“Nenek moyang kami telah membangun negara ini, seperti juga (Perdana Menteri) Modi. Apa yang membuatnya orang India, sementara kami tidak? (Apakah) hanya karena kita berdoa kepada Tuhan yang berbeda?”
NEW DELHI— Sementara kaum lelaki mereka tak banyak melakukan penentangan atasundang-undang kewarganegaraan baru yang mendiskriminasi umat Islam, hampir di seluruh kota-kota India, para Muslimah terus turun ke jalan dan menentang. Mereka menuntut Partai Nasionalis Hindu Bharatiya Janata (BJP) yang berkuasa membatalkan kembali undang-undang tersebut. Perempuan India menjadi ujung tombak aksi protes di banyak negara bagian.
Para Muslimah itu turun ke jalan-jalan, menyerukan slogan-slogan menentang langkah-langkah pemerintah yang mereka sebut tidak konstitusional dan rasis. Benar, demonstrasi adalah hak warganegara. Tetapi di India, mereka menghadapi kecenderungan perilaku fasis, kebencian datri kaum laki-laki pemalas yang tak punya martabat, ekstremisme agama, bahkan brutalitas aparat polisi.
Misalnya apa yang tengah berlangsung di Shaheen Bagh, lingkungan kelas pekerja mayoritas Muslim di Delhi Selatan. Ratusan– kadang-kadang ribuan perempuan berkumpul di sini untuk aksi protes. Mereka duduk-duduk damai sepanjang hari di tenda yang mereka bentang di tengah jalan raya utama. Itu mereka lakukan setiap hari sejak 15 Desember 2019.
Tak hanya kaum Muslimah muda, tetapi ibu-ibu rumah tangga, bahkan nenek-nenek, ikut serta. Beberapa dari mereka berdempetan untuk merawat bayi dan nenek-nenek yang ada, sementara yang lain mengatur permadani untuk diduduki. Dalam gerakan tanpa pemimpin itu, selalu ada cukup makanan dan air untuk mereka bagi dan konsumsi.
Demonstrasi di Shaheen Bagh dimulai pada hari-hari setelah Parlemen India mengeluarkan Undang-Undang Amendemen Kewarganegaraan (Citizenship Amendment Act /CAA). Undang-undang itu memberikan amnesti kepada imigran non-Muslim dari tiga negara tetangga (Pakistan, Bangladesh, dan Afghanistan). Pemerintah–yang dipimpin Partai Nasionalis Hindu Bharatiya Janata, mengatakan tindakan itu dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi umat Hindu, Sikh, Buddha, Kristen, Parsis, dan Jain, yang melarikan diri dari penganiayaan agama dari tiga negara mayoritas Muslim.
Tetapi Muslim di India mengatakan hukum itu diskriminatif, yang menantang sifat sekuler konstitusi India dengan menjadikan agama sebagai bagian dari dasar kewarganegaraan. Menurut mereka, hal itulah inti dari bagaimana menjadi orang India.
Semua masakah itu diperumit dengan semacam sensus bernama Pendaftaran Kewarganegaraan Nasional (National Register of Citizens/ NRC), sebuah penghitungan yang akan dilaksanakan secara nasional pada tahun 2021. Di negara di mana sebagian besar penduduk hidup dalam kemiskinan dan banyak yang bahkan tidak memiliki akta kelahiran, NRC bersama-sama dengan CAA akan semakin meminggirkan orang miskin, jutaan orang yang hidup tanpa agama, serta populasi Muslim yang mewakili sekitar 14 persen orang India.
Di India, negara dengan penduduk terpadat kedua di dunia, kewarganegaraan tidak diperoleh secara otomatis saat lahir. Kewarganegaraan didasarkan pada jalur yang mempertimbangkan kelahiran, keturunan, pendaftaran, dan naturalisasi.
Dalam sebuah pernyataan kepada Dewan Kota Seattle yang mengecam undang-undang tersebut, ekonom Seattle dan imigran India S. Charusheela, yang mempelajari pembangunan di Asia Selatan, mengatakan bahwa perubahan dalam hukum kewarganegaraan telah membuat lebih mudah untuk mencari kewarganegaraan berdasarkan keturunan dan asal usul agama, serta lebih sulit dicari berdasarkan kelahiran di dalam negeri.
