Ada banyak sisi buruk omnibus law selain menjanjikan sisi pragmatis. Salah satunya mengakomodasi sifat serakah kita untuk memakan segala yang ada saat ini, tanpa memberi peluang untuk hidup dalam lingkungan dan SDA lebih baik kepada generasi nanti
JAKARTA— Tampaknya karena yakin akan menjadi jimat canggih yang akan menghalau segala aral, masalah, penghalang serta kendala, meski ramai-ramai diprotes sejak tahun lalu, toh pemerintah akan segera menyerahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pekan depan. Hal itu ditegaskan Menkumham Yasonna Laoly, Kamis (7/2) pekan lalu.
Kita tentu senang memiliki pemerintah yang punya pendirian tegas. Masalahnya, warga saat ini melihat bahwa RUU Cipta Lapangan Kerja yang menjadi salah satu satu produk omnibus law pemerintah itu cenderung hanya menggelar karpet merah selamat datang kepada para penanam modal, sementara perspektif lingkungan, bahkan banyak sisi kepentingan pekerja, terus dipinggirkan.
Kini, apa sebenarnya omnibus law? Kata itu datang dari Bahasa Latin yang berarti ‘untuk segalanya’. Black Law Dictionary yang kerap dijadikan rujukan, mendefinisikan omnibus law sebagai upaya sesuai peribahasa ‘sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui’. Artinya, hanya dengan mengundangkan satu regulasi, sekian banyak regulasi lain dari banyak sisi dan kementerian bisa tergantikan. Hukum Online menulis, konsep itu bisa saja hanya menggantikan sejumlah pasal di satu regulasi, dan atau pada saat berbarengan mencabut seluruh isi regulasi lain.
Konsep omnibus law sudah tergolong tua. Di Amerika Serikat undang-undang Omnibus Law pertama kali dibahas pada 1840. Wikipedia mencatat, selama abad ke-19, di negeri itu muncul tiga peraturan omnibus yang terkenal. Misalnya pada 1850 Senator Henry Clay dari Negara Bagian Kentucky mengajukan ketentuan untuk menenangkan perbedaan di antara banyak negara bagian tentang perbudakan, yang mengancam keutuhan ikatan ke-Amerikaan mereka.
Yang paling terkenal dari dari aturan Omnibus itu, selain Undang-undang Omnibus 22 Februari 1889 yang menegaskan penerimaan empat negara bagian baru AS– Dakota Utara, Dakota Selatan, Montana, dan Washington, adalah Fugitive Slave Act yang cenderung pro mereka yang anti perbudakan. Wikipedia menulis, dengan berlakunya undang-undang Omnibus itu ”…perpecahan dan perang saudara bisa tertunda selama satu dekade.”
Arsip The New York Times juga membicarakan Omnibus, pada sebuah artikel mereka di 17 Maret 1860. Dalam artikel berjudul ‘Omnibus Law and The Public’itu ditulis tentang kerugian apa yang akan dialami warga kota New York di saat datang sebuah aturan omnibus soal jalur kereta api di kota itu.
Populernya car aitu barangkali bergulir sejak 1967, saat Menteri Hukum AS Pierre Trudeau mengenalkan Criminal Law Amendement Bill, yang isinya mengubah banyak sisi aturan dari undang-undang hukum pidana terdahulu.
Baru setelah itu, dengan AS sebagai acuan, omnibus law juga diterapkan banyak negara, seperti Turki, Filipina, Inggris, Kamboja, Vietnam, Australia, Jerman, Singapura dan Malaysia. Konsep itu memang sederhana dan praktis karena bisa mengoreksi banyak regulasi bermasalah. Yang terutama, cara tersebut membuat kecepatan penyusunan undang-undang menjadi terkerek berpuluh atau bahkan ratusan kali lipat, sekaligus mengoreksi undang-undang bermasalah yang tengah berlaku.
Sebagai contoh, Irlandia, yang pada 2008 menggulirkan peraturan omnibus, bisa sekaligus mencabut kurang lebih aneka aturan dari 3.225 undang-undang.
Sisi praktis itu pula yang tampaknya jadi tujuan pemerintah Republik Indonesia. Sebagaimana dikutip banyak media massa, saat membuka Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrembangnas) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, di Jakarta, akhir tahun lalu, Presiden Jokowi meminta Ketua DPR Puan Maharani agar bisa menyelesaikan Omnibus Law dalam tiga bulan saja.
