Site icon Jernih.co

The New York Times: Sepak Bola, Kematian dan Impunitas Polisi

Anggaran kepolisian nasional telah membengkak menjadi $7,2 miliar. Sebagian besar telah dihabiskan untuk perlengkapan taktis seperti gas air mata, pentungan, dan masker gas. Hak atas foto Ulet Ifansasti/Getty Images

Pengamat kepolisian dari Murdock Universty, Australia, Jacqui Baker, yag meneliti Polri, mengatakan,”Mengapa kita terus dihadapkan dengan impunitas (pembiaran atas kesalahan, red)? Karena tidak ada kepentingan politik untuk benar-benar mewujudkan kepolisian yang profesional.”

JERNIH–Selama bertahun-tahun, puluhan ribu warga Indonesia telah berhadapan dengan kepolisian yang banyak kalangans sebagai  korup, terbiasa menggunakan kekerasan untuk menekan massa dan seolah tidak bertanggung jawab kepada siapa pun.

Di ibu kota, Jakarta, polisi menembak dan membunuh 10 orang saat pengunjuk rasa berkampanye menentang pemilihan kembali Presiden Joko Widodo pada 2019. Tahun berikutnya, petugas memukuli ratusan orang di 15 provinsi dengan tongkat saat mereka memprotes undang-undang baru, UU Cipta Kerja. Dan Ternate, pada April lalu, petugas menembakkan gas air mata ke kerumunan demonstran mahasiswa yang damai, membuat tiga balita yang terpapar langsung sakit.

Dunia melihat sekilas taktik itu pada Sabtu (1/10) lalu, ketika petugas anti huru hara di kota Malang memukuli penggemar sepak bola dengan tongkat dan perisai dan, tanpa peringatan, menyemprotkan gas air mata ke puluhan ribu penonton yang berkerumun di tribun penonton. Metode kepolisian memicu penyerbuan yang berujung pada kematian 125 orang — salah satu bencana terburuk dalam sejarah olahraga.

Para ahli mengatakan tragedi itu mengungkapkan masalah sistemik yang dihadapi polisi, banyak di antaranya kurang terlatih dalam pengendalian massa dan sangat militeristik. Dalam hampir semua kasus, para analis mengatakan, mereka tidak pernah harus menjawab kesalahan langkah yang dilakukan.

“Bagi saya, ini benar-benar fungsi dari kegagalan reformasi kepolisian di Indonesia,” kata Jacqui Baker, ekonom politik di Murdoch University di Perth, Australia, yang mempelajari kepolisian di Indonesia.

Selama lebih dari dua dekade, aktivis HAM dan ombudsman pemerintah telah melakukan penyelidikan atas tindakan polisi Indonesia. Laporan-laporan ini, menurut Ms. Baker, sering sampai ke kepala Kepolisian, tetapi tidak banyak atau tidak berpengaruh sama sekali.

“Mengapa kita terus dihadapkan dengan impunitas (pembiaran atas kesalahan, red)?” kata dia. “Karena tidak ada kepentingan politik untuk benar-benar mewujudkan kepolisian yang profesional.”

Setelah kekerasan pada hari Sabtu, banyak orang Indonesia bicara di Twitter untuk menyerukan agar Kapolri dipecat. Dan, pada Senin malam, hampir 16.000 orang telah menandatangani petisi yang menyerukan polisi untuk berhenti menggunakan gas air mata. Pemerintah bergerak cepat untuk meredam kemarahan publik, menskors kepala polisi kota Malang dan berjanji untuk mengumumkan nama-nama tersangka yang bertanggung jawab atas tragedi itu dalam beberapa hari.

Polisi di Indonesia tidak pernah sehebat atau sekejam ini. Selama tiga dasawarsa pemerintahan Presiden Suharto, militerlah yang dipandang sangat berkuasa. Tetapi setelah kejatuhannya pada tahun 1998, sebagai bagian dari serangkaian reformasi, pemerintah menyerahkan tanggung jawab keamanan internal kepada polisi, memberikan kekuatan yang sangat besar kepada Kepolisian.

