Site icon Jernih.co

Sabu: Sebuah Riwayat Narkoba Militer

Ada yang menyebut sabu, tapi tak sedikit yang menyebut sabu-sabu. Yang pasti, kata untuk narkoba metamfetamin dan amfetamin itu, adalah terjemahan dari Bahasa Inggris untuk crystal meth.

Di pasaran, terutama di kalangan penjual dan pengguna di seluruh dunia, nama narkoba itu punya nama; pep pills, go pills, uppers or speed.

Tiga nama terakhir relatif tidak mengandung arti apa-apa, dan kemungkinan diberikan pengedar dan penjual sebagai samaran dari kejaran aparat. Khusus nama terakhir, speed, setidaknya punya makna sejarah.

Amfetamin adalah sekelompok obat sintentik yang merangsang sistem saraf pusat, mengurangi kelelahan, dan nafsu makan, serta meningkatkan kesadaran dan perasaan sehat.

Artikel Terkait:
Penggunaan Sabu dalam Perang Korea dan Perang Vietnam
— Sabu: Narkoba Terbaik di Medan Tempur, Perusak Mengerikan dalam Sejarah

Metamfetamin adalah bentuk yang sangat manjur dan adiktif, yang kini disebut sabu atau sabu-sabu. Semua amfetamin dilarang, dengan penggunaan yang diatur ketat.

Namun amfetamin adalah obat klasik era industri modern, yang hadir terlambat dalam sejarah narkoba. Obat dikomesialkan selama Perang Dunia II oleh raksasa industri terkemuka.

Lester Grinspoon dan Peter Hedblom, dalam The Speed Culture, menulis Perang Dunia II mendorong penggunaan amfetamin yang disahkan secara hukum dan medis, dan menciptakan paar ilegal sabu skala dunia.

Dari Ma-huang Sampai Amfetamin

Sun Tzu, dalam The Art of War, menulis kecepatan adalah esensi perang. Kecepatan berkaitan dengan kinerja personel militer di setiap operasi, atau dalam tugas patroli.

Setiap jenderal tak menghendaki tentara loyo, dan menuntut kinerja di atas batas kemampuan normal. Itu berlaku tidak hanya pada perang modern, tapi sejak ribuan tahun lalu.

Di Cina, tabib militer mencari ramuan yang dapat meningkatkan kinerja personel militer. Mereka menemukan ma-huang, tanaman semak padang pasar relatif langka.

Di Barat ma-huang dikenal dengan nama ephedra. Masyarakat Cina masa lalu menggunakannya sebagai obat penyakit umum; batuk dan flu.

Tabit militer Cina memberikan tanaman itu, dalam dosis tinggi, kepada pasukan patroli malam di Tembok Besar Cina.

Tahun 1887, pakar kimia Jepang Nagayoshi Nagai mengekstraksi bahan aktif ma-huang (efedrin), yang sangat mirip adrenalin. Tahun 1919, Akira Ogata — ilmuwan Jepang lainnya — mengembangkan pengganti sintentis ekstrak bahan aktif ma-huang.

Namun efedrin sintetis baru tersedia dalam bentuk formula, dan siap untuk penggunaan medis komersial, baru muncul tahun 1927. Adalah Gordon Alles, pakar kimia muda asal Inggris, yang melakukannya di sebuah laboratorium Universitas California, Los Angeles.

Alles menjual formula itu ke Smith, Kline & French, raksasa farmasi dari Philadelphia. Tahun 1932, fomula Alles dipasarkan sebagai inhaler merk Benzedrine di toko-toko obat.

Beberapa tahun kemudian, obat dipasarkan dalam bentuk tablet dengan merk Bennies, dan dipromosikan secara besar-besaran sebagai obat ajaib untuk semua penyakit; dari depresi hingga obesitas.

Hanya ada sedikit perhatian akan efek samping obat itu, yaitu potensi kecanduan, serta risiko keruskan fisik dan psikis jangka panjang.

Di Jepang, pakar kimia melanjutkan kerja Ogata untuk menghasilkan obat serupa dan memproduksinya. Seperti di AS, tidak ada yang peduli dengan potensi merusak akibat penggunaan obat itu.

Narkoba Pilot Kamikaze

Tahun 1942, setelah Jepang mengebom Pearl Harboru, Perang Pasifik pecah. AS dan sekutunya menghadapi Jepang di teater Pasifik.

Kekaisaran Jepang berusaha memberikan keunggulan farmakologis kepada prajuritnya, dengan memberikan metamfetamin. Sebuah perusahaan farmasi mendapat kontrak produksi metamfetamin skala besar selama perang.

Tablet-tablet, dengan nama philopon — lebih sering disebut hiropin — dibagikan kepada pilot yang menjalankan misi penerbangan panjang, serta kepada tentara yang berangkat ke medan tempur.

