Belanda.
Dua tahun kemudian, yaitu tahun 1916 lahir Javaansche Padvinders Organisatie (JPO) atau Perkumpulan Kepanduan Jawa yang dirintis oleh KGPAA Mangkunegara VII. JPO didirikan agar anak-anak Mangkunegaran lepas dari perngaruh Belanda dan kembali menjaga wibawa raja serta tetap mencintai budaya Jawa. Setelah melihat bahwa gerakan kepanduan (yang saat itu disebut padvindery) berguna membangun karakter kebangsaan dan mampu mendorong semangat persatuan dalam kebhinekaan, maka para tokoh pergerakan kemudian memprakarsai lahirnya gerakan kepanduan lainnya seperti Sarekat Islam Afdeling Padvindery (SIAP), Muhamadiyah mendirikan Hisbul Wathon (HW), Nationale Islamitsche Padvindery (NATIPIJ), dan Budi Utomo mendirikan Jong Java Padvindery (JJP).
Belanda rupanya khawatir melihat gerakan kepanduan berkembang pesat di Indonesia sehingga melarang penggunaan istilah padvindery. Namun larangan itu tak menyurutkan para tokoh pergerakan Indonesia waktu itu, maka KH. Agus Salim mengganti kata padvindery dengan kata ‘pandu’ atau kepanduan. Setelah melalui perjalanan panjang, seluruh organisasi kepanduan yang tumbuh subur kemudian dilebur menjadi gerakan Pramuka yang merupakan singkatan Praja Muda Karana pada 31 Juli 1961.
Namun cikal bakal kata Pramuka adalah kata Poromuko yang bermakna ‘pasukan terdepan dalam perang’ telah digunakan oleh Sultan Hamengkubuwono IX. Sampai akhirnya, tanggal 14 Agustus 1961 ditetapkan sebagai Hari Pramuka setelah dilakukan pelantikan pengurus Gerakan Pramuka yang dimeriahkan dengan defile Pramuka agar dikenal luas di Indonesia.
Di abad milenial, gerakan Pramuka di Indonesia yang telah menjadi tradisi nasional turut beradaftasi dengan perkembangan jaman. Namun bagi generasi milenial, serunya kegiatan pramuka yang khas seperti berkemah, jurit malam, api unggun, belajar sandi morse, semaphore, mengikuti tanda jejak, belajar tali temali dan segudang kreatifitas yang sangat berharga untuk melatih mental, otak dan fisik kini semakin pudar.
Buku saku Pramuka, yang saat itu menjadi kitab sakti berisi ajaran moral Dasa Darma dan Tri Satya dan mesti di dawamkan oleh para Pramuka dari tahap siaga, penggalang dan bantara, kini tidak begitu berpengaruh lagi semenjak game online menguasai keseharian generasi milenial. Alam luas yang dulu menjadi guru bagi para pandu untuk mengasah keterampilan dan pengetahuan, serta medan untuk memupuk rasa persatuan dan cinta tanah air perlahan-lahan semakin tidak menarik untuk dijelajahi. Ruang-ruang bermain yang alamiah berpindah dalam ruang-ruang di dunia maya yang individualistik.
Walaupun demikian Pramuka tetaplah Praja Muda Karana, dan generasi masa kini adalah poromuko yang berada di garda depan jaman sekaligus pewaris kebudayaan dan peradaban yang akan berjuang mempertahankan martabat bangsa . Sepanjang para pelajar dipelosok tanah air masih terus mengenakan seragam coklat tua dan muda, maka gerakan pramuka akan tetap berdenyut dengan cara dan kreativitasnya sendiri. Salam Pramuka !