Delapan “perang” yang ia klaim berakhir adalah konflik yakni antara Israel vs Hamas, Israel vs Iran, Pakistan vs India, Rwanda vs Republik Demokratik Kongo (DRC), Thailand vs Kamboja, Armenia vs Azerbaijan, Mesir vs Ethiopia dan Serbia vs Kosovo.
JERNIH. – Janji-janji “perdamaian bersejarah” Presiden AS Donald Trump kini dipertanyakan menyusul pecahnya kembali konflik bersenjata antara Thailand dan Kamboja. Hanya kurang dari dua bulan setelah penandatanganan kesepakatan damai yang digembar-gemborkan Trump, ketegangan Asia Tenggara kembali membara, membuktikan bahwa “emenangan diplomatik Trump hanyalah jeda sementara.
Pada 8 Desember 2025, Angkatan Udara Kerajaan Thailand (RTAF) melancarkan serangan udara dengan jet tempur F-16 ke Kamboja. Ini adalah konfrontasi paling serius sejak gencatan senjata disepakati Juli 2025, yang dipicu oleh sengketa perbatasan.
Mengutip laporan EurasianTimes, serangan udara RTAF diklaim menargetkan infrastruktur militer Kamboja di sekitar Chong An Ma Pass. Juru bicara Angkatan Darat Thailand, Kolonel Winthai Suvaree, menyatakan penembakan tersebut merupakan balasan. “Targetnya adalah posisi pendukung persenjataan Kamboja di area Chong An Ma Pass, karena mereka menggunakan artileri dan peluncur mortir untuk menyerang Pangkalan Anupong, mengakibatkan satu tentara tewas,” ujar Suvaree.
Kamboja dan Thailand saling tuduh sebagai pihak yang memulai eskalasi. Padahal, kesepakatan damai yang ditandatangani di Kuala Lumpur, Malaysia, pada Oktober 2025 itu—yang diberi nama “Kuala Lumpur Peace Accords” oleh Trump—mengharuskan kedua negara menarik persenjataan berat dari perbatasan dan membentuk tim pengawas interim.
Ironisnya, keretakan sudah terlihat tak lama setelah deklarasi diteken. Thailand menolak mengakui judul “Kuala Lumpur Peace Accords” dan hanya menyebutnya sebagai “Deklarasi Bersama”. Bulan lalu, Perdana Menteri Thailand Anutin Charnvirakul sudah menangguhkan kesepakatan setelah empat tentara Thailand terluka akibat ranjau darat yang dituduhkan ditanam kembali oleh Kamboja.
Klaim “Presiden Perdamaian” yang Terancam Runtuh
Kegagalan gencatan senjata di Asia Tenggara ini menumpahkan air dingin pada klaim bombastis Trump. Setelah Kesepakatan Kuala Lumpur, Trump menggunakan platform Truth Social-nya untuk memposisikan diri sebagai “Presiden Perdamaian,” mengklaim telah mengakhiri delapan perang dalam delapan bulan di tiga benua.
Delapan “perang” yang ia klaim berakhir adalah konflik yakni antara Israel vs Hamas, Israel vs Iran, Pakistan vs India, Rwanda vs Republik Demokratik Kongo (DRC), Thailand vs Kamboja, Armenia vs Azerbaijan, Mesir vs Ethiopia dan Serbia vs Kosovo
Realitasnya? Sebagian besar kesepakatan tersebut kini menghadapi keraguan serius:
- India vs. Pakistan: India secara konsisten membantah adanya intervensi pihak ketiga oleh Trump dalam konflik Mei 2025, menegaskan gencatan senjata dicapai melalui negosiasi internal.
- Israel vs. Hamas: Meskipun gencatan senjata fase pertama ditandatangani, laporan Al Jazeera menyebutkan Israel telah melanggar perjanjian lebih dari 500 kali sejak Oktober 2025, menewaskan sedikitnya 356 warga Palestina.
- Israel vs. Iran: Klaim mengakhiri perang 12 hari pasca Operation Midnight Hammer hanya mengakhiri permusuhan sesaat; kedua negara tetap menjadi musuh bebuyutan dengan ambisi militer yang terus meningkat.
- Rwanda vs. DRC: Perang yang diakhiri dengan perjanjian damai yang disaksikan Trump di Washington (Desember 2025) kembali meletus hanya dalam hitungan jam setelah upacara penandatanganan, dengan bentrokan antara pasukan DRC dan M23.
Trump juga mengklaim mengakhiri perang antara Mesir dan Ethiopia, padahal konflik bersenjata sama sekali tidak terjadi, hanya ketegangan diplomatik atas Bendungan Grand Ethiopian Renaissance di Sungai Nil.
Para ahli menegaskan, sebagian besar yang diklaim Trump sebagai “perdamaian monumental” hanyalah jeda sementara atau deklarasi sederhana yang dilebih-lebihkan. Jika konflik Thailand-Kamboja kembali menjadi perang terbuka, hal ini akan menjadi pukulan telak bagi narasi “Presiden Perdamaian” yang dibangun Trump, memperjelas bahwa diplomasinya hanya berhasil di atas kertas.
