JAKARTA—Di tengah menguatnya sentimen rasial dan agama di India, seiring pemberlakuan Undang-Undang Amandemen Kewarganegaraan India di bawah arah kuat Perdana Menteri Narendra Modi, negara itu sepertinya harus mengingat kembali ajaran luhur Mahatma Gandhi. Pendiri India itu konsisten mengusung nilai-nilai Hindu yang universal dan mengayomi India yang serbamulti.
“Jika saya tidak bisa menerima agama Kristen sebagai agama yang sempurna atau yang terhebat, saya juga tidak yakin bahwa Hinduisme seperti itu. Cacat Hindu sangat mencolok bagi saya. Saya tidak dapat memahami alasan keberadaan banyak sekte dan kasta. Apa artinya mengatakan Weda diilhami firman Tuhan? Jika memang demikian, bagaimana dengan Injil dan Alquran?” tanya Gandhi dalam ‘Gandhi: An Autobiography’, retoris.
Gagasan ‘Akhand Bharat’ atau ‘Akhand Hindustan’ (India Bersatu) yang diusung Gandhi memang merujuk pada model hegemoni kekuatan politik–bukan kekuatan agama, bagi India yang demokratis. Selain itu gagasan tersebut mengakui pelestarian hak-hak minoritas, komunitas kecil, dan dukungan untuk proses politik tertentu.
Sebelum berpisahnya India- Pakistan, Partai Kongres Nasional India (INC) menggunakan slogan tersebut untuk keselamatan ‘India’ dan ‘orang India’. Namun, sejarah membuktikan penggunaan semboyan itu tak lain untuk menaklukkan umat Muslim, menghambat kegiatan politik Partai All-India Muslim League (AIML), yang berujung pada tuntutan pemisahan India-Pakistan.
Gandhi mempraktikkan perjuangan politiknya di bawah keinginan kuat dan ideologi yang kuat. Menurut prinsip ‘Swaraj’, pemerintahan mandiri dapat menjadi bagian utama dari masyarakat yang benar-benar sekuler dan demokratis. Swaraj didasarkan pada keberadaan persatuan di India tradisional. Karena tanpa integrasi nasional, India sebagai kekuatan demokrasi terbesar tidak dapat mengklaim sebagai negara sekuler. Aksi politik dan kebutuhan sosio-religius yang sejati sepenuhnya bergantung pada supremasi pemerintahan mandiri yang sebenarnya, karena itu menentukan kehendak publik.
Sayangnya, meski India kontemporer mengklaim diri negara sekuler atau demokratis, India kini justru menunjukkan kebangkitan sebagai negara fundamental yang mendukung ‘Hindutva’ atau nasionalisme Hindu.
Selain itu, prinsip perlawanan pasif melalui ‘Satyagraha’ Gandhi secara murni mencerminkan mereformasi jiwa dan roh. Satyagraha mengacu pada pengakuan akan kebaikan dan penolakan terhadap kejahatan dalam jiwa manusia. Gandhi menggunakannya sebagai alat, bukan untuk mempermalukan orang lain, tetapi untuk mempertimbangkan ketidakakuratan lawan-lawannya terhadap perbaikan dan pertanggungjawaban diri.
Gandhi mempercayai bahwa jiwa senantiasa memiliki nilai positif. Hal itu menunjukkan sikap positifnya terhadap pembentukan masyarakat tanpa kekerasan melalui koeksistensi. Gandhi adalah pemuja besar ‘Ahimsa; (sikap anti-kekerasan). Dia percaya bahwa nilai tanpa kekerasan seharusnya tertanam dan keluar dari perilaku. Sayangnya, ia sendiri meninggal dalam pembunuhan yang dilakukan kelompok paramiliter sayap kanan Hindu, Rashtriya Swayamsevak Sangh (RSS) pada 30 Januari 1948 di Delhi.
