Site icon Jernih.co

Wara’, Sikap Terpuji yang Bukan Monopoli Kaum Sufi

Ilustrasi

Diriwayatkan pula bahwa al-Busthami berkata,”Aku sama sekali tidak pernah menampar permukaan air. Aku pernah bilang bahwa sesungguhnya air diciptakan untuk pelaksanaan ketaatan. Bagaimana mungkin aku memperlakukannya dengan kasar? Bila melihat rerumputan hijau, aku selalu berkata, “Rumput-rumput itu sedang memanjatkan pujian kepada Allah padahal mereka tidak pernah melakukan dosa. Bagaimana mungka orang yang berdosa seperti aku menduduki mereka?”

JERNIH—Seorang ulama salaf menyebutkan bahwa hikmah terdiri dari tiga unsur, yakni merasa malu kepada Zat Yang Maha Memiliki Lagi Maha Perkasa, menjaga kehormatan Nabi SAW sebagai manusia pilihan, serta memelihara hak-hak keluarga, keturunan, dan tetangga.

Pendapat lainnya mengatakan, hikmah adalah sikap warak (wara’), yang sering dilekatkan sebagai salah satu sikap para sufi yang terjaga.

Abi Abdullah berkata, “Pangkal wara’ ada empat: menjaga lidah dari menggunjing dan berbohong, menjaga akhlak dari hal yang haram dan syubhat, menjaga kemaluan dari perbuatan nista dan zina, serta menjaga hati dari kedengkian dan permusuhan.”

Dikatakan, “Jangan berbuat sesuatu  yang meragukan, jangan memakan sesuatu yang meragukan, dan jangan berbicara sesuatu yang meragukan!”

Di antara orang yang memiliki sifat warak adalah Abu Yazid al-Busthami. Suatu kali ia hendak menjemur baju yang baru dicucinya di atas dinding rumah milik orang lain, namun ia segera berkata kepada dirinya, “Tidak boleh tanpa izin yang punya dinding ini!”

Ia lalu beralih hendak menjemur bajunya di atas dinding masjid, tetapi ia segera berkata kepada dirinya, “Jangan! Masjid ini dibangun bukan untuk dijadikan jemuran.” Ia kemudian memegang bajunya itu sambil berdiri di bawah terik matahari. Beberapa saat kemudian, ia menyadari bahwa bayangan dirinya dan bajunya mengenai sekelompok orang, sehingga ia khawatir mereka merasa terganggu dengan bayangan dirinya dan bajunya. Ia pun berkata, “Ini tidak boleh.” Akhirnya ia pergi ke padang pasir dan berdiri di sana di bawah terik matahari sampai bajunya kering.

Diriwayatkan pula bahwa al-Busthami berkata,”Aku sama sekali tidak pernah menampar permukaan air. Aku pernah bilang bahwa sesungguhnya air diciptakan untuk pelaksanaan ketaatan. Bagaimana mungkin aku memperlakukannya dengan kasar? Bila melihat rerumputan hijau, aku selalu berkata, “Rumput-rumput itu sedang memanjatkan pujian kepada Allah padahal mereka tidak pernah melakukan dosa. Bagaimana mungka orang yang berdosa seperti aku menduduki mereka?”

Ada yang mengatakan bahwa wara’ adalah tidak melakukan sesuatu yang syubhat dan tidak mengambil rukhshah (keringanan) karena ingin melakukan kewajiban secara sempurna.

Sementara tentang hikmah, beberapa ulama memandang, hikmah adalah hafal Al-Ouran di luar kepala. Diriwayatakan bahwa Ibn Jubayr bercerita, “Aku mendengar Ibn Abtis berkata, “Barang siapa membaca Al-Ouran sebelum masa balig, ia termasuk anak-anak yang diberi hikmah.”

Nabi SAW bersabda, “Orang yang hafal dan mengamalkan Al-Ouran seolah-olah nubuwwah dimasukkan ke dalam dadanya, hanya saja ia tidak menyadarinya.”

Beliau SAW juga bersabda, “Ahli (penghafal dan pengamal) Al-Ouran akan dikumpulkan bersama para malaikat yang mulia.”

Dihikayatkan bahwa seorang wanita lewat di dekat Nabi Isa AS ketika beliau sedang menunjukkan mukjizat. Wanita itu berkata kepada beliau, “Sungguh bahagia rahim yang telah megandungmu dan payudara yang telah menyusuimu.” Mendengar itu, Nabi Isa AS bersabda,“Sungguh bahagia orang yang membaca Al-Ouran dan mengamalkannya.”

Al-Fudhayl ibn Iyadh berkata, “Orang yang mengusung Al-Ouran adalah pengusung panji Islam. Tidak pantas baginya berleha-leha bersama para peleha-leha, bersantai ria bersama para pesantai ria, dan bermain-main bersama para pemain-main. Selain para khalifah, merekalah (para pengusung Al-Ouran) orang-orang yang dibutuhkan.”

Ada juga ulama yang berpendapat, hikmah adalah pemahaman mengenai rahasia-rahasia Al-Ouran, serta berbagai aspek dan beragam makna yang dikandungnya.

Diriwayatakan bahwa “Ali ibn Abi Thalib RA berkata, “Jika saja aku ingin menunjukkan tujuh puluh makna dari tafsir surah al-Fatihah, aku bisa melakukannya.”

Disebutkan bahwa setiap ayat Al-Quran mempunyai tujuh makna, yaitu makna lahir, makna batin, makna isyarat (isyarat), makna perlambang (amadrat), makna lembut (latha’if), makna halus (daqa’iq), dan makna hakikat (haqa’iq).

Makna lahir untuk kalangan awam, makna batin untuk kaum khawashsh (golongan khusus), makna isyarat untuk kalangan khawashsh al-khawashsh (golongan suprakhusus), makna perlambang untuk para wali, makna lembut untuk kaum shiddiqin (para pembenar), makna halus untuk kaum muhibbin (para pencinta Allah SWT), dan makna hakikat untuk para nabi. [  ]

Dari : ‘Ilm Al-Qulub, tulisan Abu Thalib al-Makki (Muhammad bin Ali Ibn ‘Athiyyah al-Harits al-Makki, Maktabah al-Qahirah, Kairo

Exit mobile version