JAKARTA – Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak yang digelar 2020, membuka peluang bagi mantan koruptor. Sebab dalam Peraturan KPU Nomor 18 tahun 2019 tak dijelaskan terkait larangan eks napi koruptor.
Sebab pada Pasal 4 tentang persyaratan calon, di huruf h, menyebut hanya dua mantan narapidana yang dilarang ikut Pilkada, yakni bandar narkoba dan kejahatan seksual pada anak.
Jika sebagian partai politik belum memastikan tak bakal mengusung eks koruptor, tapi tidak bagi partai baru, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dengan tegas tak bakal mengusung mantan koruptor di Pilkada 2020.
“PSI dipastikan tidak akan mencalonkan mantan napi korupsi,” kata Sekjen PSI, Raja Juli Antoni di Jakarta, Selasa (10/12/2019).
“Saya heran bagaimana UU Pilkada dan PKPU disusun mengizinkan mantan napi korupsi maju sebagai calon. Seperti di negeri ini tidak ada lagi ada stok orang baik lagi aja,” Antoni menambahkan.
Untuk mempersiapkan kandidat kepala daerah yang bakal bertarung di Pilkada 2020, pihaknya bakal menggelar konvensi terbuka. Nantinya, masyarakat dapat melihat komitmen calon kepala daerah yang diuji oleh aktivis antikorupsi dan juri independen.
Sebelumnya, KPU mengusulkan agar eks koruptor tak bisa diikutsertakan dalam Pilkada 2020, namun karena perdebatan panjang, maka KPU ‘mengalah’ dan mengizinkan mantan koruptor maju di Pilkada.
Maka pada 2 Desember 2019, ditetapkanlah PKPU Nomor 18 tahun 2019 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Dan/Atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota.
Walau mengizinkan maju, namun KPU menambahkan satu pasal yakni Pasal 3A angka 4 yang didalamnya mengimbau parpol untuk tidak mencalonkan eks napi korupsi.
Sekadar diketahui, ada alasan kuat mengapa KPU melarang mantan koruptor maju di Pilkada 2020. Hal itu setelah melihat studi kasus yang terjadi di Tulungagung dan Kudus. Dimana Bupati Kudus berinisial MT, kembali tertangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT)pada Juli 2019 lalu. Itu kali kedua pada kasus korupsi.
“Kasus Kudus, orang yang sudah mantan napi koruptor kemudian terpilih dan tertangkap lagi,” ujar Komisioner KPU, Evi Novida Ginting Manik di Jakarta, Senin (25/11/2019).
Jika tak ada larangan yang mengatur, kata Evi, bisa jadi para eks koruptor itu terpilih kembali dan melakukan perbuatan yang sama. Sehingga pihaknya, mencoba memberikan pilihan-pilihan lain kepada pemilih, yakni para kandidat yang bebas dari rekam jejak buruk.
“Kita mencoba memberikan pilihan yang baik, bukan mereka yang melakukan pelecehan seksual pada anak, bandar narkoba, dan mantan koruptor,” katanya.
Oleh karena itu, diharapkan calon yang terpilih merupakan pemimpin baik, bermoral, dan tidak berperilaku korup. “Di tangan mereka (kepala daerah) lah kunci pelayanan publik,” ujar dia.
Namun berbeda dengan Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian. Menurutnya, usulan KPU yang melarang eks koruptor maju Pilkada sebagai konsep kuno. Sebab saat ini Indonesia mulai beralih ke konsep restorative justice, yakni dari pemidanaan dengan teori pembalasan menjadi rehabilitasi.
“Terserah rakyat mau pakai konsep mana. Kalau memilih pembalasan, ya balas aja, termasuk dia enggak boleh ngapa-ngapain. Berarti kita kembali ke teori kuno,” katanya beberapa waktu lalu.
Pada awal November 2019, Ketua KPU, Arief Budiman, mengusulkan larangan eks koruptor mencalonkan diri di Pilkada serentak. Alasannya, KPU berkeinginan menghasilkan pemimpin yang terbaik untuk masyarakat.
Karena itu, aturan tersebut masuk dalam PKPU tentang Pencalonan dalam Pemilihan Kepala Daerah 2020 nantinya. Meski demikian, agar peraturan tersebut tak digugat, maka meminta DPR merevisi terlebih dahulu.
“Semua pihak kalau saya lihat komentarnya, sepanjang ini diatur di dalam undang-undang maka bisa diterima,” kata Arief.
Pada 2020 nanti, sebanyak 270 daerah yang terdiri dari sembilan Provinsi, 37 Kota dan 224 Kabupaten bakal menggelar Pilkada. [Fan]