- Work from home, dan kehilangan pekerjaan, bikin keluaga di Jepang stress.
- Istri tidak bisa menerima lingkungan yang berubah, ketika suami seharian berada di rumah.
- Lebih menjengkelkan lagi jika ada orang tua tinggal bersama.
- Tingkat perceraian di Jepang melonjak 35 persen.
Tokyo — Tahun 1980-an, Jepang dilanda demam Perceraian Narita. Kini, Negeri Sakura dilanda Perceraian Korona.
Perceraian Narita muncul ketika pasangan baru menikah, dan bercerai di Bandara Narita sepulang dari bulan madu. Alasannya, masing-masing menyadari tidak ada kesamaan.
Perceraian Korona sedang menjadi tren di Jepang, setelah PM Shinzo Abe mengumumkan keadaan darurat wabah virus korona. Twitter dipenuhi para istri yang frustrasi akan perilaku suami yang abai, terlalu menuntut, dan masih banyak lagi.
Sekitar 35 persen suami-istri di Jepang memutuskan bercerai. Angka ini jauh lebih rendah dibanding di AS, yang mencapai 45 persen, 41 persen di Inggris, dan 30 persen di Cina.
South China Morning Post memperkirakan angka perceraian di Jepang dipastikan meningkat dalam waktu dekat. Di Cina, terjadi lonjakan pengajuan gugatan cerai, saat negeri itu memberlakukan penguncian.
“Suamiku bersuara keras,” tulis seorang ibu rumah tangga di Jepang. “Suamiku tidak mencuci tangan, dan tidak tahu berbuat apa di dapur,” tulis yang lain.
Lainnya menulis; “Ketidak-setaraan suami dan istri biasanya berakhir begitu saja. Bagi saya, ini saatnya memikirkan masa depan saya.”
Curhat lebih menyedihkan muncul dari seorang wanita. “Suami saya menganggap saya tidak lebih dari pembantu.”
Yang lain, melampiaskan kemarahan kepada suami dengan memasang tagar ‘Catatan kematian suami’, lengkap dengan pertanyaan teoritis; apakah lebih mudah untuk bercerai.
Pertanyaan lain; Apakah ini akan menyegarkan saya. Lainnya menggerutu; “Saya ingin menemukan kembali diri saya. Aku muak melihatmu. Saya selalu khawatir. Aku hanya menghela nafas.”
Work From Home
Jepang kini memiliki 13 ribu kasus virus korona penyebab Covid-19, dengan 372 kematian.
Chie Goto, pengacara khusus perceraian di Kantor Hukum Felice di kota Nishinomiya, menulis di blog-nya bahwa suami-istri di Jepang menghadapi situasi yang jarang dialami.
Suami bekerja dari rumah. Ada pula yang kehilangan pekerjaan. Anak-anak pulang sekolah. Pihak berwenang mendesak warga tinggal di rumah sebanyak mungkin. Bahkan saat akhir pekan.
“Rumah telah menjadi tempat kerja, dan itu penyebab semua ini,” kata Goto. “Orang-orang stress ketika lingkungan mereka berubah. Itu menyebabkan keretakan rumah tangga.”
Goto mengajukan sejumlah solusi bagi pasangan stress. Salah satunya berdiskusi secara terbuka, dan bertukar pendapat.
Saran lain, memasak makanan bersama, berbagi tugas di sekitar rumah, dan menetapkan aturan mencuci tangan, serta tindakan lain untuk menghentikan keluarga dari kemungkinan terjangkit virus.
Di sisi lain, pasangan yang terlibat dalam penanganan pasien virus korona punya tip lain untuk bertahan. Di Japan Today, pasangan mengirim pesan; istri bukan staf saya.
Ada juga poster; ‘Bravo’. Suami saya sama. Dia berharap saya keluar dari rutinitas saya, karena dia bekerja di rumah. Dia tidak frustrasi, dan membantu ketika bisa.
Mertua Bikin Gila
Persoalan menjadi rumit jika ada orang tua di dalam rumah. Ketika seorang pria kehilangan pekerjaan, atau harus bekerja di rumah, orang tua — yang relatif hanya menghabiskan waktu dengan diam atau berseliweran — bisa bikin gila.
“Ibu mertuaku hanya sibuk bersih-bersih,” tulis seorang wanita. “Mereka menemukan hal-hal menghibur untuk diri sendiri.” Tidak mengejutkan jika saya menjadi gila.”
Tidak hanya wanita yang menggunakan media sosial untuk menghilangkan emosi. Seorang pria pengguna Twitter menyarankan bahwa taktik terbaik adalah mengatakan maaf.
Jika terjadi pertengkaran, dengan istri atau bos, upayakan meminta maaf kendati bukan kita yang salah.