Kini, tinggal dua sekolah Islam swasta—dari 19 sebelumnya—yang masih beroperasi. Dalam surat yang dikirim ke Al-Azhar, dan dilihat MEE, Inspektorat Sekolah Swedia memberi tahu sekolah, tempat lebih dari 200 siswa terdaftar, bahwa manajemen dianggap “Tidak layak untuk melakukan kegiatan persekolahan setelah dinilai bahwa anak-anak berisiko terkena radikalisasi”.
JERNIH–Dua orang anak-anak Samsam Ahmad, masing-masing berusia delapan dan 12 tahun, kecewa dan susah dihibur. Mereka baru saja mengetahui bahwa sekolah mereka di ibu kota Swedia, Stockholm, ditutup, membuat ibu mereka bingung bagaimana menjelaskan mengapa mereka tidak lagi akan bersama teman-teman sekelas di tahun ajaran baru nanti.
Pada Juli lalu, Ahmad, seperti juga para orang tua Muslim lainnya, diberitahu secara tertulis oleh Inspektorat Sekolah Swedia bahwa sekolah Islam swasta Al-Azhar akan ditutup karena “salah urus”.
“Kami hanya diberi pemberitahuan satu bulan sebelumnya, itu pun tanpa rincian lebih lanjut. Pengajaran Islam merupakan lima persen dari kurikulum sekolah ini,” kata Ahmad kepada Middle East Eye melalui telepon.
Ahmad dan orang tua Muslim lainnya telah mengadakan beberapa protes di luar gedung Kementerian Pendidikan, menentang langkah tersebut. Namun, pemerintah membuta tuli dengan tetap menutup sekolah-sekolah itu. Al-Azhar sekarang termasuk di antara 17 sekolah Islam swasta Swedia yang telah ditutup di seluruh Swedia sejak 2019. Alhasil, hanya tinggal dua sekolah swasta Islam yang masih berjalan.
Dua sekolah Islam itu saat ini melakukan gugatan di pengadilan. “Anak-anak saya menangis berhari-hari ketika saya memberi tahu mereka bahwa sekolah akan ditutup,” kata Ahmad.
“Saat saya tanya kenapa (mereka kesal)? Mereka bilang kangen teman sekelas dan guru mereka. Selama beberapa malam bahkan tidur mereka terganggu.”
Ahmad mengatakan butuh waktu lama baginya untuk mendorong anak-anaknya itu kembali bersemangat untuk sekolah. Persoalannya sekarang, dia khawatir akan masa depan pendidikan Islam mereka. “Saya sekarang terpaksa merogoh kocek dalam-dalam untuk menyewa seorang guru memberikan pelajaran privat studi Islam di rumah karena tidak ada alternatif lain. Biayanya mahal, hampir 200 dolar AS per bulan, yang tidak dapat terus saya penuhi,” katanya.
Sementara sekolah Al-Azhar berjarak dua menit berjalan kaki dari rumah keluarga, Ahmad kini harus menempuh jarak yang cukup jauh untuk mengantar anak-anaknya ke sekolah baru.
Tanpa alternatif
Sekolah Muslim swasta mengajarkan kurikulum nasional Swedia, tetapi juga memberi siswa ajaran Islam, ruang untuk mempraktikkan ritual Islam dan menawarkan makanan halal.
Dalam surat yang dikirim ke Al-Azhar, dan dilihat MEE, Inspektorat Sekolah Swedia memberi tahu sekolah, tempat lebih dari 200 siswa terdaftar, bahwa manajemen dianggap “Tidak layak untuk melakukan kegiatan persekolahan setelah dinilai bahwa anak-anak berisiko terkena radikalisasi”.
Anggota komunitas Muslim Swedia yakin langkah itu hanya berlaku untuk sekolah Muslim swasta. “Jika pemerintah jujur dan masalahnya adalah salah urus, mereka seharusnya tidak menghukum anak-anak dengan membuat pendidikan mereka terlantar, melainkan memberi alternatif lain,” kata Fatma Abdullahi, seorang ibu lain yang anaknya merupakan siswa Al-Azhar, kepada MEE.
“Mereka bahkan punya hak untuk mengganti manajemen dengan yang baru dan membiarkan anak-anak melanjutkan pendidikan mereka, tapi sayangnya itu tidak terjadi.”
