Site icon Jernih.co

Presiden Haiti, Jovenel Moise, Ditembak Mati

Presiden Haiti Moise Jovenel berbicara selama konferensi pers di Istana Elysee di Paris, Prancis, 11 Desember 2017. (sumber foto: REUTERS)

Krisis kemanusiaan dan COVID-19, kekurangan makanan, berujung pada matinya Presiden Moise yang ditembak di kepala di kediamannya. Sebelumnya, Moise yang digempur dengan berbagai demonstrasi jalanan yang dihadapi dengan kekerasan aparat itu, menolak mundur.  

JERNIH– Presiden Haiti, Jovenel Moise, ditembak mati oleh penyerang tak dikenal di kediaman pribadinya semalam, dalam “tindakan tidak manusiawi dan barbar”. Istrinya disebutkan terluka, sebagaimana dikatakan Perdana Menteri Sementara Claude Joseph, Rabu siang WIB.

Joseph mengatakan, polisi dan tentara telah mengendalikan situasi keamanan tetapi tembakan terdengar di seluruh ibu kota setelah serangan, yang terjadi di tengah meningkatnya gelombang kekerasan terkait politik di negara Karibia yang miskin itu.

Dengan Haiti yang terpecah secara politik, dan menghadapi krisis kemanusiaan yang berkembang dan kekurangan makanan, ada kekhawatiran akan kekacauan yang kian meluas. “Presiden terluka dan menyerah pada luka-luka itu,” kata Joseph dalam sebuah wawancara dengan Radio Caraibes.

Menurut Joseph, pembunuhan itu terjadi sekitar pukul 01:00 ketika penyusup bersenjata, beberapa di antaranya diduga berbicara bahasa Spanyol, menembak kepala Moise, lapor outlet berita lokal Juno7.

Port-au-Prince telah mengalami peningkatan kekerasan ketika geng-geng saling bertarung dan polisi menguasai jalan-jalan. Pertumpahan darah didorong oleh memburuknya kemiskinan dan ketidakstabilan politik. Moise menghadapi protes sengit setelah menjabat sebagai presiden pada 2017, saat kalangan oposisi menuduhnya berusaha memakai kediktatoran untuk menjadi lebih otoriter— tuduhan yang tentu saja dia bantah.

“Semua tindakan diambil untuk menjamin kelangsungan negara dan untuk melindungi bangsa,” kata Joseph.

Moise telah memerintah melalui dekrit selama lebih dari setahun setelah negara itu gagal menyelenggarakan pemilihan legislatif dan ingin mendorong reformasi konstitusi yang kontroversial.

Penolakannya untuk mundur menyebabkan protes yang meluas di kalangan pemrotes pro-demokrasi, yang dibubarkan oleh pasukan polisi menggunakan gas air mata dan peluru tajam. Menurut laporan, pasukan polisi juga menyerang sejumlah wartawan yang sedang meliput kerusuhan, meninggalkan setidaknya satu orang dalam kondisi kritis.

Setidaknya 23 orang, termasuk seorang hakim tinggi dan perwira polisi senior ditangkap pada bulan yang sama atas tuduhan mencoba melakukan kudeta terhadap presiden.  Kedutaan Besar AS mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa kantor mereka akan ditutup pada hari Rabu karena “situasi keamanan yang sedang berlangsung.”

Amerika Serikat sedang menilai “serangan tragis” dan Presiden Joe Biden akan diberitahu tentang pembunuhan itu, Gedung Putih mengatakan. “Kami masih mengumpulkan informasi,” kata Sekretaris Pers Gedung Putih, Jen Psaki, di MSNBC. “Saat ini kami masih menilai.” [Reuters]

Exit mobile version