Secara praktis, konsep kuat Ahimsa juga secara efektif berlaku di India setelah pemisahan dengan Pakistan. Akibat ideologi efektif Gandhi, India diberi label sebagai negara sekuler.
“Di masa hidupnya, Mahatma Gandhi dihormati sebagai guru moral, seorang reformis yang mencari jati diri India yang bebas dari kasta dan materialisme. Di Asia, ia dianggap berpengaruh besar bagi perdamaian. Ajarannya menjadi sebuah pesan tidak hanya untuk India, tetapi juga bagi dunia,” tulis Chambers Biographical Dictionary.
Pada 1919, M.K Gandhi muncul sebagai ‘Mahatma’ (Jiwa Besar), karena pengaruhnya yang baru di INC. Dengan mantap, ia juga bersuara untuk mereformasi sistem kasta Hindu. Tidak diragukan lagi, Gandhi mendukung sistem kasta dan menganggapnya berguna, tetapi praktik-praktiknya yang kaku bertentangan dengan norma-norma demokrasi modern. Selain itu, ia juga ingin menghapuskan ketidakteraturan dan kesatuan Hindu-Muslim melalui praktik Satyagraha. Singkatnya, Gandhi berjuang untuk pembangunan karakter, khususnya pada generasi pelajar atau pemuda bangsa.
Busharat Elahi Jamil dalam Daily Times menulis, secara terus-menerus suatu kelas fundamental Hindu tertentu muncul dan menjadi kian berpengaruh. Hal itu memberi perasaan tidak pasti kepada minoritas, khususnya Muslim, ketika mereka merupakan minoritas terbesar di India.
Rezim Perdana Menteri India Narendra Modi saat ini adalah kombinasi padat dari Partai Bharatiya Janata (BJP), Rashtriya Swayamsevak Sangh (RSS—kelompok pembunuh Gandhi), dan pengagum doktrin Hindutva yang berlebihan. Doktrin itu mulai tumbuh dan dibangun VD. Savarkar pada 1923.
Doktrin antagonis tersebut didasarkan pada cara hidup yang ditetapkan pada aturan spiritual dan budaya yang dikembangkan di India. Gagasan utamanya adalah mempromosikan agama Hindu. Kebijakan Modi cenderung membersihkan India dari ‘gangguan’ kelompok Muslim dengan mempertanyakan kesetiaan dan afiliasi mereka.
Undang-undang Amandemen Kewarganegaraan India 2019” adalah contoh terburuk sikap itu. Modi tampaknya mengikuti kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, yang melarang masuknya orang-orang dari berbagai negara Muslim ke AS karena alasan keamanan.
India mengklaim dirinya sebagai negara sekuler, bukan negara Hindu, sehingga ideologi Hindutva sepenuhnya menentang keberadaan India. “RUU Amandemen Kewarganegaraan 2019” bukanlah RUU kewarganegaraan tetapi RUU penahanan, terutama untuk umat Muslim India. RUU tersebut menyediakan perlindungan bagi “komunitas Hindu, Sikh, Buddha, Jain, Parsi, atau Kristen dari Afghanistan, Bangladesh, atau Pakistan,” tetapi tidak bagi umat Islam. Dalam skenario internasional saat ini, hubungan positif dengan negara-negara tetangga sangatlah dibutuhkan.
Namun, Elahi Jamil berpendapat, RUU Kewarganegaraan India justru malah membuktikan diri sebagai undang-undang yang menentang negara-negara Muslim di sekitarnya. Kebijakan seperti itu pada akhirnya akan memancing sentimen dari dua ratus juta Muslim di India, mengarah ke simpati populasi Muslim, bergeser ke negara-negara Muslim tetangga, yang pada akhirnya dapat berbahaya bagi nasionalisme India.
Umat Muslim dan Hindu India sama-sama memprotes UU Kewarganegaraan. Para pelajar kini menjadi bagian penting dari protes India. Menurut berbagai laporan, mahasiswa dari sekitar 60 perguruan tinggi dan universitas ditemukan turut menolak undang-undang kontroversial itu. Gelombang protes India telah menyebar ke seluruh negeri. Puluhan pengunjuk rasa telah tewas atau terluka, sementara ratusan orang lainnya ditahan di penjara atau pusat penahanan.
