Jernih.co

The Adventures of Huckleberry Finn: Buku Anak di Indonesia, Buku Kontroversial di AS

Pengantar:

Hari ini, 18 Februari, pada 1885, novel petualangan remaja The Adventures of Huckleberry Finn, yang ditulis Mark Twain, terbit. Tentu saja, itu bukan novel petualangan remaja pertama yang diterbitkan di AS. Tetapi, novel itu tak hanya menyebar dan disukai dunia, melainkan menjadi buku yang dianggap karya tulis terbesar di AS. Berkaitan dengan penerbitan pertama novel remaja itu, kami menulis beberapa artikel di Veritas. Selamat membaca.

John Sutherland, profesor emeritus di University College London, melihat hal itu berlebihan. “Huckleberry Finn yang terlarang di sekolah dan perguruan tinggi Amerika karena penggunaan kata ‘negro’, sebenarnya terlalu dibesar-besarkan,”

JAKARTA—Mark Twain, atau nama sejatinya Samuel Langhorne Clemens, boleh saja berwasiat agar otobiografinya tak pernah dibuat hingga 100 tahun setelah dirinya meninggal. Tetapi ia yang berpikir dengan cara zamannya itu tak pernah memprediksi akan ada sebuah instrument bernama Wikipedia yang akan memuat profilnya sepanjang mau si penulis. Alhasil, buku biografi Twain mungkin belum lagi dibuat, namun namanya telah mencuat mendunia tanpa perlu bundelan kertas bernama buku.

Twain bahkan sangat dikenal anak-anak segala zaman, kecuali mungkin anak-anak milenial dan generasi Z, yang konon tak suka membaca. Tak perlu sebuah biografi utuh, karena potongan-potongan cerita hidupnya terlah beredar sebelum 2010, alias 100 tahun kematiannya, dulu.  

Edisi-edisi baru dari buku Twain

Catatan menunjukkan bahwa Twain tak banyak menulis buku. Sejauh ini dua bukulah yang telah membuat namanya mendunia, The Adventures of Tom Sawyer dan Adventures of Huckleberry Finn (yang setelah edisi pertama judulnya diubah menjadi The Adventures of Huckleberry Finn). Novel kedua diakui banyak kalangan sebagai magnum opus dari Twain.  

Meski kemudian diakui sebagai salah satu dari the great American novels, ‘Huck Finn’ pertama kali tidak diterbitkan di AS. Novel itu awalnya diterbitkan di Kanada dan Inggris pada 10 Desember 1884 dan baru terbit di Amerika Serikat pada 18 Februari 1885.

Novel ini kuat dengan deskripsi, yang menceritakan dengan ‘nyata’ apa yang berkembang di sepanjang tepi Sungai Mississippi saat itu. Konon, penggambaran kondisi tepi sungai itu pada masa sebelum perang saudara AS, sudah lenyap bahkan 20 tahun sebelum terbitnya karya Twain tersebut.

Barangkali, dengan caranya sendiri ‘Huck Finn’ punya peran yang sama sebesar Uncle Tom’s Cabin. Buku itu, dengan caranya sendiri, mengulas dan menegaskan sikapnya yang anti-perbudakan. ‘Dengan caranya sendiri’ saya katakan, karena ‘Huck Finn’ pun tak luput dari kritik sebagai ‘rasis’, justru karena penggunaan kata ‘negro’-‘nigger’ yang ada di dalamnya. Sesuatu yang telah diterima buku itu segera setelah ia terbit.

Yang menarik adalah cara Twain menggambarkan petualangan yang dilakukan Huck Fin, bersama teman dekatnya Tom Sawyer dan seorang budak bernama Jim. Bagaimana Huck lari dari ayahnya, seorang pemabuk yang doyan memperlakukan anak sendiri dengan kejam, diterima Nona Watson yang nyinyir, hingga lari dan bertualang bersama Jim, budak Nona Watson.

Secara umum buku ini mengeksplorasi tema ras dan identitas. Cara Twain mengupas kompleksitas karakter Jim, banyak mendapatkan pujian. Namun belakangan, beberapa kritikus—serta orang awam yang belagak kritis laiknya pengguna media social zaman ini, menyerang buku ini sebagai ‘rasis’. Umumnya hal itu karena penggunaan kata ‘negro’, serta penggambaran karakter Jim yang kadang komikal—akibat terlalu percaya takhayul serta ‘kebodohan’ karena kurangnya Pendidikan.

Satu kritik yang tentu tidak adil, karena menghakimi masa lalu saat novel itu ditulis, dengan nilai-nilai yang berlaku di masa kini.

Beberapa akademisi membahas karakter Huck, Jim, serta novel itu sendiri dalam konteks hubungannya dengan budaya Afro-Amerika secara umum. Pada 1990-an, Shelley Fisher Fishkin, penulis ‘Was Huck Black?: Mark Twain dan Afrika-Amerika Voices’, menulis,”..dengan membatasi bidang penyelidikan mereka pada hal-hal pinggiran, para cendekiawan kulit putih “..telah melewatkan cara-cara di mana suara-suara Afrika-Amerika membentuk imajinasi kreatif Twain”. Ia sendiri melihat karakter Huckleberry Finn menggambarkan korelasi, dan bahkan keterkaitan yang erat antara budaya putih dan hitam di AS.

Sebenarnya, hampir saja kisah itu tak Twain tuliskan. Usai menyelesaikan ‘The Adventures of Tom Sawyer’, Twain mulai mengerjakan naskah yang awalnya berjudul ‘Huckleberry Finn’s Autobiography’ itu. Twain yang mengerjakan manuskrip itu terus-menerus selama beberapa tahun, akhirnya meninggalkan rencananya. Ia tampak kehilangan minat pada naskah yang sedang dalam proses itu, dan menyisihkannya selama beberapa tahun. Baru setelah melakukan perjalanan menyusuri Sungai Hudson, Twain kembali ke karyanya itu hingga selesai.

