Site icon Jernih.co

Chappy Hakim : Pesawat Terbang Kita Dilarang Masuk Pekarangannya Sendiri

Sementara itu, Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Fadjar Prasetyo, pada 28 Januari lalu mengatakan, perjanjian FIR yang baru saja ditandatangani antara Indonesia dan Singapura, bakal membuat pesawat tempur milik republik ini tak perlu minta izin lagi kepada tetangga itu jika melintas atau mendarat di wilayah Kepulauan Riau dan sekitarnya.

JERNIH-Mantan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal (Purn) Chappy Hakim menilai, persoalan Flight Information Region (FIR) menjadi masalah yang lebih penting ketimbang pengadaan jet tempur Rafale asal Perancis. Sebab wilayah udara itu, sangat beririsan dengan kawasan rawan konflik di Laut Cina Selatan.

Dalam diskusi virtual “Menyongsong Pesawat Rafale” pada Kamis (17/2) kemarin, Chappy menilai kalau dalam menyikapi konflik di Laut Cina Selatan, Indonesia harus lebih menggencarkan pengamanan pertahanan guna mempertahankan kedaulatan negara.

Soalnya, akibat persoalan FIR tersebut, ketika pesawat milik TNI AU akan menjalankan patroli udara di Perairan Natuna dan Riau, harus menunggu dengan sabar hingga Singapura memberikan izin terbang.

“Jangankan terbang. Untuk menghidupkan mesin saja kita harus minta izin dari Singapura. Melakukan patroli perbatasan negara yang rawan, harus memperoleh izin terlebih dahulu dari Singapura,” kata Chappy dalam sebuah tulisan berjudul “Untuk Mereka Yang Menganggap FIR Tak Ada Hubungan Dengan Kedaulatan” di Kompas.com, pada 30 Januari 2022 lalu.

Tentu, ini menjadi permasalahan tersendiri sebab militer negeri ini harus permisi dulu kepada SIngapura untuk mengatur penjagaan wilayahnya sendiri. Belum lagi, negeri singa itu menetapkan kawasan FIR sebagai ‘Danger Area’ sehingga baik pesawat sipil maupun militer, dilarang terbang di daerah itu.

“Apa pula namanya ini, pesawat terbang kita dilarang masuk sebuah kawasan di pekarangannya sendiri oleh negara tetangga,” kata Chappy geram.

Makanya, Chappy mengatakan, jangan pernah menganggap persoalan FIR yang sebagian masih dalam pengelolaan Singapura, tak ada kaitannya dengan isyu kedaulatan. Apalagi, FIR itu sering kali menyebabkan pelanggaran di wilayah udara yang terekam di radar Konaudnas sebagai akibat dari diizinkannya penerbangan Singapura masuk ke wilayah Indonesia tanpa izin.

Dari sini jelas, komitmen pemerintah terkait pengambil alihan FIR secara keseluruhan harus betul-betul diwujudkan. Sebab di halaman rumah sendiri, bergerak saja kudu minta izin ke tetangga yang rumahnya jauh lebih kecil.

Sementara itu, Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Fadjar Prasetyo, pada 28 Januari lalu mengatakan, perjanjian FIR yang baru saja ditandatangani antara Indonesia dan Singapura, bakal membuat pesawat tempur milik republik ini tak perlu minta izin lagi kepada tetangga itu jika melintas atau mendarat di wilayah Kepulauan Riau dan sekitarnya.

“Tidak (tak perlu izin ke Singapura) sekarang dikontrol Jakarta,” kata dia pasca meresmikan satuan baru Komando Operasi Udara Nasional di Halim Perdanakusuma, Jakarta.[]

Exit mobile version