Site icon Jernih.co

BNPT: Akar Radikalisme, Ideologi yang Menyimpang

“Radikalisme dan terorisme atas nama agama adalah fitnah bagi agama. Sehingga kalau mengatasnamakan Islam maka itu hakikatnya fitnah bagi Islam”

JAKARTA – Akar radikalisme adalah ideologi yang menyimpang, sedangkan faktor ekonomi hanya pendorong. Karena itu, harus ada imunisasi dan vaksinasi ideologi yang bisa dilakukan pada masyarakat luas.

”Ini pentingnya Nadhlatul Utama (NU) sebagai ormas untuk melindungi masyarakat awam. Mereka (kelompok teror) ini selau memanfaatkan celah antara agama dengan nilai kebangsaan atau nasionalisme atau Pancasila,” ujar Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Brigjen Pol Ahmad Nurwahid dalam diskusi online yang digelar Ashor pada Minggu (27/9/2020).

Ia menambahkan, semua gerakan aktivitas agama yang bertentangan dengan empat konsensus nasional—yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI— maka itu sudah bisa disebut gerakan radikalisme dan jika sudah beraksi bisa disebut terorisme.

Namun Nurwahid meneruskan jika radikalisme dan terorisme bukan monopoli satu agama. Hal ini ada di seluruh agama dan kelompok. Bahkan potensi ini ada dalam setiap individu manusia.

“Radikalisme dan terorisme atas nama agama adalah fitnah bagi agama. Sehingga kalau mengatasnamakan Islam maka itu hakikatnya fitnah bagi Islam,” kata dia.

“Ini karena mereka memecah belah Islam dan menyebarkan ketakutan. Radikalisme yang mengatasnamakan Islam malah menyimpang dari tujuan Islam yang rahmatan lil alamin. Di negara lain, seperti New Zealand, pelaku radikalnya malah membunuh (orang Islam) yang sedang salat Jumatan,” Nurwahid menambahkan.

Hal lain yang digarisbawahi adalah semua teroris pasti radikal, tapi tidak semua radikal pasti teroris. Misalnya berdasarkan hasil analisis surveillance dan intelejen sudah punya senjata api, bom, atau iddad (latihan paramiliter) yang mengindikasikan kuat akan melakukan aksi teror, maka itu baru bisa dilakukan tindakan (penangkapan) atau preventif strike.

“Dulu di masa Orde Baru kita punya UU Anti Subversif tapi pasca Orde Baru ini dihilangkan. Inilah yang jadi problem bangsa. Berbicara radikal terorisme tidak bisa secara parsial tapi harus holistik dari hulu dan hilir,” katanya.

Exit mobile version