Di saat Taiwan dan Malaysia menarik produk Indomie Rasa Ayam Spesial dari peredaran, banyak yang mempertanyakan BPOM manakala tidak melakukan hal yang sama karena produk itu masih tergolong aman dikonsumsi. Perbedaan standard di setiap negara seharusnya membuat produsen terus menekan residu ETO hingga nol.
JERNIH–Ukuran yang dipersoalkan itu sejatinya sangat jauh lebih kecil dari secuil, cuma dalam satuan miligram per kilogram saat terlarut. Bahkan hanya sekitar sepersepuluh dari satu miligram, tepatnya 0,187 mg/kg. Tetapi dampak yang ditimbulkannya begitu besar.
Pemerintah kota Taipei—dan boleh jadi merembet ke seluruh Taiwan—sejak akhir April lalu menarik produk Indomie Rasa Ayam Spesial, makanan olahan yang mengandung bahan yang dipersoalkan tersebut, Etilen Oksida (ETO). Pemerintah Malaysia juga melakukan hal serupa, plus produknya sendiri, Mi Kari Putih Ah Lai. Produk itu juga mengandung ETO, meski jauh lebih kecil, yakni 0,065 mg/kg pada mi, dan 0,084 mg/kg pada kemasan sausnya.
Itu paling tidak membuat diaspora Indonesia di Taiwan, yang menurut data Bank Indonesia (BI) pada kuartal I 2022 mencapai 294 ribu orang, gerah. Kecuali memiliki persediaan, kini mereka tak bisa lagi mendapatkan Indomie jenis itu. Padahal, bagi kebanyakan TKI di Taiwan, Indomie sudah seperti merupakan ‘makanan pokok’ tersendiri yang harus selalu ada di dapur.
“Termasuk Indomie Rasa Ayam Spesial yang ditarik itu,”kata Hani, seorang TKI yang hanya mau menyebutkan nama panggilannya. Artikel pada sebuah situs, Berita99.co, menyebutkan, dari sekitar 47 varian Indomie, Rasa Ayam Spesial disebut-sebut menempati urutan ke-16 sebagai varian favorit. “Harganya juga murah,”kata Hani. Dengan 50 dolar Taiwan (sekitar Rp 24 ribu), pembeli sudah bisa dapat enam bungkus. Artinya, perbedaan harganya tak terlalu senjang dengan harga di Indonesia yang dipatok sekitar Rp 2.850 per bungkus.
Yang juga kena imbas barangkali para konsumen varian tersebut di Indonesia. Paling tidak, imbas psikologis berupa rasa was-was. Jumlah mereka tak bisa dipandang sebelah mata, mengingat Indomie—meski tak spesifik varian yang dipersoalkan Taiwan itu—adalah “pangan sejuta umat” yang dilahap tanpa batasan kaya-miskin. Sementara di gubuk-gubuk pinggir kali satu bungkus bisa dinikmati dua orang tanpa tambahan sosis, kornet dan pelengkap lainnya, di warung-warung Indomie (Warmindo) yang tumbuh merebak di perkotaan, orang dari status sosial lebih tinggi menikmatinya tanpa canggung. Belum lagi menu Indomie juga tersedia di resto kelas menengah, misalnya Warung Upnormal, yang hype alias sangat disenangi generasi Z dan kaum millennials.
Di Taiwan, Kepala Divisi Obat dan Makanan di Biro Kesehatan Taipei, Chen Yiting, menyatakan kedua produk mi instan itu tidak sesuai standard kelonggaran residu pestisida yang diatur Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan negara itu. “Berdasarkan hukum telah diperintahkan untuk segera menarik (dua produk itu) dari rak, dan pada saat yang sama produsen yang bertanggung jawab dapat dihukum denda sekitar 200 juta yuan atau setara Rp431 miliar,”ujar Chen Yiting, seperti ditulis media online Taiwan, SETN.com. “Operator akan diperintahkan untuk mengeluarkan produk yang melanggar dari rak dan menghancurkannya.”
Pemerintah Malaysia terdorong untuk melakukan kebijakan serupa Taiwan. “Kementerian sudah mengeluarkan perintah Tahan, Tes, dan Lepaskan produk itu di semua titik masuk. Kami juga sudah memerintahkan perusahaan untuk secara sukarela menarik produk itu dari pasar,”kata Menteri Kesehatan Malaysia, Muhammad Radzi Abu Hassan, seperti dikutip media Malaysia, The Star, di awal-awal persoalan itu merebak, akhir April lalu. The Star menulis, Kementerian Kesehatan Malaysia telah memutuskan untuk menarik produk Mi Kari Putih Ah Lai dan Indomie Rasa Ayam Spesial dari pasaran karena keduanya mengandung Etilen Oksida.