Sebagaimana zaman itu, Twain menuliskan ceritanya dengan pena ke kertas selama 1876 dan 1883. Konon, pada cetakan pertama empat terjadi kehebohan, manakala sebuah ilustrasi di halaman 283 yang dibuat seorang pengukir yang identitasnya tidak pernah ditemukan sebagai tambahan pada pelat cetak Kemble tentang Silas Phelps tua. Tambahan itu menarik perhatian karena dianggap menarik perhatian ke pangkal paha Phelps. Tiga puluh ribu salinan buku telah dicetak sebelum ‘kecabulan’ itu ditemukan. Pelat baru dibuat pada edisi selanjutnya  untuk memperbaiki ilustrasi tersebut.

Buku itu sejak awal dianggap kontroversial. Tentu karena nadanya yang anti-perbudakan di satu sisi, sementara menggunakan istilah-istilah ‘negro’ dan ‘nigger’ di sisi lain. Pada edisi Amerika tahun 1885, beberapa perpustakaan langsung melarangnya ada di rak-rak mereka. Kritik awal berfokus pada apa yang dianggap sebagai ‘kekasaran’. Satu insiden diceritakan di koran the Boston Transcript:

“Komite Perpustakaan Umum Concord (di Masshachausset) memutuskan untuk mengecualikan buku terbaru Mark Twain dari perpustakaan. Salah satu anggota komite mengatakan, meskipun dia tidak ingin menyebutnya tidak bermoral, dia pikir itu sangat kasar. Dia menganggapnya sebagai sampah paling nyata. Perpustakaan dan anggota komite lainnya memiliki pandangan yang sama, menggambarkannya sebagai kasar dan tidak elegan. Buku itu lebih cocok untuk daerah kumuh daripada orang-orang yang cerdas dan terhormat.”

Penulis Louisa May Alcott—pasti hanya sedikit atau bahkan tak ada dari kita yang pernah mendengar nama ini, mengkritik penerbitan buku itu. Ia berkata,” Jika Twain (tidak bisa) memikirkan sesuatu yang lebih baik untuk para pemuda, dia sebaiknya berhenti menulis untuk mereka”.

Twain kemudian berkomentar tentang itu. “Perpustakaan Concord mengutuk Huck sebagai ‘sampah dan hanya cocok untuk daerah kumuh.’ Ini pasti akan membuat kami menjual 25 ribu edisi lagi karena itu.”

Bahkan T.S. Eliot dan Ernest Hemingway pun mengkritiknya meski memujinya pula. Hemingway yang mencela bab-bab terakhir, mengklaim buku itu “sedikit lebih dari sindiran-pertunjukan dan komedi luas”. Padahal di kesempatan lain Hemingway menyatakan,”Semua literatur Amerika modern berasal dari Huck Finn”, selain menyebutnya sebagai “buku terbaik yang pernah kita miliki”.

Menurut Hemingway, buku itu seharusnya berhenti saat Jim diculik. “Jika Anda harus membacanya, Anda harus berhenti di tempat Jim Negro dicuri dari anak-anak lelaki itu.”

Menurut American Library Association, Huckleberry Finn adalah buku kelima yang paling sering ditentang di AS selama 1990-an.

Kontroversi mengenai apakah Huckleberry Finn itu anti-rasis atau justru  rasis kebanyakan karena kata “negro” yang sering digunakan di dalamnya. Di Inggris, buku itu diminta dihapus dari kurikulum bahasa Inggris. Setelah berbagai pertimbangan, akhirnya diputuskan untuk menyimpan novel tersebut pada kurikulum kelas 11.

Pada tahun 2009, seorang guru sekolah menengah negara bagian Washington menyerukan penghapusan novel dari kurikulum sekolah. Sang guru, John Foley, menyerukan untuk mengganti Adventures of Huckleberry Finn dengan novel yang lebih modern. Dalam kolom opini yang ditulis Foley di Seattle Post Intelligencer, ia menyatakan bahwa semua novel yang menggunakan ‘N-word—yakni nigger,negro,  ‘harus ditulis ulang’.  Dia menyatakan bahwa mengajarkan buku itu tidak hanya tidak perlu, tetapi sulit karena bahasa ofensif di dalamnya. “Banyak siswa menjadi tidak nyaman dengan “hanya mendengar kata-N,” kata dia.

Pada 2016, Adventures of Huckleberry Finn bersama ‘To Kill a Mockingbird’—keduanya ‘Great American Novels’, dipindahkan dari rak-rak sekolah umum di Virginia, karena alasan penggunaan cercaan rasial.

Pada edisi 2011 yang diterbitkan NewSouth Books, buku itu menyaring sebanyak mungkin kata ‘negro’, serta menggunakan kata ‘budak’ dan tidak lagi menggunakan istilah ‘Injun’. Alan Gribben, seorajg ahli yang banyak meneliti katrya Tewain, mengatakan, dirinya berharap edisi itu akan lebih ramah untuk digunakan di ruang kelas, daripada melarang karya itu langsung dari daftar bacaan.

John Sutherland, profesor emeritus di University College London, melihat hal itu berlebihan. “Huckleberry Finn yang terlarang di sekolah dan perguruan tinggi Amerika karena penggunaan kata ‘negro’, sebenarnya terlalu dibesar-besarkan,” kata dia. Menurutnya, Twain orang besar. “Dickens menerbitkan 12 novel untuk menjadi (penulis hebat) di Inggris. Twain tak perlu itu untuk menjadikannya ‘bapak fiksi Amerika’.” [ ]

Exit mobile version