Pemerintahan Maladewa mengkritik kecenderungan India untuk mengintervensi militer sebagai penghinaan terhadap kedaulatannya. Maladewa lantas menuduh India berambisi untuk menguasai negara pulau itu
JERNIH– Hubungan Maladewa dengan India biasanya terombang-ambing antara dukungan dan oposisi. Saat ini unsur-unsur domestik tertentu di Maladewa telah dengan terampil berusaha untuk mendorong hubungan kedua negara ke titik nadir dengan mendorong sentimen anti-India.
Sayangnya, pada kesempatan kali ini India kembali menjadi korban situasi politik internal di Maladewa. India memainkan peran penting dalam sektor ekonomi, pertahanan, dan kemanusiaan di Maladewa dan akan terus demikian meskipun ada kampanye permusuhan. Hanya perubahan dalam kepemimpinan politik dan pemerintahan yang dapat mempengaruhi kapasitas urusan India dengan Maladewa, menurut analisis Balachander Palanisamy di The Diplomat.
Menurut Ahmed Azaan, salah satu pendiri kanal berita online “Maladewa Dhiyares”, kampanye “India Out” adalah seruan untuk penghapusan militer India dari Maladewa. “Ini bukan seruan untuk memutuskan hubungan diplomatik dan perdagangan dengan India,” ujar Azaan di Twitter. Azzan menambahkan, Maladewa “harus dapat menjalin hubungan dengan India tanpa merusak kedaulatan kita”.
Dalam beberapa tweet lainnya, Azaan mengungkapkan ketidaksenangan atas kehadiran militer India di Maladewa dan menyamakannya dengan hilangnya kedaulatan Maladewa.
Tagar “India Out” masih menjadi tren di Twitter di Maladewa pada Senin (26/7), Hari Kemerdekaan Maladewa.
Sentimen anti-India tersebut dapat ditelusuri kembali ketika Abdulla Yameen dari Partai Progresif Maladewa (PPM) menjadi presiden pada 2013. Sentimen tersebut mereda ketika Ibrahim Solih mengambil alih sebagai presiden, tetapi sejak tahun lalu sentimen itu telah muncul kembali.
Narasi saat ini mengingatkan kembali pada keputusan tertentu yang dibuat selama pemerintahan Yameen, seperti dikembalikannya dua helikopter Dhruv Advanced Light Helicopters (ALF) yang diberikan oleh India kepada penjaga pantai.
Helikopter yang berkedudukan di Addu Atoll dan di Hanimaadhoo itu digunakan untuk tujuan yang tidak berbahaya seperti operasi pencarian dan penyelamatan laut serta pengawasan cuaca maritim. Pemerintahan Maladewa kemudian mengkritik kecenderungan India untuk intervensi militer sebagai penghinaan terhadap kedaulatannya. Maladewa lantas menuduh India berambisi untuk menguasai pulau itu ketika politik dalam negeri menjadi tidak stabil dan mantan Presiden Mohammed Nasheed meminta India untuk campur tangan.
Meskipun India mendambakan kerja sama pertahanan yang lebih besar dengan Maladewa untuk mengekang kemajuan Cina di kawasan, kenyataannya India tidak memiliki pangkalan militer atau sejumlah besar pasukan yang ditempatkan di pulau-pulau dan atol untuk menjamin tuduhan imperialisme, menurut analisis Balachander Palanisamy di The Diplomat.
Kampanye tersebut telah mencapai titik di mana keamanan para staf diplomatik India menimbulkan kekhawatiran. Sunjay Sudhir, duta besar de facto India untuk Maladewa, telah menulis surat kepada Kementerian Luar Negeri Maladewa untuk meminta personel keamanan tambahan dan mendesak pemerintah setempat untuk bertindak.
Terdapat sejumlah alasan untuk mempercayai kredibilitas permintaan tersebut. Ada seruan beberapa bulan yang lalu untuk memprotes di luar Komisi Tinggi India di Maladewa pada Januari 2021. Ada juga akun Twitter yang mencari bahan peledak RDX untuk upaya meledakkan gedung. Pemerintahan Presiden Maladewa Ibrahim Solih pun menyetujui permintaan tersebut dan telah mengerahkan keamanan tambahan.
Partai Demokrat Maladewa (MDP) yang berkuasa merilis pernyataan resmi pada 2 Juli yang mengutuk Ahmed Azaan dan kanal beritanya karena terlibat dalam “serangan terus menerus atas kebencian anti-India” dan “melontarkan kebencian terhadap sekutu terdekat Maladewa”. Partai MDP juga menuduh kelompok tersebut memiliki hubungan dengan oposisi, yang membantu dalam mengatur dan mendanai kampanye tersebut.
Bisa dibilang kampanye “India Out”, jika terus berlanjut, akan berupaya memengaruhi pemilihan presiden berikutnya, yang dijadwalkan pada 2023. Saat ini, MDP memegang mayoritas kursi di parlemen.
Namun, jika oposisi memenangkan pemilihan presiden, Maladewa akan memiliki pemerintahan yang terbagi, yang kemungkinan akan menyebabkan keretakan domestik melalui kebuntuan kebijakan. Hal itu mungkin juga tidak menguntungkan bagi India karena akan mempengaruhi pengambilan keputusan kebijakan luar negeri pada isu-isu utama seperti pertahanan dan ekonomi, menurut analisis Balachander Palanisamy di The Diplomat.
Pemerintahan Solih telah membalas kebijakan India yang mengutamakan kawasan terlebih dahulu (“neighborhood first”) dengan kebijakan “India first”. Maladewa telah mulai menyadari hubungan yang saling menguntungkan dengan India. Pemerintahan Solih bermaksud mempertahankannya meskipun ada retorika yang kian berkembang yang memicu sentimen anti-India.
Cina, negara tetangga terbesarnya di utara telah mendukung ekonomi Maladewa dari pandemi COVID-19 dengan memberikan bantuan keuangan 500 juta dolar AS untuk menopang proyek konektivitas di Maladewa. Paket itu terdiri dari hibah 100 juta dolar AS dan utang 400 juta dolar AS.
Namun, Cina juga telah menemukan peluang dalam pandemi untuk memperpanjang pengaruhnya, sebagian dengan menangguhkan sebagian pembayaran pinjamannya selama empat tahun. Solih ingin menyeimbangkan kepentingan kebijakan luar negeri Maladewa dengan Cina dan India. Waspada menghadapi konsekuensi serupa seperti Sri Lanka dari “diplomasi jebakan utang” Cina, pemerintah Maladewa telah mulai mendiversifikasi investasi asingnya. Akibatnya, Maladewa sekarang lebih condong ke bantuan India.
Kampanye “India Out” bukanlah penyimpangan yang muncul entah dari mana, tetapi dapat dikelola jika hubungan baik antara India dan Maladewa dihargai, kata Balachander Palanisamy. Pemerintah Maladewa saat ini pertama-tama dan terutama harus bertujuan untuk pulih dari pandemi COVID-19, sementara India paling siap untuk membantu Maladewa melakukannya. “Diplomasi vaksin” India dengan Maladewa adalah tanda hubungan yang langgeng. [The Diplomat]