Pembeloan senjata itu seharusnya tidak mengejutkan Beijing. Presiden Taiwan Tsai Ing-wen menjadikan penguatan pertahanan Taiwan sebagai janji kampanye utama dalam kampanye pemilihan ulang pada awal tahun ini
JERNIH—Pekan lalu, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menyetujui penjualan senjata kedua ke Taiwan. Kesepakatan untuk mengirim 400 rudal jelajah anti-kapal bernilai 2,37 miliar dolar AS itu menyusul penjualan tiga sistem senjata dalam kesepakatan terpisah senilai 1,8 miliar dolar AS. Menurut The National Interest, ini adalah penjualan senjata kesembilan yang disetujui Washington ke Taipei, sejak Presiden Donald Trump terpilih pada 2016.
Selain 400 rudal Boeing Harpoon Block II, kesepakatan itu juga mencakup 100 Harpoon Coastal Defense Systems dan rudal latihan, truk radar, dan peralatan uji, bersama dengan bantuan teknis AS. “Penjualan yang diusulkan melayani kepentingan nasional, ekonomi, dan keamanan AS, dengan mendukung upaya berkelanjutan penerima untuk memodernisasi angkatan bersenjatanya, dan untuk mempertahankan kemampuan pertahanan yang kredibel,” ujar Departemen Luar Negeri AS, yang menyetujui penjualan ke Taiwan tersebut.
Ini telah menjadi masalah sensitif sejak Amerika Serikat mengalihkan pengakuannya dari Republik Cina di Taipei ke Republik Rakyat Cina di Beijing pada 1979.
Harpoon, yang dikembangkan pada medio 1970-an, menawarkan jangkauan hanya 67 mil laut, yang dapat mencakup sebagian besar Selat Taiwan namun tidak menyerang sasaran di daratan China. Itu pada dasarnya menjadikannya senjata pertahanan, jika Tentara Pembebasan Rakyat Cina (PLA) melakukan invasi lintas selat. Dalam kapasitas demikian, menurut The National Interest, hal itu dapat membatasi peningkatan krisis.
Namun, Undang-Undang Hubungan Taiwan mengizinkan Amerika Serikat untuk memberikan senjata pertahanan kepada Taiwan agar dapat mempertahankan diri dari paksaan dan ancaman. Kesepakatan baru tersebut dapat membantu memastikan bahwa Taipei dapat secara memadai melindungi Selat Taiwan, yang hanya berjarak sekitar 100 mil laut pada titik terlebar dan hanya 70 mil laut pada titik tersempitnya.
Departemen Luar Negeri AS telah menyetujui Penjualan Militer Asing (FMS) pada awal Oktober, dan mengirimkannya secara elektronik ke Kongres dari Badan Kerja Sama Keamanan Pertahanan Pentagon.
Kesepakatan itu termasuk sebelas peluncur roket berbasis truk Lockheed Martin High Mobility Rocket System (HIMRARS), dengan perkiraan 436,1 juta dolar AS; 135 AGM-84H Standoff Land Attack Missile Expanded Response Missiles, bersama dengan peralatan terkait yang dipasok oleh Boeing Co, dengan harga sekitar 1,008 miliar dolar AS itu adalah rudal yang dikendalikan dari jarak jauh yang dapat diarahkan ke target lain setelah diluncurkan, jika target aslinya telah dihancurkan atau tidak lagi dianggap berbahaya; dan enam pod sensor eksternal MS-110 Recce yang dibuat oleh Collins Aerospace untuk jet, dengan perkiraan biaya 367,2 juta dolar AS.
Menanggapi kesepakatan itu, Beijing mengatakan akan menjatuhkan sanksi terhadap Boeing, Lockheed Martin, dan Raytheon karena menawarkan senjata ke Taiwan dalam upaya untuk “menegakkan kepentingan nasional”.
Namun, penjualan baru-baru ini seharusnya tidak mengejutkan Beijing. Presiden Taiwan Tsai Ing-wen menjadikan penguatan pertahanan Taiwan sebagai janji kampanye utama dalam kampanye pemilihan ulang pada awal tahun ini, dan anggaran pertahanan untuk tahun fiskal 2021 (FY21) telah ditingkatkan lebih dari 20 persen. Anggaran tersebut menyumbang 2,36 persen dari PDB negara pulau itu, tulis The News Lens, media Taipei.
“Kami telah berusaha sangat keras dan melakukan banyak upaya untuk memperkuat kemampuan kami,”ujar Tsai kepada BBC dalam sebuah wawancara setelah memenangkan masa jabatan kedua dengan telak. “Menyerang Taiwan adalah sesuatu yang akan sangat merugikan Cina,” kata dia, sebagaimana pula dikutip The National Interest. [ The National Interest]