Penutupan sekolah Islam, beberapa di antaranya didirikan pada awal 1990-an, telah mempengaruhi hampir 10.000 siswa Muslim yang berasal dari Timur Tengah, Afrika utara dan timur, menurut Burhan Mohamed Ali, anggota Asosiasi Sekolah Islam Swedia.
“Dulu saya percaya bahwa saya tinggal di salah satu negara terbaik, di mana pemerintah bahkan mendanai (sekolah swasta), termasuk menawarkan pelajaran agama,” kata Issaq. “Sekolah-sekolah ini memenuhi kebutuhan anak-anak kami untuk mengajarkan nilai-nilai Islam dan budaya, tetapi sekarang sudah tidak ada lagi.”
Issaq mengatakan bahwa beberapa orang tua telah bertanya kepada pihak berwenang apakah mereka menawarkan opsi alternatif untuk pengajaran Islam, tetapi jawabannya hanya membuat mereka kecewa.
“Kami sekarang telah mengarahkan anak-anak kami ke sekolah-sekolah berkinerja buruk yang tidak menawarkan pelajaran Islam, dan itu membuat anak-anak kami rentan terhadap krisis identitas,” katanya.
‘Bermotif politik’
Pada pertengahan 2022, Swedia mengeluarkan aturan ketat untuk institusi keagamaan. Aturan itu menuai banyak kritik dari Muslim Swedia, dengan banyak yang menggambarkan langkah tersebut sebagai upaya Islamofobia untuk menargetkan komunitas mereka.
Asosiasi Sekolah Islam mengatakan, sejak 2019, otoritas Swedia telah memperkenalkan kebijakan baru yang mengatur bagaimana sekolah swasta harus dijalankan. “Alasan telah dibuat untuk setiap penutupan sekolah,” kata Mohamed Ali kepada MEE.
Misalnya, pada Juli 2021, pihak berwenang menutup sekolah Al-Azhar di Orebro dengan alasan bahwa seorang anggota dewan yang kembali dari perjalanan ke Suriah dapat saja menjadi simpatisan ISIS. Ia dinilai bisa meradikalisasi para siswa, meskipun dirinya tidak memiliki catatan kriminal.
Awal tahun ini, menteri pendidikan Swedia saat itu, Lina Axelsson Kjellblum, mengatakan pada konferensi pers bahwa pemerintah telah memperkenalkan undang-undang yang bertujuan untuk “melarang pendirian apa yang disebut sekolah agama independen”. Tetapi Asosiasi Sekolah Islam berpendapat bahwa keputusan untuk menutup sekolah Islam itu adalah bagian dari “retorika anti-Islam”. Semua tidak didasarkan pada hasil akademik yang buruk atau kekurangan pengajaran lainnya, tetapi memiliki “motif politik”.
Pihak berwenang Swedia telah menolak tuduhan tersebut, dengan mengatakan mereka berhak untuk mengawasi kegiatan sekolah swasta. “Alasan mengapa beberapa sekolah dengan profil Islam ditutup tidak ada hubungannya dengan orientasi sekolah independen. Itu karena pemiliknya tidak mengikuti undang-undang Swedia,” kata Agnes Gidlund, sekretaris pers Inspektorat Sekolah Swedia, kepada MEE. “Inspektorat Sekolah Swedia dapat membuat keputusan untuk menutup sekolah independen ketika ada kekurangan yang tidak dapat diperbaiki oleh mereka yang bertanggung jawab.”
Setelah penutupan, beberapa sekolah terpaksa mengakhiri sewa gedung mereka, sementara yang lain menjualnya.
Menurut pusat penelitian dan studi MENA, penyebaran sekolah Islam di Swedia dimulai pada 1990-an dengan undang-undang yang memungkinkan pembentukan sekolah swasta yang didanai penuh oleh pemerintah. Sejak saat itu, komunitas Muslim, yang merupakan delapan persen dari populasi Swedia, terutama dari Timur Tengah dan Afrika, mendapat manfaat dari undang-undang tersebut, yang memperlakukan sekolah swasta seperti sekolah negeri dalam soal dukungan keuangan.
Beberapa Muslim sekarang percaya bahwa Swedia mungkin bukan lagi tempat yang ideal untuk pendidikan anak-anak mereka. “Akhirnya, saya akan membawa anak-anak saya ke negara di mana mereka bisa dengan senang hati mempelajari ajaran Islam,” kata Samsam Ahmad. [Middle East Eye]