Namun menurut Radzi, sebenarnya produsen Mi Kari Putih Ah Lai sudah memenuhi standard kesehatan lokal. Tetapi ia tetap meminta penarikan produk itu demi keamanan publik. “Kementerian Kesehatan memerintahkan pabrik untuk menarik secara sukarela mi instan yang kedaluwarsa pada 25 Agustus 2023 dari pasar lokal,”ujar Radzi.
Terhadap langkah Taiwan dan pemerintah Malaysia tersebut, GM Corporate Communication PT Indofood Sukses Makmur Tbk, Stefanus Indrayana, menanggapinya dengan terkesan berhati-hati. “Kami sedang persiapan dan diskusi lebih lanjut. Akan (kami) share segera setelah ada (perkembangan),” kata Stefanus kepada kantor berita Antara, saat itu.
Otoritas di Indonesia bergeming
Berbeda dengan Malaysia, otoritas Indonesia, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), tidak lantas tergopoh-gopoh menarik Indomie Rasa Ayam Spesial yang tentu saja juga beredar luas di pasar lokal. Dalam sebuah keterangan tertulis yang segera disebar BPOM setelah kasus Taiwan merebak, lembaga itu menegaskan bahwa mi produksi PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk itu masih aman untuk dikonsumsi masyarakat.
“Di Indonesia produk mi instan tersebut aman dikonsumsi, karena telah memenuhi persyaratan keamanan dan mutu produk sebelum beredar,” kata BPOM, akhir April lalu.
Lha, bagaimana bisa? Bukankah ETO yang terkandung dalam produk tersebut diyakini bisa menyebabkan kanker dan sejembreng dampak negatif lain terhadap kesehatan? Memangnya warga Indonesia laiknya mutan yang punya daya tahan jauh lebih kuat dibanding manusia umumnya terhadap zat-zat berbahaya, dalam kasus ini ETO?
Bukan begitu. Ternyata dalam urusan standard batas maksimum ETO, juga pada pengukurannya ada cerita yang menarik. Urusannya, ternyata negara-negara di dunia pun belum punya ketentuan baku dalam batas maksimal residu (BMR) ETO itu.
“Ada perbedaan standard dan perbedaan persepsi (soal ETO),” kata Prof Hardinsyah MS, PhD. Menurut guru besar Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, IPB University sekaligus ketua umum Perhimpunan Pakar Gizi dan Pangan Indonesia (Pergizi Pangan) tersebut, standard negara lain berbeda dengan dengan standard kita. Sementara angka 0,34 ppm di sana dianggap bahaya, di kita yang mematok angka 85 ppm, masih dianggap wajar dan aman.
“Ya, kalau masing-masing punya standard yang berbeda, susah untuk ketemu kan,” kata dia.
Negara-negara Uni Eropa, misalnya, berdasarkan Regulation (EC) 396/2005 dan Regulation (EC) 2015/868, BMR ETO dibatasi pada limit kuantifikasi (Limit of Quantification/LOQ) yakni pada rentang 0,01 hingga 0,1 mg/kg, tergantung matriks pangannya. Lebih rinci, definisi ‘residu pestisida’ artikel 3(2)(c) Regulation (EC) 396/2005 menyatakan bahwa residu pestisida terdiri dari bahan aktif, metabolit, atau pun hasil reaksi/degradasinya. Dengan begitu, pengaturan residu ETO di Eropa diatur sebagai “sum of ethylene oxide and 2-chloro ethanol (2-CE), expressed as ethylene oxide”, yang membuat persyaratan BMR ETO di Eropa merupakan penjumlahan dari kadar ETO dan 2-CE (Dikloroetan).
Kanada dan Amerika Serikat mengatur batas maksimal residu ETO dan 2-CE secara terpisah. AS mengatur residu ETO dalam 40.CFR.180.151 dan Kanada mengatur BMR ETO sebagai pestisida dalam Pest Control Products Act. Secara umum ETO diatur dengan batas maksimal 7 mg/kg sedangkan 2-CE sebesar 940 mg/kg. Meski demikian, untuk kehati-hatian Kanada menyampaikan bahwa batasannya ialah 0,1 mg/kg mengacu General Maximum Residue Limit (GMRL) B.15.002(1) Canadian Food and Drug Regulations.
Demikian pula di negara-negara Asia. Korea Selatan dan Jepang sama-sama mengenakan aturan uniform limit sebesar 0,01 mg/kg. Hong Kong sama sekali melarang keberadaan ETO dalam makanan olahan. Hal itu juga berlaku di Taiwan, berdasarkan aturan mereka, Standards for Pesticide Residue Limits in Foods. Kebijakan zero tolerance itu juga berlaku diThailand.