Dalam banyak kasus, petugas polisi memiliki keputusan akhir tentang apakah suatu kasus harus dituntut. Menerima suap adalah hal biasa, kata para analis. Dan setiap tuduhan pelanggaran polisi diserahkan sepenuhnya kepada pejabat tinggi untuk diselidiki. Sebagian besar waktu, kelompok hak asasi mengatakan, mereka tidak melakukannya.

Wirya Adiwena, wakil direktur Amnesty International Indonesia, mengatakan “hampir tidak pernah ada” pengadilan atas penggunaan kekuatan polisi yang berlebihan. Kecuali pada 2019, ketika dua mahasiswa tewas di Pulau Sulawesi selama protes.

Jajak pendapat menunjukkan penurunan tajam dalam kepercayaan publik terhadap polisi –turun menjadi 54,2 persen pada Agustus 2022 dari 71,6 persen pada April tahun itu, setelah muncul laporan bahwa seorang jenderal polisi bintang dua telah membunuh bawahannya dan menginstruksikan bawahannya untuk menutupinya.

Kurangnya akuntabilitas polisi bertepatan dengan anggaran yang membengkak. Tahun ini, anggaran kepolisian nasional mencapai $7,2 miliar, lebih dari dua kali lipat dari tahun 2013. Secara pangsa, anggarannya terbesar ketiga di antara semua kementerian pemerintah di negara ini, melebihi jumlah yang diberikan kepada kementerian pendidikan dan kesehatan.

Sebagian besar uang itu telah dihabiskan untuk gas air mata, pentungan, dan masker gas. Andri Prasetiyo, seorang peneliti keuangan dan kebijakan yang telah menganalisis data pengadaan pemerintah selama bertahun-tahun, mengatakan bahwa dalam satu dekade terakhir, Polri telah menghabiskan sekitar $217,3 juta untuk membeli helm, tameng, kendaraan taktis, dan peralatan lain yang dikerahkan selama protes.

Pembelian gas air mata melonjak pada tahun 2017 menjadi $21,7 juta, menurut Andri, setelah Jakarta diguncang oleh serangkaian protes yang melibatkan puluhan ribu orang Indonesia yang menuntut agar Gubernur Jakarta, Ahok, dipenjara karena penodaan agama.

Para ahli kepolisian mengatakan bahwa 2019 adalah titik balik penggunaan gas air mata oleh kepolisian. Pada bulan Mei tahun itu, petugas bentrok dengan demonstran ketika protes atas pemilihan presiden berubah menjadi kekerasan, yang mengakibatkan kematian, beberapa di antaranya melibatkan remaja.

Rivanlee Anandar, wakil koordinator pengawas hak Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), mengatakan bahwa belum ada “tindak lanjut dan penyelidikan” atas kematian tersebut. Dia telah mengunjungi keluarga lima korban dan mengatakan bahwa otopsi dilakukan hanya dalam satu kasus, dan keluarga itu belum mengetahui hasilnya. “Kami belum tahu siapa pelakunya sampai hari ini,” katanya.

Penggunaan gas air mata yang lazim oleh polisi telah melampaui geografi. Saat menghadapi demonstrasi massa, petugas dari Jakarta hingga Kalimantan secara konsisten menggunakan bahan kimia untuk melumpuhkan pengunjuk rasa. Anggaran untuk munisi gas air mata yang sempat turun setelah alokasi tahun 2017 melonjak lagi pada tahun 2020 menjadi 14,8 juta dolar AS, meningkat enam kali lipat dari tahun sebelumnya, kata Andri.

Tahun itu, polisi mengerahkan gas air mata ke kerumunan yang memprotes tindakan virus corona. Kemudian pada tahun 2020, mereka menggunakannya lagi untuk membubarkan massa yang berdemonstrasi menentang undang-undang baru yang memangkas perlindungan bagi pekerja dan lingkungan. Amnesty International Indonesia mengatakan telah mendokumentasikan setidaknya 411 korban kekerasan polisi yang berlebihan di 15 provinsi selama protes tersebut.

