“Bentuk intimidasi termasuk pencurian kredensial akun media sosial, intimidasi digital, kriminalisasi dan ancaman kekerasan fisik. Penerapan sewenang-wenang atas Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menjadi salah satu ancaman terbesar kebebasan berekspresi..”
JERNIH—Indonesia, dalam pandangan Amnesty International, saat ini dinilai tengah mengalami krisis HAM. Sejumlah kasus terkait kebebasan berpendapat dan berekspresi terhadap aktivis hingga jurnalis dipermasalahkan baik melalui pidana ataupun di luar proses hukum.
Apa yang membuat pelanggaran HAM lebih banyak terjadi di tahun 2020? Di bawah ini media Jerman Deutsche Welle mewawancarai Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, sehubungan dengan Hari HAM dan kondisi HAM terkini di Tanah Air.
Apa catatan Anda terkait penegakan HAM tahun ini?
Sepanjang tahun 2020, Amnesty International Indonesia melakukan pemantauan terhadap situasi hak asasi manusia yang terjadi di Indonesia dan menemukan bahwa pendekatan keamanan yang berlebihan dalam merespon pandemi COVID-19, pemaksaan agenda sektor ekonomi dan serangkaian kebijakan publik lainnya berdampak negatif pada hak-hak asasi manusia.
Pandemi COVID-19 telah menjadi hantaman bagi semua orang tanpa terkecuali. Seharusnya, negara tidak menambah penderitaan rakyat dengan melakukan pembatasan kebebasan individual warga maupun akses warga atas keadilan sosial, apalagi memfasilitasi kekerasan aparat.
Selain itu, terjadi banyak intimidasi kepada mahasiswa, akademisi, jurnalis dan aktivis yang mengkritik pemerintah atau mengangkat isu-isu politik yang sensitif seperti pelanggaran HAM di Papua. Bentuk intimidasi termasuk pencurian kredensial akun media sosial, intimidasi digital, kriminalisasi dan ancaman kekerasan fisik. Penerapan sewenang-wenang atas Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menjadi salah satu ancaman terbesar kebebasan berekspresi.
Bagaimana Amnesty menyoroti hak-hak tenaga kesehatan?
Sejak awal pandemi COVID-19 di Indonesia pada bulan Maret, hak-hak tenaga kesehatan yang menjadi garda terdepan melawan pandemi banyak yang terabaikan. Pemerintah lebih menonjolkan pendekatan keamanan, kurang memperhatikan suara-suara para ilmuwan dan penelitian ilmiah. Akibatnya, penanganan pandemi menjadi sangat bermasalah.
Para tenaga kesehatan harus menghadapi banyak sekali tantangan mulai dari kekurangan alat pelindung diri (APD), kesulitan mendapatkan tes swab, kekerasan dan stigma dari masyarakat, tidak terkecuali pengurangan upah dan pemberhentian.
Per 7 Desember 2020, setidaknya terdapat 339 tenaga kesehatan di Indonesia yang telah meninggal akibat COVID-19, yang terdiri atas 185 dokter dan 154 perawat atau tenaga kesehatan lainnya. Pandemi tidak hanya membawa pelanggaran hak-hak tenaga kesehatan; orang-orang yang mengkritik penanganan pandemi COVID-19 juga banyak mengalami intimidasi dan kriminalisasi.
Menurut pemantauan Amnesty, setidaknya ada 49 kasus dengan 57 orang dijadikan tersangka karena dituduh menyebarkan berita bohong dan menghina pejabat pemerintah terkait COVID-19 sepanjang 2020.
Meski di tengah pandemi, seperti apa peningkatan kasus pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi?
Ancaman terhadap kebebasan berekspresi tidak hanya terjadi terkait pandemi COVID-19. Tetapi juga terkait kebijakan pemerintah yang mengatasnamakan pembangunan ekonomi, yang paling menonjol adalah kebijakan pemerintah memaksakan pemberlakuan Undang-Undang Cipta Kerja.
Sepanjang 2020, banyak aktivis, jurnalis, akademisi, mahasiswa dan masyarakat yang mengalami pembungkaman, intimidasi, dan kriminalisasi saat menggunakan haknya untuk mengungkapkan pendapatnya secara damai. Amnesty mencatat, setidaknya terdapat 101 kasus pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi dengan menggunakan UU ITE sepanjang 2020, jumlah terbanyak dalam enam tahun terakhir.
