Site icon Jernih.co

1 Januari 1800 VOC Lenyap dari Nusantara

JERNIH — Hari ini, 1 Januari 1800, Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) — perusahaan dagang Hindia Timur — lenyap dari Nusantara, setelah Republik Baataf menyatakan hak ooktroi, atau hak istimewa yang diberikan pemerintah Belanda, kadaluwarsa pada 31 Desember 1799.

Sejenak melihat ke belakang, VOC sebenarnya tidak berkuasa lagi di tanah-tanah koloni dagangnya di Hindia Belanda tahun 1875, ketika Republik Bataaf memutuskan menasionalisasinya. Saat itu utang VOC mencapai 120 juta gulden, dan terus bertambah akibat ketidak-mampuan membayar bunga.

Namun, pengambil-alihan VOC oleh pemerintah Belanda baru terjadi 17 Maret 1798. Seluruh utang VOC menjadi beban pemerintah Belanda, dan assetnya di sekujur Hindia-Belanda dikelola Republik Bataaf.

Sebagai entitas bisnis, VOC masih tetap ada untuk dua tahun lagi karena hak ooktroi-nya diperpanjang dua kali. Selama masa itu, pejabat-pejabat VOC harus menyelesaikan urusan tersisa sampai 31 Desember 1799.

Kejayaan VOC

VOC adalah merger enam perusahaan kecil yang mendapat hak ooktroi — atau hak paten eksklusif untuk berdagang di Asia — dari serikat jenderal. Hak ooktroi itu berlaku sampai 1623, lalu diperpanjang sampai tujuh kali.

VOC dikenang sejarawan bisnis sebagai perusahaan perdagangan terbesar di dunia, dan organsiasi bisnis pertama dengan saham yang dapat diperdagangkan secara bebas.

Pemegang saham VOC terdiri dari 17 orang dan biasa disebut Heeren Zeventien, atau Dewan 17. Mereka adalah perwakilan 17 propinsi di Belanda, dan bermarkas di Amsterdam. Heeren Zeventien menetapkan kebijakan VOC di seluruh koloni dagang, dan mengatur perdagangan di Hindia-Belanda.

Tujuan VOC adalah mendirikan jaringan pabrik di luar negeri, membangun koloni-koloni dagang, dan menguasai sumber komoditas. VOC diijinkan memiliki kapal perang, membuka lima kantor di Middleburg, Enkhuizen, Delft, Hoorn dan Rotterdam, selain Amsterdam.

Tidak ada awal yang mudah. Setelah mengumpulkan 6 juta gulden dari pemegang saham sebagai modal awal, VOC kesulitan meraih keuntungan untuk mempertinggi kepercayaan investor.

Biaya awal yang tinggi, terutama untuk ekspedisi dan mengakhiri dominasi Portugis di Asia, membuat VOC tidak bisa membayar dividen. Tahun 1610, pemegang saham dibayar dengan rempah-rempah.

Setelah 1610 dan sampai 1622, VOC mampu mengembalikan modal rata-rata 10 persen per tahun, jauh lebih rendah dari yang diharapkan. Namun tahun 1623 dividen lebih sering dibayarkan, dengan jumlah lebih tinggi.

Selama abad ke-17, VOC mencapai masa keemasan. Nilai perusahaan membengkak. Harga saham VOC mencapai titik paling tinggi.

Reggie Baay, dalam tulisan di situs decorrespondent.nl berjudul Over deze Nederlandse slavernijgeschiedenis hebben we het nooit, mengatakan VOC menjalankan usaha dagang yang disertai genosida, eksploitasi, penipuan, dan perampokan. Semua ini adalah fakta yang teralalu sedikit ditekankan dan tak dibahas di hampir semua buku pelajaran di Belanda.

Yang juga jarang diketahui publik, masih menurut Reggie Baay, VOC terlibat dalam perdagangan budak besar-besaan. Itu dilakukan sejak awal beroperasi di tahun 1600-an.

Pada dekade pertama permukimannya di Hindia-Belanda, VOC memperbudak puluhan ribu orang. Budak-budak itu dikirim ke pos-pos perdagangan, dan cabang-cabangnya di Kepulauan Indonesia. Di Jakarta, jejak budak VOC ada di Kampung Tugu, Jakarta Utara.

VOC mengambil budak dari Asia; Sri Lanka, Malaysia, Filipina, dan pulau-pulau di Indonesia; Bali, Sulawesi, dan Sumatera, serta menjadi pelanggan pasar budak Afrika Timur. Peneltiian menunjukan selama keberadaannya, VOC mempekerjakan dan memperdagangkan sekitar 600 ribu sampai satu juga budak.

Korupsi

Sejarawan Chris Nierstrasz, dalam disertasi doktoral di Universitas Leiden, membuktikan asumi bahwa VOC bangkrut akibat korupsi karyawannya. Pertanyaannya, sejak kapan korupsi itu dimulai?

Baay menulis sejak awal kegiatan di Asia, penyelundupan telah dilakukan oleh karyawan VOC. Tidak hanya dalam perdagangan rempah-rempah, tapi juga budak.

Alih-alih menghentikan praktek korupsi karyawannya, petinggi VOC justru membuat kebijakan yang membiarkan karyawan melakukan perdagangan budak ilegal. Alasannya, semua itu terjadi akibat kondisi kerja.

Bahkan, ini yang sangat menarik, karyawan menyelundup budak dan komoditas lain dengan menggunakan kapal VOC. Nierstrasz mengatakan karyawan VOC melakukan semua itu sebagai penolakan atas monopoli yang diberlakukan perusahaan.

Penelitian terhadap arsip-arsip pribadi anggota VOC menunjukan karyawan, yang makan gaji dari perusahaan, lebih suka menjalankan bisnisnya sendiri. Tidak aneh jika keuangan VOC terus merosot tapi hampir seluruh karyawan level atas dan menengah kaya raya.

Selama abad ke-18, administrator VOC berhenti menerbitkan saham baru agar tidak terlalu banyak mencairkan modal kerja. VOC mengalami kesulitan pembiayaan dan rajin mencari sumber pembiayaan. Anehnya, sumber pembiayaan itu berasal dari karyawan mereka sendiri.

Yang terjadi adalah VOC membeli barang dagangan dari karyawan mereka di Asia, dijual di Eropa dengan untung besar. Karyawan mendapatkan kembali investasi mereka dengan bunga.

Dalam situasi ‘tersandera’ karyawannya, VOC menghadapi bencana mematikan, yaitu Perang Inggris-Belanda Keempat (1780-1784). Inggris menghentikan perdagangan Belanda antara Eropa dan Asia, dan mengambil banyak pos dagang VOC.

Kapal-kapal VOC, dengan banyak barang dagangan, dibajak Inggris. Kerugian ditaksir mencapai 60 juta gulden selama periode perang itu. VOC harus berutang untuk mempertahankan hidup.

Usai perang, dengan beban utang 60 juta gulden, VOC terseok-seok. Tidak ingin menambah utang, petinggi VOC kembali menggunakan duit karyawan untuk menjalankan operasi perdagangan.

Entah sampai kapan keadaan itu berlangsung. Yang pasti, karyawan menjauh dari VOC sebagai penolakan untuk berinvestasi. VOC sekarat finansial, dan tercatat sebagai perusahaan yang dibangkrutkan oleh tindakan korupsi karyawannya.

Exit mobile version