“Untuk seorang anak yang lahir hari ini di India, pemerintah membutuhkan hingga dua generasi bukti kewarganegaraan dan keturunan untuk membangun kewarganegaraan berbasis kelahiran,” kata Charusheela.
Di negara bagian timur laut Assam, tempat NRC pertama kali dieksekusi tahun lalu, sekitar 1,9 juta orang atau 6 persen dari populasi di sana, dikeluarkan dari daftar karena mereka tidak dapat membangun kewarganegaraan. Banyak yang beragama Hindu, yang dengan CAA berpotensi masih dapat memperoleh kewarganegaraan. Tetapi di bawah hokum tersebut, kaum Muslim tidak akan dapat membuat klaim seperti itu, dan akan berisiko dinyatakan sebagai orang asing hingga akhirnya ditahan atau dideportasi.
“NRC di Assam sangat cacat sehingga di dalam keluarga ada anggota yang dinyatakan ilegal,” kata Shabnam, ibu tiga anak berusia 47 tahun yang berpartisipasi dalam aksi duduk Shaheen Bagh.
Beberapa anggota keluarga mantan Presiden India Fakhruddin Ali Ahmed, misalnya, tidak termasuk dalam daftar. Padahal mereka adalah pensiunan lembaga pertahanan, mantan pejabat pemerintah, bahkan politisi. “Bayangkan jika itu dapat terjadi pada orang-orang yang berpendidikan, kaya dan berkuasa, apa yang akan terjadi pada anak-anak dari ibu tunggal yang tidak berpendidikan seperti saya,”kata Shabnam.
Setelah pemungutan suara parlemen pada bulan Desember, protes meletus di seluruh negeri. Di antara protes terbesar adalah demonstrasi oleh para mahasiswa di Universitas Jamia Millia Islamia (JMI) di Delhi. Di sana polisi bentrok dengan pengunjuk rasa. Universitas menuduh bahwa polisi memasuki kampus tanpa izin dan menyerang staf dan mahasiswa tanpa pandang bulu. Salah satu yang terluka adalah putri Heena Ahmed.
Dia pergi menemui seseorang di kampus, kata ibunya, tetapi ditangkap saat berada di antara polisi dan pengunjuk rasa. Dalam beberapa hari setelah insiden itu, Ahmed memutuskan dia tidak bisa lagi diam dan bergabung dengan mereka yang duduk dalam protes. Ia tak hanya menentang tindakan pemerintah seperti yang terjadi di Jamia, tetapi juga kebijakan rasis CAA dan NRC.
Sebelumnya, katanya, dia hanya memiliki sedikit pemahaman tentang apa arti hukum bagi komunitasnya. “Saya seperti kebanyakan orang lain, paling tidak tertarik pada kewarganegaraan,” kata Ahmed.
“Kami hanya berusaha untuk bertahan hidup,” kata dia. “Tapi sejak aku mulai datang ke sini, aku sudah mulai membaca. Saya bahkan membaca mukadimah konstitusi untuk pertama kalinya setelah bergabung dalam protes.”
Protes juga segera menyebar ke AS, tempat para demonstran di lebih dari dua lusin kota mengecam tindakan pemerintah selama perayaan Hari Republik India ke-71. Pada awal Februari, Dewan Kota Seattle menjadi badan legislatif AS pertama yang mengeluarkan resolusi, yang diperkenalkan oleh Anggota Dewan India-Amerika Kshama Sawant, mengutuk NRC dan CAA. Ia menegaskan,”Seattle sebagai kota penyambutan.”
Di Shaheen Bagh, ratusan demonstran berkumpul untuk berdemonstrasi di siang hari. Jumlah mereka membengkak menjadi ribuan pada malam hari. Untuk menghadapi intimidasi pemerintah, perhatian media yang terpolarisasi, dan ancaman kekerasan, mereka meneriakkan slogan-slogan seperti, “azaadi” (kebebasan) dan “hum kagaz nahi dikhayenge” (kami tidak akan menunjukkan surat-surat kami).
Di sekeliling mereka anak-anak bermain, sukarelawan mendistribusikan biskuit dan air, dan ada nyanyian tulus dari lagu-lagu Bollywood patriotik. Aktivis dari seluruh negeri berbicara menentang hukum pemerintah yang baru. Tidak jauh dari sana ada galeri seni publik dengan poster, foto, dan grafiti, sel tahanan tiruan, perpustakaan yang didirikan di halte bus yang dikonversi, dan tenda medis.