Di pabrik-pabrik alat perang, Jepang memberi pekerja pil yang sama agar setiap orang mampu bekerja di atas batas normal masing-masing.

Prajurit Jepang yang beberapa kali mengkonsumsi stimulan perang menyebut obat itu senryoku zokyo zai, atau obat yang menginspirasi semangat bertarung.

Tidak sulit memahami penggunaan metamfetamin di militer Jepang. Perang total membutuhkan mobilisasi toal; mulai dari pabrik sampai ke medan perang.

Pilot, tentara dari semua angkatan, relawan dan buruh, didorong melampaui batas kemampuan alami. Mereka harus tetap terjaga, berusaha lebih keras.

Penggunaan metamfetamin disertai kampanye bahwa mengkomsumsi stimulan untuk meningkatkan kinerja adalah tanda patriotiesme.

Pilot kamikaze mungkin yang paling banyak mengkonsumsi metamfetamin. Sebelum misi bunuh diri, mereka disuntik metamfetamin dalam dosis besar. Atau diberi diberi pil pel dengan lambang kekaisaran.

Pil pep yang digunakan Jepang adalah metamfetamin yang disampur teh hijau atau Totsugeki-Jo atau Tokkou-Jo. Di pangkalan pilot kamikaze di Filipina, pil ini populer dengan sebutan tablet penyerbu.

Kebanyakan pilot kamikaze masih belia. Sering berusia kurang dari 20 tahun. Sebelum diberi suntikan metamfetamin, mereka melakukan upacara dengan sake, karangan bunga, dan ikat kepala berhias.

AS juga melakukannya. Sangat tidak mungkin membuat tentar terjaga 48 jam tanpa narkoba dalam darah setiap personel militer.

Jadi Perang Dunia II teater Pasifik adalah konflik adu keunggulan senjata dan farmakologis.

Veteran Pecandu

Usai perang, sesuatu yang buruk terjadi. Setiap prajurit yang selamat dan kembali ke keluarga harus hidup dengan status pecandu berat metamfetamine.

Masalah ini dialami AS dan Jepang. Bahkan, situasi di Jepang lebih parah. Negara itu mengalamai epidemi narkoba.

Veteran dan pekerja pabrik terus mengkonsumsi metamfetamin. Obat dapat diperoleh dengan mudah, karena surplus produksi dilempar ke pasar domesetik.

Saat Jenderal Douglas McArthur menerima penyerahan Jepang tahun 1945, stok hiropin di sekujur negeri itu sangat besar. Metamfetamin tersimpan di gua-gua di sekujur Jepang, dan sebagian lainnya di rumah sakit militer.

Yakuza mengambil alih sebagian besar distribusi dan perdagangan metamfetamin, yang membuat sindikat itu kaya raya. Sedangkan tablet yang tidak beredar di pasaran berada di tangan perusahaan farmasi.

Perusahaan itu juga menjual obat itu secara bebas dengan nama wake-a-mine, yang disebut-sebut menawarkan peningkatan vitalitas. Perusahaan juga menjual cairan meth buatan militer, sisa Perang Dunia II, ke publik tanpa resep dokter.

Akibatnya, sekitar lima persen penduduk Jepang usia 18 sampai 25 menjadi pecandu intravena. Situasi diperburuk dengan kehadiran militer AS.

Asahi Shimbun menulis prajurit AS di Jepang bertanggung jawab patas penyebaran amtetamin dari kota besar ke kota kecil. Buktinya, Badan Narkotika Jepang saat itu menangkan 623 tentara AS penjual narkoba sepanjang tahun 1953.

Apakah hanya sedikit itu? Tidak. Sebagian besar tentara AS jual narkoba, tapi sebagian besar tak diproses karena Jepang menghormati persahabatan dengan Paman Sam.

Situasi veteran kecanduan amfetamin dan metamfetamin tidak terjadi di Jerman. Penyababnya, pasukan pendudukan membongkar pabrik pil stimulan itu.

Temmler Werke, wilayah produsen Pervitin, di bawah kendali Uni Soviet. Tentara Merah mengambil alih pabrik itu. Di zona Barat, perusahaan farmasi AS membeli fasilitas produksi Pervitin.

Ketika Pervitin diproduksi lagi, pemerintah Jerman memberlakukan kontrol ketat. Akibatnya, obat-obatan itu kurang bisa diakses publik.

Di AS pasca perang, konsumsi amfetamin meningkat hebat. Farmakolog Leslie Iversen menulis bahwa penggunaan emfetamin non medis menyebar cepat dalam 20 tahun setelah Perang Dunia II.

Menurut Iversen, sebagian disebabkan sikap komunitas medis terhadap obat-obatan ini, yang menganggapnya aman dan efektif. Lainnya karena hampir seluruh personel militer yang pulang dari perang terus menggunakannya.

Exit mobile version