Setidaknya ada 60 kasus serangan dan intimidasi digital yang dialami organisasi, aktivis, jurnalis dan akademisi per 30 November 2020. Angka tersebut termasuk serangan digital, ancaman dari kriminalisasi, termasuk terhadap jurnalis. Aliansi Jurnalis Independen mencatat setidaknya ada 56 kasus kekerasan terhadap jurnalis yang mendokumentasikan protes penolakan terhadap UU Cipta Kerja antara tanggal 7 dan 21 Oktober 2020.
Selain yang terjadi saat aksi penolakan UU Cipta Kerja, Amnesty juga mencatat ada setidaknya 83 kasus penangkapan sewenang-wenang dan penyiksaan yang dilakukan oleh polisi sepanjang 2020.
Apa yang dimaksud dengan tahun 2020 adalah tahun degenderisasi?
Pada Juli lalu, Komnas Perempuan merilis temuan adanya peningkatan 75 persen dalam laporan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan selama pandemi. Tapi pada bulan yang sama, DPR menghapus RUU Pemberantasan Kekerasan Seksual dari daftar prioritas.
Sebaliknya, beberapa dari mereka mendukung RUU Ketahanan Keluarga yang atas nama dalih menumbuhkan “pembangunan berbasis keluarga” justru hendak mendomestikan perempuan dengan mendefinisikan peran istri untuk “mengurus hal-hal terkait rumah tangga” dan “memperlakukan suami dan anak dengan baik.”
Kelompok media feminis dan individu diserang, didoxing dan dilecehkan oleh orang-orang tak dikenal yang mengiriminya gambar porno dan pernyataan merendahkan.
Seorang perempuan pembela HAM, Veronica Koman, dikriminalisasi, paspornya dicabut, didaftar-hitamkan, dan pada Agustus, diminta untuk mengembalikan uang beasiswa untuk studi gelar masternya oleh Endowment Fund for Education (LPDP). Padahal, selama dua tahun terakhir, ia menghadapi pelecehan, intimidasi, dan ancaman rasis, termasuk ancaman kematian dan pemerkosaan dan tinggal di pengasingan di Australia.
Sejauh ini bagaimana Anda melihat kesadaran bangsa soal penegakan HAM?
Amnesty mencatat beberapa peluang yang positif. Meskipun pemerintah telah dapat memblokir Internet di Papua, Pengadilan yang Independen telah menyatakan tindakan oleh pemerintah adalah melawan hukum. Meskipun Jaksa Agung menyatakan bahwa kasus penembakan brutal di Semanggi I 1998 dan Semanggi II 1999 bukan sebagai pelanggaran HAM berat, Pengadilan Tata Usaha Negara menyatakan pernyataan Jaksa Agung telah bertentangan dengan hukum.
Lebih jauh, meskipun ruang kewargaan menyempit karena penanganan pandemi maupun karena menguatnya pendekatan keamanan demi pembangunan ekonomi, terlihat tumbuh resistensi yang meluas di kalangan serikat buruh, mahasiswa dan pelajar.
Apa pesan yang ingin Anda sampaikan pada Peringatan Hari HAM Internasional?
Perlu diingat bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak yang dilindungi oleh konstitusi UUD Negara Republik Indonesia 1945. Karena itu hak asasi manusia harus menjadi fokus utama dalam seluruh tindakan pencegahan, persiapan, penanggulangan, dan langkah-langkah penanganan pandemi COVID-19, demi melindungi kesehatan masyarakat dan membantu kelompok yang memiliki risiko lebih tinggi.
Pemerintah Indonesia harus serius menjamin perlindungan HAM yang situasinya memburuk selama beberapa tahun terakhir, serta mengevaluasi pendekatan kebijakan yang hanya mementingkan stabilitas keamanan dan ekonomi di atas kewajiban konstitusional untuk melindungi hak asasi manusia.
Tahun 2021 akan sangat berat. Kami berharap bahwa di tahun 2021, pemerintah, parlemen, dan aparat penegak hukum membuka lembaran baru hak asasi manusia dengan mengevaluasi pendekatan-pendekatan keamanan dan ekonomi yang mengesampingkan hak asasi manusia. [ Deutsche Welle]
Wawancara DW Indonesa dilakukan Hani Anggraini