Vanuatu kerap menggalang dukungan untuk kemerdekaan Papua karena didasari solidaritas ras. Vanuatu dan Papua memiliki kesamaan ras, sebagai sama-sama etnis Melanesia.
JERNIH—Kepulauan Vanuatu, negara berpenduduk 250 ribu yang selama ini terus membantu separatis Papua, terancam tenggelam jika perubahan iklim yang terjadi tidak bisa dihentikan. Negara yang berada di sebelah timur Australia dan dekat dengan Fiji dan Kepulauan Solomon itu memang kerap ‘mengganggu’ Indonesia.
Secara kesejarahan, wilayah Vanuatu pertama kali ditemukan bangsa Spanyol pada 1606. Hingga 1880, negeri itu dijajah Prancis dan Inggris, dan baru merdeka pada 30 Juli 1980.
Negeri seumur jagung itu berwilayah kecil, populasi penduduknya hanya 298 ribu. Sementara luasnya mencapai 12.189 kilometer persegi.
Mirip seperti Indonesia, Vanuatu juga merupakan negara kepulauan. Vanuatu memiliki 80 pulau, di mana ibu kotanya yakni Port Vila—dulu Mau Hau–terletak di Pulau Efate.
Dalam praktiknya, Vanuatu kerap menyinggung isu Papua dan mendukung kemerdekaan Papua karena didasari solidaritas ras. Vanuatu dan Papua memiliki kesamaan ras, sebagai sama-sama etnis Melanesia. Namun di Vanuatu sendiri, terdapat beragam budaya. Mereka bahkan memiliki 139 bahasa yang berbeda.
Kini Vanuatu dikabarkan bakal segera musnah karena perubahan iklim.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) serius menangani perubahan iklim demi melindungi warga negara kepulauan di Pasifik itu dari ancaman kenaikan air laut akibat pemanasan global.
Perdana Menteri Vanuatu Bob Loughman, juga mendesak masyarakat internasional berupaya lebih keras lagi mengatasi krisis perubahan iklim dan memperingatkan “masih banyak negara individualis yang mengabaikan dampaknya.”
“Bagi kami dan negara pulau kecil serta berkembang lainnya ancaman global terbesar yang utama adalah perubahan iklim, pengelolaan lautan kami, dan tentu saja pandemi COVID-19,” kata Loughman dalam pidatonya di Sidang Majelis Umum PBB Ke-76, Minggu (26/9) lalu.
“Karena itu, solusi kita pun harus global. Level usaha dan dukungan saat ini untuk negara berkembang yang rentan dalam mekanisme multilateral tidak cukup,” katanya, sebagaimana disiarkan CNN.
Loughman juga menegaskan kembali bahwa mereka berencana meminta pendapat Mahkamah Keadilan Internasional (ICJ) untuk mempertimbangkan melindungi hak hidup generasi saat ini dan masa depan dari ancaman perubahan iklim. Dalam hal ini, peran ICJ adalah “menyelesaikan perselisihan hukum yang diajukan negara-negara kepada mahkamah tersebut sesuai hukum internasional.”
Dorongan Vanuatu terkait penangan perubahan iklim ini muncul menjelang Pertemuan Tingkat Tinggi (KTT) soal Perubahan Iklim (COP26) di Skotlandia pada November mendatang.
Kelompok advokasi lingkungan Pasific Islands Students Fighting Climate Change menyambut dengan sangat baik pernyataan Loughman tersebut. “Kami sangat gembira bahwa pemerintah Vanuatu telah mengumumkan akan membawa isu perubahan iklim ke Pengadilan Tertinggi Dunia (ICJ),” kata organisasi tersebut melalui unggahan Facebook. [CNN]