“Sekarang hal itu sudah menjadi pola,” kata Sana Jaffrey, direktur Institute for Policy Analysis of Conflict di Jakarta.

Ms. Jaffrey mengatakan bahwa anggaran polisi selama bertahun-tahun telah dialokasikan untuk menangani banyak demonstrasi baru-baru ini, tetapi “hal-hal penting dan pekerjaan akar rumput sehari-hari polisi telah diabaikan.”

Pada bulan Januari tahun ini, Polri menghabiskan hampir $3,3 juta untuk membeli pentungan khusus untuk petugas di Provinsi Jawa Timur, khususnya Malang, menurut Andri.

Untuk mengantisipasi kekerasan dalam pertandingan sepak bola, banyak polisi muncul dengan mengenakan helm, rompi dan tameng, serta bersenjatakan tongkat. Beberapa klub penggemar memiliki komandan yang terlibat dalam pelatihan fisik untuk mempersiapkan pertarungan. Beberapa tim tiba di pertandingan dengan pengangkut personel lapis baja.

Namun, para ahli mengatakan mereka terkejut dengan tanggapan kacau polisi di stadion pada hari Sabtu, mengingat bahwa kekerasan sepak bola biasa terjadi di negara itu–dengan seringnya perkelahian antara penggemar klub saingan–dan bahwa polisi harus memiliki pedoman untuk setiap kerusuhan.

Pada tahun 2018, polisi anti huru hara menembakkan gas air mata di Stadion Kanjuruhan di Malang ketika terjadi kekerasan dalam pertandingan yang melibatkan tim tuan rumah, Arema. Seorang anak laki-laki berusia 16 tahun meninggal beberapa hari kemudian. Tidak ada laporan apakah ada penyelidikan atas kematiannya atau bagaimana polisi menangani kerusuhan itu.

Sekarang, pihak berwenang berencana untuk menyelidiki apa yang salah pada hari Sabtu, ketika ribuan pendukung berkumpul di Malang untuk melihat Arema menjamu Persebaya Surabaya. Setelah Arema mengalami kekalahan mengejutkan, 3-2, beberapa fans berlarian ke lapangan. Polisi kemudian melepaskan gelombang kekerasan dan menembakkan gas air mata, kata saksi mata.

Menteri Koordinator Hukum dan Keamanan mengatakan bahwa petugas yang dicurigai melakukan kekerasan yang salah di stadion akan menghadapi tuntutan pidana.

Pada Minggu (2/10), Kapolres Jatim Irjen Nico Afinta mengatakan polisi telah mengambil tindakan sesuai prosedur. Dia mengatakan bahwa gas air mata telah dikerahkan “karena ada anarki,” dan bahwa penggemar “akan menyerang petugas dan merusak mobil.”

Sebagai tanda bahwa Polres Malang telah berupaya mengantisipasi aksi kekerasan tersebut, pihaknya meminta pihak penyelenggara untuk memundurkan pertandingan menjadi pukul 15.30 WIB. “demi pertimbangan keamanan,” demikian surat yang beredar di dunia maya dan isinya dikonfirmasi oleh Polda Jatim kepada The New York Times. Slot waktu yang lebih awal, menurut pemikiran itu, akan membuat acara lebih ramah keluarga. Namun permintaan polisi itu ditolak. Penyelenggara tidak dapat segera dihubungi untuk memberikan komentar pada hari Senin.

Banyak aktivis HAM mengatakan bahwa untuk meningkatkan taktik penegakan hukum, mereka secara konsisten membuat rekomendasi ini kepada polisi: Jangan langsung ambil gas air mata; jangan mengayunkan tongkat pada orang berdasarkan insting pertama; memahami bagaimana mengendalikan orang banyak; meredakan konflik.

“Prosedur operasi standarnya jangan sampai polisi loncat dari nol ke 100,” kata Wirya, dari Amnesty International Indonesia.

[The New York Times/ Sui-Lee Wee/Dera Menra Sijabat]

Exit mobile version