Negara Bagian Assam adalah titik dominan demonstrasi di mana sekitar dua juta orang berada di jalan. Umat Hindu maupun Muslim turut bergabung dalam aksi protes di Assam. Wilayah itu berbagi perbatasan dengan Bangladesh, di mana masalahnya adalah etnis, bukan agama. Penduduk asli tidak ingin migrasi Hindu Bengali ke Assam dari Bangladesh karena dapat merusak struktur demografi.
Rakyat India sekarang menyaksikan geliat orang-orang yang demokratis ketimbang rezim BJP yang kaku. Ini adalah penolakan terhadap gagasan Hindutva oleh orang India, yang merupakan titik penting dari seluruh gerakan. Elahi Jamil juga berpendapat, saat ini populasi besar warga Muslim hidup di bawah garis kemiskinan, menjalani kehidupan nomaden, atau tinggal di daerah kumuh dan tidak memiliki cukup sumber, pendekatan, dan dokumentasi untuk membuktikan diri sebagai orang India.
Protes India mencerminkan bahwa minoritas tidak merasa aman. Dalam skenario seperti itu, bagaimana pemerintah India dapat mengklaim memberikan perlindungan dan keamanan kepada minoritas di negara-negara tetangga? Umat Hindu sudah menjadi mayoritas, Sikh sudah memiliki Gerakan Khalistan di Punjab sementara umat Buddha, Jain, Parsis, dan Kristen adalah komunitas kecil di negeri itu.
Dengan kata lain jelas sudah, UU tersebut menetapkan bahwa tujuannya ialah untuk mendiskriminasi komunitas Muslim, minoritas terbesar di India, dan dipraktikkan di setiap rezim BJP. Masalah Masjid Babri, undang-undang Kashmir, dan UU Kewarganegaraan ini adalah contoh paling buruk.
Pemimpin BJP Himanta Biswa Sarma dalam sebuah acara televisi mencoba menghubungkan RUU Kewarganegaraan secara historis dengan ideologi Gandhi dan Nehru tentang Pemisahan India. Namun secara historis ia salah. Sarma harus mengingat bahwa India pernah terbelah karena dogma agama. Pemisahan Benggala pada 1905, masalah Kashmir, dan pembagian Punjab pada 1947 adalah hasil dari pertikaian agama, khususnya antara Muslim dan non-Muslim.
PBB menyebut UU Kewarganegaraan India pada dasarnya bersifat diskriminatif. Pengadilan Tinggi India juga telah mengecam UU Kewarganegaraan. Namun para pengikut Hidutva, kendati diprotes secara nasional, masih ngotot pada tujuan mereka untuk menetapkan “India sebagai Negara Hindu”.
Undang-undang ini juga bertentangan dengan Pasal 14, 19, dan 21 Konstitusi India. Pasal-pasal tersebut memberikan hak persamaan di hadapan hukum, hak kebebasan, hak untuk berkumpul secara damai , an bergerak bebas “untuk tinggal dan menetap di bagian manapun di wilayah India” serta kebebasan pribadi dan perlindungan di India. Lebih lanjut, UU ini juga bertentangan dengan Pasal 1 dan 2 Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB 1948.
Ideologi Gandhi seharusnya tidak hanya menjadi bagian dari sekadar literatur, tetapi harus dipraktikkan di India karena ia adalah bapak pendiri bangsa demokrasi terbesar di dunia. MK Gandhi adalah pengikut non-kekerasan, tetapi rezim BJP mempromosikan kekerasan dengan mendorong minoritas melalui kebijakan, perundang-undangan, pernyataan, dan tindakannya. Modi sebagai pemimpin bangsa justru telah merangsang kekerasan.
[dailytimes]