Site icon Jernih.co

Dari Pinggiran Paris, Sejarah Kekejaman Belanda di Bali Terungkap

Tentara Belanda dan KNIL mendarat di Pantai Sanur, Bali, 2 Maret 1946. Sejarah Kekejaman Belanda di Bali Part II dimulai dari sini. Foto: bndestem.nl

JERNIH — Tahun 2014, jurnalis dan sejarawan Anne Lot Hoek mengunjungi Charles Destrée di kediamannya di dekat Paris, Prancis. Dari sini, sejarah kekejaman Belanda di Bali terungkap.

Destrée adalah mantan prajurit Belanda yang bertugas di Bali selama Perang Dekolonisasi, atau Perang Kemerdekaan Indonesia. Ia telah sepuh, frustrasi, dan merasa dibuang serta diabaikan pemerintah Belanda.

Kepada Lot Hoek, Destrée menunjukan album foto yang menguning dimakan usia. Di dalam album terdapat tas kecil berisi tujuh foto lama. Destrée membuka tas kecil itu dan mengeluarkan isinya.

Dalam satu foto hitam putih, mayat-mayat tergeletak berbaris. Penduduk lokal berkerumun menyaksikannya. Ada tulisan tangan di belakang foto; Bali: represailles (Bali, pembalasan).

Baca Juga:
Sejarah Kebrutalan Belanda di Bali: Menghancurkan Perlawanan di Kamp Penyiksaan

Foto lain menunjukan wajah seorang laki-laki yang hancur, dengan keterangan; “Peluru bodoh menyebabkan kerusakan pada wajah.”

“Ini adalah foto-foto mengerikan yang tidak sesuai dengan citra saya tentang Bali,” kata Lot Hoek kepada Destrée.

Veteran KNIL itu tak segera menjawab. Ia terdiam seraya melihat foto-foto yang dimakan usia. Akhirnya, Destrée merespon; “Saya ingin menceritakan kisahnya.”

Dari sini, Lot Hoek memulai penelitiannya tentang sejarah kekejaman Belanda di Bali.

Bali dan Ide Kolonial

Belanda kali pertama menyerbu Bali tahun 1846, dan menggunakan semua bentuk kekerasan untuk mengakhiri perlawanan raja-raja di pulau itu. Tahun 1908, Belanda relatif menguasai seluruh Bali dan Pax Netherlandica tercipta.

Selama penaklukan Bali, cerita tentang perang di Pulau Dewata nyaris tak terdenga di telinga orang-orang di Belanda dan dunia. Terdapat kesan, Belanda memasuki Bali dengan damai, alias tanpa darah.

Dari sini, Belanda membangun citra Bali yang cinta damai ke luar negeri. Bali dipromosikan sebagai surga turis, yang membuat Walt Disney dan Charlie Chaplin tergiur dan datang. Industri pariwisata menjadi kedok imperialisme.

“Bali adalah etalase Hindia-Belanda, memiliki daya pikat internasional,” kata Lot Hoek kepada bndestem.nl

Seratus tahun kemudian, tepatnya 2 Maret 1946, Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) mendarat di Pantai Sanur. Mesin propaganda kembali bekerja dan nyaris tanpa hambatan.

Salah satu mesin propaganda itu adalah Het Vrij Volk, surat kabar sosial-demokrat di Belanda, yang menulis tentang pemandangan damai sempurna ketika pasukan Belanda mendarat di Pantai Sanur untuk memulihkan kekuasaan.

“Ini adalah niat saya menduduki Bali tanpa satu tembakan,” kata Frits Ter Meulen, komandan pasukan pendarat, kepada anak buahnya.

Penelitian Lot Hoek membuktikan sebaliknya, setelah pendaratan 2 Maret 1946, ribuan orang Bali diasingkan, disiksa, dan dieksekusi. Laporan resmi menyebutkan mereka ditembak karena melarikan diri.

Lot Hoek juga menemukan tempat penyiksaan tidak hanya tangsi, tapi juga sekolah dan kantor polisi. Perang Kemerdekaan di Bali, menurut Lot Hoek, benar-benar terlindung dari dunia luar. Tidak ada jurnalis kritis di Bali saat itu. Yang ada adalah wartawan bermental kolonial.

Politik Adu Domba

Anak Agung Gde Jaya, mantan pejuang perlawanan yang selamat dari kamp penyiksaan, mengatakan tahanan dipukul dengan cambuk dan potongan kayu. Tangan para tahanan dicap dengan korek menyala. Terdapat kesan Belanda ingin semua tahanan mati perlahan.

Belanda memanfaatkan pangeran lokal berpihak utuk melakukan pengejaran terhadap pejuang dan menjalankan kamp penyiksaan. “Mereka menggunakan orang Bali, dengan memberi uang dan kekuasaan, untuk menindas orang lain,” kata Gde Jaya.

Arsip Belanda tidak mencatat adanya kamp penyiksaan. Lot Hoek mengandalkan kesaksian penyintas yang dikonfirmasi veteran Belanda.

“Kamp-kamp penyiksaan itu dibangun untuk menghancurkan perlawanan di Bali secara sistematis,” kata Lot Hoek.

Hebatnya, menurut Lot Hoek, orang Bali tidak membangun tugu peringatan di lokasi bekas tangsi, kuburan massal, dan wilayah pertempuran yang menewaskan banyak pejuang.

Lebih menarik lagi, orang Bali tidak pernah marah kepada Belanda apalagi dendam. “Bagi orang Bali, yang terpenting adalah perjuangan mereka diakui,” ujar Lot Hoek.

Di Paris, Destrée menunggu hasil penelitian Sejarah Kekejaman Belanda di Bali yang dimulai dari arsip fotonya. Namun, waktu tak berpihak kepadanya. Destrée meninggal dua tahun sebelum buku De strijd om Bali diterbitkan.

Exit mobile version