Prasiddhi Shrestha, seorang gadis berusia 19 tahun, tertular virus corona hanya lima hari setelah kembali dari Prancis. Ia menjadi sasaran cibiran di media sosial setelah beberapa orang menyebutnya sebagai “super spreader” atau “penyebar super”
JERNIH—Hidup di negeri para bloon kadang banyak susahnya. Di Nepal, penderita Covid-19 menjadi sasaran pelecehan di publik dan media sosial. Sementara, pemerintah belum berbuat cukup untuk menciptakan kesadaran publik akan penyakit tersebut.
Rewati Panta adalah ketua dari Partai Komunis Nepal yang berkuasa di distrik Sarlahi selatan. Dia telah terlibat dalam kampanye untuk meningkatkan kesadaran tentang virus corona di daerah pemilihannya. Panta dinyatakan positif COVID-19 pada bulan lalu setelah bekerja selama berbulan-bulan di garis depan bersama petugas kesehatan untuk menahan penyebaran virus corona di negara Himalaya tersebut.
Terlepas dari semua pekerjaan yang telah ia lakukan untuk meningkatkan kesadaran terhadap virus corona, ia tetap diperlakukan dengan tidak baik setelah jatuh sakit oleh pemilik apartemennya, para tetangga, dan bahkan beberapa kerabatnya.
“Setelah tertular virus, saya pindah ke apartemen teman yang tidak terpakai untuk isolasi diri. Pada hari yang sama, tiga orang yang tinggal di gedung meninggalkan apartemen mereka setelah mengetahui bahwa saya tertular COVID-19,” kata Panta kepada Deutsche Welle.
Alasan utama di balik keputusan Panta untuk pindah ke apartemen temannya adalah untuk melindungi ibunya yang sudah tua dan penyakitan.
Perlakuan tidak pantas yang dialami Panta bukanlah insiden terisolasi di Nepal; banyak orang yang menderita virus corona mengatakan bahwa mereka dilecehkan dan dipermalukan oleh masyarakat
Menurut Komisi Hak Asasi Manusia Nasional Nepal, kasus pelecehan korban COVID-19 telah banyak dilaporkan di berbagai kabupaten dan kota. Awal bulan ini, Bimala Khaling Rai dan anaknya yang berusia 22 bulan terpaksa meninggalkan kamar kontrakan mereka di Kathmandu setelah dinyatakan positif virus corona.
Pada 22 Maret lalu, Prasiddhi Shrestha, seorang gadis berusia 19 tahun, tertular virus corona hanya lima hari setelah kembali dari Prancis. Ia menjadi sasaran cibiran di media sosial setelah beberapa orang menyebutnya sebagai “super spreader” atau “penyebar super” dari virus corona.
“Saya mengkarantina diri setelah tiba di Kathmandu. Saya bahkan tidak memeluk ibu saya,” kata Shrestha. “Tapi media sudah mencap saya sebagai ‘penyebar virus”. Saya bahkan mendapatkan ancaman pembunuhan dari beberapa pengguna media sosial,” ujar dia. “Mengejek serta pelecehan publik hanya melemahkan kepercayaan orang-orang dalam perjuangan mereka melawan virus,” tambah Shrestha, dengan alasan bahwa hal tersebut hanya memaksa orang untuk menyembunyikan penyakit mereka.
Hingga Selasa (22/9) lalu, Nepal telah mencatat lebih dari 65.000 kasus virus corona dan 417 kematian terkait. Jumlah itu memang jauh lebih rendah dibandingkan negara-negara Asia Selatan lainnya.
Stigma terhadap petugas kesehatan
Pelecehan yang dialami dalam kasus virus corona ini tidak terbatas hanya kepada pasien. Petugas kesehatan juga menghadapi ancaman pelecehan.
Pada Agustus lalu, beberapa orang di daerah Kathmandu menuntut penggusuran para petugas kesehatan yang tinggal di sebuah rumah. Para petugas kesehatan ini bekerja di rumah sakit yang dikelola pemerintah dan telah menggunakan rumah tersebut untuk tempat pengisolasian diri.
Dilaporkan bahwa para pekerja yang mengangkut pasien COVID-19 atau mereka yang meninggal karena virus telah menghadapi pelecehan dari masyarakat. Buddha Krishna Bagh, yang telah mengemudikan mobil jenazah selama 18 tahun, mengatakan kepada portal berita lokal bahwa sikap orang-orang terhadapnya berubah setelah mereka mengetahui bahwa ia sopir pembawa mayat korban COVID-19.
Lochan Karki, presiden dari Asosiasi Medis Nepal, mengatakan organisasinya telah menerima lebih dari dua lusin laporan penganiayaan dan ancaman terhadap petugas kesehatan dari berbagai bagian negara. Ia mengatakan bahwa kejadian-kejadian demikian terus terjadi karena minimnya tindakan hukum terhadap para pelaku.
Aktivis hak asasi manusia mengatakan bahwa pemerintah Nepal belum berbuat banyak untuk menyebarkan kesadaran akan virus corona sejak dimulainya pandemi.
“Di negara lain, petugas kesehatan dipuji atas pekerjaan mereka melawan COVID-19. Sayangnya, dokter dan staf kesehatan kami berakhir dilecehkan,” kata Charan Prasai, koordinator kelompok hak asasi Komite Pengawas Akuntabilitas, kepada DW.
Pihak berwenang mengatakan bahwa mereka telah mendorong orang-orang untuk menjaga jarak secara fisik dan mengenakan masker di publik.
Chakra Bahadur Budha, juru bicara Kementerian Dalam Negeri, mengatakan kepada DW bahwa pemerintah akan menindak orang-orang yang melecehkan korban virus corona dan para petugas kesehatan. Namun demikian, ia mengatakan bahwa pemerintah hanya dapat “mengambil tindakan atas pengaduan yang terdaftar”.
“Kita tidak dapat menanggapi setiap laporan media atau posting di sosial media,” kata Budha.
Daman Nath Dhungana, mantan ketua parlemen, mengatakan bahwa pemerintah perlu menunjukkan kebijaksanaan lebih untuk mendesak pihak berwenang agar bekerja keras selama masa luar biasa ini. “Pandemi sedang menguji sistem kami. Ada perbedaan antara mengeluarkan perintah dan menerapkannya,” ujar Dhungana. [Deutsche Welle]