Sementara di Singapura, regulasi hanya mengatur batas maksimal residu ETO pada rempah-rempah dengan batas maksimal 50 mg/kg. Sedangkan di Indonesia, seperti ditegaskan Kepala BPOM Penny K. Lukito dalam pernyataan pers mereka segera setelah merebaknya kasus Taiwan, batasannya sesuai LOQ, yakni pada rentang 0,01 hingga 0,1 mg/kg.
Tetapi menurut sumber INILAH.COM, seorang head of R&D sebuah perusahaan makanan-minuman olahan nasional, persoalannya juga terkait dengan cara pengukuran terhadap ETO. Sumber kami, seorang lulusan Fakultas Teknologi Industri ITB dan alumnus National University of Singapore, yang meminta anonimitas itu mengatakan, pengukuran ETO melalui cara “yang dilaporkan bahan A, yang dijadikan standard bahan B” itu punya persoalan sendiri.
“Dan ini, di Eropa juga sudah dikritik,”kata dia dalam percakapan via aplikasi WhatsÁp. “Jadi, karena Etilen Oksida (ETO) bisa dihitung dari kandungan Dikloro-etana (2-CE), akibatnya regulator mau gampangnya saja. Mereka hanya mengukur Dikloroetana (yang limitnya 85 ppm), terus diklaim kalau mereka menemukan Etilen Oksida (yang limitnya 0,01 ppm).”
Sebuah uraian yang ditulis situs Jerman milik sebuah konsultan independen dan Clinical Research Provider terkemuka di Uni Eropa, Analize and Realize, www.a-r.com, “Ethylene oxide and its reaction product 2-Chloroethanol”, 28 Oktober 2021, menuliskan hal yang juga cenderung menyesalkan pengukuran ETO via 2-CE tersebut.
Pada artikel itu tertulis,”ETO adalah gas yang sangat reaktif, yang menguap dengan cepat dan dianggap genotoksik dan karsinogenik karena strukturnya. Produk konversinya dengan klorida, 2-chloroethanol (2-CE), memiliki sifat kimia yang berbeda dan memiliki potensi toksik yang lebih kecil.”
“Namun, interpretasi temuan analitis bermasalah. Etilen oksida dilaporkan dan dievaluasi sebagai parameter penjumlahan dengan produk reaksinya 2-kloroetanol (2-CE). Akibatnya, tingkat residu maksimum (MRL) yang sama berlaku untuk ETO dan 2-CE.”
Karena Etilen oksida bukan pestisida yang diizinkan di UE dan kemunculan 2-CE dianggap sebagai indikasi penggunaan langsung ETO pada makanan, menurut artikel tersebut, “…temuan 2-CE yang tinggi dapat menyebabkan banyak penarikan produk dan potensi pemborosan makanan yang tidak perlu. Faktanya, banyak penarikan kembali produk yang dilaporkan dalam Rapid Alert System for Food and Feed (portal RASFF) didasarkan pada temuan tingkat 2-CE yang tinggi. Pada saat penulisan, ada lebih dari 650 notifikasi,” menurut artikel tersebut.
Sikap Analize and Realize tersebut sejalan dengan pendapat pakar teknologi pangan dari Universitas Bakrie, Ardiansyah Michwan. Ardiansayh berpendapat, produk yang tidak lolos ketatnya standard di satu negara bukan berarti tidak aman dikonsumsi. “Artinya, standard kita mungkin tidak seketat apa yang berlaku di negara luar, tapi itu masih dalam batas aman,” kata Ardiansyah, BBC News.
Artikel www.a-r.com itu juga menegaskan, bahwa menurut ahli toksikologi, ETO dan 2-CE sebenarnya harus dianggap terpisah.
“Subjek saat ini dibahas di tingkat Komisi Eropa (EC). Ada harapan bahwa penilaian keamanan pada 2-CE akan memberikan data yang cukup untuk membedakan antara penggunaan langsung ETO pada bahan makanan dan kontaminasi bahan yang tidak disengaja oleh kontaminasi silang dari penggunaan ETO lainnya (yang sah). Metode analitik yang lebih baik dan persyaratan realistis pada ETO dan 2-CE dapat membantu mencegah kerusakan ekonomi pada industri serta limbah makanan besar-besaran yang, dari perspektif keamanan, mungkin tidak diperlukan,”kata artikel itu, mengakhiri.
Bukan yang pertama
Sejatinya, temuan ‘tingginya’ kadar ETO dalam makanan olahan Indonesia yang diekspor ke luar negeri ini bukanlah yang pertama. September dan Oktober tahun lalu, badan pengawas makanan di Singapura dan Hong Kong menarik beberapa varian Mie Sedaap setelah juga ditemukan adanya ETO. Badan pengawas di Singapura (SFA) menyebut cemaran ETO ditemukan pada bubuk cabai produk tersebut. Saat itu, di Singapura bahkan terjadi tiga kali penarikan produk dalam sepekan terakhir, sehingga total ada enam produk merek mi instan Mie Sedaap yang ditarik dari pasar.