Ahmed, seorang penata rias, menyeimbangkan protes harian dengan kewajiban rumah tangganya di rumah. Ia meninggalkan protes duduk itu setiap pagi, untuk pulang pukul 6:30 dan membangunkan anak-anaknya ke sekolah. Sementara mereka berpakaian, dia memasakkan mereka makan siang dan memastikan mereka telah menyelesaikan pekerjaan rumah mereka.
Pada suatu pagi yang dingin baru-baru ini, ketika anak-anaknya buru-buru melahap sarapan, dia duduk untuk mengatur napas. Tiga jam kemudian, dia bangun dengan kaget, anak-anak sudah lama pergi. “Saya terus-menerus kelelahan akhir-akhir ini, tetapi ini adalah pertarungan penting,” kata dia.
“Kami akhirnya terbangun. Kami tidak akan membiarkan pemerintah ini membagi negara ini berdasarkan agama. Saya sangat bangga dengan kenyataan bahwa para wanita Shaheen Bagh telah mengingatkan negara ini apa artinya memiliki tulang belakang. Dan yang lebih penting, kami memiliki orang-orang dari semua agama yang berjuang melawan ketidakadilan ini dengan kami,” kata Ahmed.
Shaheen Bagh telah mengubah sesuatu yang mendasar, tidak hanya dalam lanskap politik negara itu dan responsnya terhadap kebijakan pemerintah terbaru ini, tetapi juga dalam masyarakat. “Shaheen Baghs” yang dipimpin kaum Muslimah itu kini bermunculan di seluruh India, dari kota-kota metropolis seperti Mumbai dan Kolkata hingga kota-kota kecil.
“Pria dalam keluarga kami tidak mengkhawatirkan keselamatan kami,” kata Nusrat Ameen, 58. “Tenda ini hanya untuk wanita dan anak-anak. Pria berdiri di sisi lain dari tali yang mengelilingi tenda. Tidak ada yang akan membayangkan bahwa perempuan bisa menginap sepanjang malam di kota seperti Delhi, tetapi kita tidak takut di sini. Kami bersatu dan saling menjaga satu sama lain. ”
Para wanita menghabiskan 12 hingga 14 jam dalam protes setiap hari. Karena banyak yang masih harus memasak, membersihkan, dan mengurus keluarga mereka, sebagian besar hanya menikmati sedikit tidur. Misalnya Nafeesa Begum, seorang ibu dari anak berusia dua tahun, yang berusia 31 tahun. .
Dia berada dalam tenda protes dari pukul 5 hingga pukul 7 setiap malam, terus demikian hingga keesokan paginya. Setelah itu dia pergi untuk membawa putrinya pergi ke sekolah dan suaminya yang sopir taksi pergi bekerja. Dia juga membersihkan rumah untuk menambah penghasilan keluarga. Semua pengorbanan itu, kata Nafeesa, tidak sia-sia. “Karena kami orang India, dan kami tak harus membuktikan ini.”
“Nenek moyang kita telah membangun negara ini, seperti juga (Perdana Menteri) Modi. Apa yang membuatnya orang India, sementara kami tidak? (Apakah) hanya karena kita berdoa kepada Tuhan yang berbeda?” dia bertanya.
Suasana di Shaheen Bagh optimis dan penuh harapan meskipun ada ketakutan yang jelas akan tindakan keras dari pihak berwenang dan kekerasan. Pada hari baru-baru ini, seorang fanatik sayap kanan menembakkan senjata ke arah paara pemrotes. Beberapa hari kemudian yang lain menembakkan dua tembakan ke udara.
Noornisa, yang tidak memberikan nama belakang, pada usianya yang 70-an, tersenyum. Dengan kerangka tubuhnya yang tipis, dia jauh dari apa yang dibayangkan sebagai ‘demonstran politik’. Kehadirannya adalah pengingat bahwa protes ini tidak seperti apa pun yang pernah India lihat sebelumnya.
Noornisa, yang duduk di kursi plastik dekat panggung, sudah ikut protes sejak hari pertama. “Saya pulang hanya karena saya punya suami yang sakit,” kata dia. “Saya terus mengatakan kepadanya bahwa dia perlu belajar untuk melakukan segalanya sesuatunya sendiri. Saya sedang sibuk berjuang untuk negara saya.” [yesmagazine]