“Bu Puan, ini ada 82 undang-undang, mohon segera diselesaikan. Saya sudah bisik-bisik, kalau bisa jangan lebih dari tiga bulan,” ujar Jokowi, yang dikutip hampir seluruh media massa. Segera pula pemerintah membentuk Satuan Tugas (Satgas) Omnibus Law yang beranggotakan 127 orang, terdiri atas nama-nama besar dari kalangan kementerian atau lembaga terkait, pengusaha, akademisi, kepala daerah, dan tokoh-tokoh masyarakat.
Efektifkah?
Tergantung pada apa tujuan pembentukan omnibus law tersebut. Dari sisi pragmatis, siapa yang tak bisa menyatakan efektif manakala sekian banyak pasal—bahkan undang-undang, bisa diubah hanya dalam waktu cepat. Sementara kita tahu, legislasi di DPR untuk sebuah undang-undang bisa memakan waktu berbulan, bertahun, bahkan tak jarang menembus dekade. “Kalau kontribusi omnibus law satu persen, (pertumbuhan ekonomi) enam persen sudah di tangan,” kata Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Jalil. Menurutnya, ada 82 UU dan 1.100 pasal yang selama ini tumpang-tindih dan menghambat investasi sehingga harus diselaraskan melalui omnibus law. Belum lagi di segi-segi lain.
Tetapi, bisa jadi omnibus justru akan membawa kita semua kembali ke zaman-zaman awal, manakala isu-isu hak asasi manusia, kepentingan rakyat kecil dan orang banyak, urusan-urusan kebudayaan, masih dilecehkan pemerintah penganut buta pembangunanisme. Hal lain yang jelas, sentralisme negara yang coba dihilangkan dan diganti desentralisasi serta otonomi daerah sebagaimana nilai-nilai reformasi 1998 pun, akan kembali menguat.
Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri, tampak jelas memikirkan kemungkinan itu. Dari RUU Cipta Lapangan Kerja saja, Faisal melihat RUU itu akan melemahkan posisi pemerintah daerah dan buruh. “Terjadi shifting,” katanya pekan lalu. “Pemerintah pusat dan kaum bisnis kembali akan sangat kuat.”
Hal ini disebabkan pembuatan draf RUU yang berlangsung tertutup dan hanya melibatkan pengusaha, khususnya Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia. Ia yakin RUU itu bakal lolos dengan mudah di DPR karena 74 persen anggota DPR adalah partai pendukung pemerintah dengan sekian banyak pengusaha. Apalagi, 30 persen anggota Satgas Omnibus Law ternyata para pengusaha. Wajar bila dalam prosesnya, Omnibus Law pun sama sekali tidak melibatkan Serikat Buruh dan organisasi-organisasi lingkungan hidup.
Memang, dilihat sepintas undang-undang yang berlaku saat ini dinilai menghambat masuknya investasi. Beberapa pendukung utama Omnibus Law mengatakan, aturan yang berlaku saat ini banyak mengakibatkan tidak efisiennya proses bisnis dan menimbulkan ketidakpastian investasi karena mengharuskan banyak izin. Mereka lupa, izin-izin tersebut antara lain kelaikan analisis dampak lingkungan (Amdal). Bila itu dihapus—sebagaimana fakta lapangan pun menegaskan banyak permainan di sisi ini, bagaimana nasib anak-cucu generasi ke depan Indonesia? Selain sumber daya alam sudah kosong bolong, lingkungan yang diwariskan pun sudah bekas pakai dan tercemar.
Omnibus Law bisa diterapkan, asal pasal-pasalnya lebih berisi solusi atas hal-hal degil lama yang terjadi, dan bukan membawa persoalan baru yang tak kalah krusial. Buat apa ekonomi naik—setidaknya dari prediksi dan harapan yang menjadikan kita tega, sementara nasib pekerja tetus berada di dunia duka? Bukankah menarik investor asing itu ujung-ujungnya demi kesejahteraan bersama, termasuk rakyat banyak, bukan membuat mereka bisa semena-mena memperkosa habis-habisan alam dan lingkungan kita? [ ]