BPOM saat itu pun bertindak sigap. Bersama Wings Group Indonesia, perusahaan yang membawahi Mie Sedaap, mereka melakukan investigasi terhadap seluruh lini produksi maupun pemasaran Mie Sedaap. Hasilnya, di akhir bulan Oktober tahun itu pun keluarlah Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 229 Tahun 2022 tentang Pedoman Mitigasi Risiko Kesehatan Senyawa Etilen Oksida (Ethylene Oxide), 2,6-Diisopropilnaftalena (2,6- Diisopropylnaftalene), dan 9,10-Antrakinon (9,10-Anthraquinone).
Sisi positifnya, pengalaman tersebut membuat BPOM lebih bijak dalam merespons dan tak mengambil kebijakan tergesa-gesa. Misalnya, sebagaimana Malaysia yang segera menarik produk dari pasar. Satu hal yang menurut Analize and Realize,” Berpotensi pemborosan makanan yang tidak perlu.”
Alih-alih gugup, BPOM bersama Indofood segera melakukan mitigasi risiko guna mencegah berulangnya kasus. Hal itu ditempuh dengan berbagai langkah, antara lain, melakukan audit investigatif sebagai tindak lanjut terhadap hasil pengawasan Otoritas Kesehatan Kota Taipei; industri pun telah melakukan langkah-langkah mitigasi risiko untuk memastikan residu ETO memenuhi ketentuan. “BPOM secara terus-menerus melakukan monitoring dan pengawasan pre dan post-market terhadap sarana dan produk yang beredar, termasuk inspeksi implementasi Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik (CPPOB),”kata Kepala BPOM.
Sayangnya, semua pernyataan BPOM itu kami dapat hanya berdasarkan pernyataan pers yang mereka sebar sekitar pekan lalu. INILAH.Com tak berhasil menggali perkembangan terakhir tindak lanjut BPOM seputar kasus di Taiwan itu.
Reporter INILAH.Com, Reyhaanah, sempat mengunjungi kantor BPOM di Jalan Percetakan Negara, Jakarta Pusat, Jumat (5/5) pagi, sekitar pukul 09.45 WIB. Sayang, kepala BPOM disebutkan tidak berada di tempat.
Reporter kami akhirnya berhasil mengontak Dian Hermawati, salah seorang personel Humas BPOM. Dian meminta reporter kami surat permohonan wawancara resmi, dengan dilampiri daftar pertanyaan. Reporter kami sempat memberikan opsi sekiranya ada pimpinan BPOM lain yang secara kompetensi dan wewenang bisa menjadi pengganti. Dibuka juga kemungkinan untuk berwawancara via telepon serta jalur daring. Namun tampaknya peluang ke arah opsi-opsi lain tersebut tertutup. Namun demikian, beberapa jam kemudian surat fisik permohonan wawancara dari INILAH.COM tersebut bisa terkirim dan diterima pihak BPOM.
Mencegah perulangan
Dengan berbedanya standard tingkat residu maksimum ETO di berbagai negara, tentu saja peluang terjadinya temuan kandungan ‘tinggi’ ETO sangatlah tinggi. Apalagi di negara-negara yang sama sekali tak memberikan toleransi pada ETO, seperti Taiwan, Jepang dan Hong Kong, misalnya.
Untuk itu, sebagai produsen dan eksportir, PT Indofood harus lebih jeli memilih negara tujuan ekspor produk mi instannya, terutama yang terbukti memiliki kadar ETO, serendah apa pun kadarnya. Amannya, ekspor hanya dilakukan pada negara-negara yang masih punya toleransi.
Persoalannya, hal itu tak hanya terlalu ideal, tetapi bahkan mungkin nyaris tyak mungkin. Belum tentu negara-negara yang masih punya toleransi akan ETO, seperti Singapura, AS, Kanada, dll, memang perlu mi instan kita dan mengimpornya.
Yang lebih mungkin adalah seperti yang dikatakan Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi. Menurut Tulus, demi memberikan perlindungan yang lebih tinggi dan optimal pada konsumen dan masyarakat, sebaiknya BPOM meningkatkan standard yang ada. “Bikin zero ETO,”kata Tulus. “Jadi regulasi teknis yang sudah ada, yakni Keputusan Kepala BPOMNo. 229/2022, harus direvisi dan di-up grade. Kebijakan pemerintah Taiwan dan juga Malaysia, seharusnya bisa menjadi contoh.”
Dengan begitu, produsen di Indonesia pun sejatinya akan diuntungkan. Dengan produk yang ta mengandung ETO, ke negara mana pun dengan standard ETO yang beragam, produk mereka bisa masuk dan diekspor. [INILAH.COM]