- Semula, Kim Jong-un menggunakan pendekatan liberal. Ia mengijinkan pembentukan band, menghadiri konser Red Velvet.
- Setelah diplomasi gagal dan produksi pangan babak belur, Korut menutup diri lagi.
JERNIH — Korea Utara (Korut) lebih takut virus K-Pop dibanding SarsCoV-2 atau virus korona.
Sejak awal pandemi Korut belum sekali pun mengumumkan temuan kasus terinfeksi dan kematian, tapi dalam setahun terakhir negeri Stalinist terakhir itu mengeluakan sejumlah undang-undang yang melarang rakyatnya mengkonsumsi K-Pop.
K-Pop didefinisikan secara komprehensif. Bukan sekadar tari dan lagu yang dikemas dalam bentuk digital, tapi juga gaya hidup; mulai dari dandanan rambut, cara berpakaian, sampai kosmetik.
Korut tidak main-main dalam soal ini. Kabar terakhir, seperti diberitakan DailyNK, menyebutkan tiga mahaswa Universitas Haeju diadili di sebuah pabrik mesin pertanian setelah dilaporkan mengkonsumsi dan mendistribusikan K-Pop.
Korut dan K-Pop
K-Pop muncul sebagai kekuatan budaya pop yang tangguh dalam satu dekade terakhir. Industri musik, film, fashion, dan kosmetik, membangun pasarnya di seluruh dunia.
Korut, tetangga dan saudara beda ideologis dengan Korsel, nyaris tertutup dari pengaruh dunia luar sepanjang usianya. Dinasti Kim yang memimpin Korut mengontrol ketat informasi yang masuk dan keluar.
Materi asing; film, musik, dan buku, dilarang. Pengecualiannya hanya beberapa, dan harus melalui persetujuan negara. Mereka yang tertangkap menyelundup produk budaya pop asing menghadapi ancaman hukuman berat.
Pembatasan melunak dalam beberapa dekade terakhir sebagai akibat hubungan Korut-Cina. Ada langkah tentatif untuk membuka diri, yang memungkinkan elemen Korsel — termasuk K-Pop dengan segala pernik-perniknya — masuk ke Korut dalam beberapa tahun terakhir.
Situasi ini sempat dipercepat ketika hubungan kedua negara mencair. Puncaknya adalah ketika Kim Jong-un, pemimpin tertinggi Korut, menyaksikan langsung konser girl band K-Pop Red Velvet di Pyongyang, April 2018.
Namun, situsi Korut yang memburuk dengan cepat — akibat pandemi yang menghantam ekonomi, serta kegagalan panen yang membuat negeri itu terancam kekurangan pangan — membuat segalanya berubah.
Aturan ketat diberlakukan kembali, dan dalam tindakan yang paling keras. Korut seolah kembali terisolasi secara sempurna.
Awal bulan ini, anggota parlemen Korsel Ha Tae-kung mengatalan rejim Korut mengamcam warganya dengan hukuman penjara jika ketahuan berbicara dalam bahasa gaul Korsel. Kata ‘oppa’, dalam Bahasa Korea berarti kakak, tidak boleh digunakan.
Di Korsel, ‘oppa’ adalah sebutan romantis gadis-gadis saat memanggil pasangannya. Remaja Korut ikut-ikutan menggunakan kata ini, sebelum keluar larangan.
Kini, gadis-gadis Korut harus memanggil kekasihnya dengan sebutan lain, yang artinya kawan laki-laki.
Video propaganda di Korut dipenuhi celaan terhadap pengaruh asing. Salah satunya, menunjukan kasih sayang di depan umum. “Mereka yang melanggar aturan adalah musuh bebuyutan revolusi,” kata Ha, mengutip Badan Intelejen Korea Selatan.
Rodong Sinmun, koran resmi rejim Korut, dalam artikelnya mengecam cara hidup asing dan mendesak kaum muda setiap pada panggilan negara.
“Perjuang di bidang ideologi adalah perang tanpa senjata,” kata artikel itu, mengutip Kim Jong-un. “Yang kalah dalam perang budaya akan membawa konsekuensi serius berkali-kali dibanding di medan perang.”
Para ahli mengatakan pembatasan-pembatasan itu tampak aneh, tapi beralasan. Di permukaan, misalnya, bahasa gaul tidak berbahaya. Namun, bahasa gaul mewakili perjuangan lebih rumit atas kekuasaan dan kontrol.
Satu hal yang harus dipahami adalah toleransi Korut terhadap budaya asing terus berubah dan bergeser seiring tingkat kesejahteraan ekonomi dan diplomasi internasional.
Tentang Rambut dan Musik di Korut
Sejak 1953, setelah Perang Korea dihentikan oleh pernjanjian gencatan senjata, hubungan Korsel-Korut tetap tegang. Kedua negara masih dalam status perang, karena Perang Korea tidak diakhiri dengan pernjanjian damai.
Andrei Lankov, direktur Grup Risiko Korea dan profesor di Universitas Kookmin Seoul, mengatakan Korut pernah menjadi satu bagian paling maju secara industri di Asia Timur. Setelah beberapa dekade terisolasi, penduduk Korut hidup dalam kemiskinan absolut.
Ekonomi Korut berputar ke bawah pada 1990-an akibat keruntuhan Uni Soviet. Tidak ada lagi aliran bantuan ke Pyongyang. Cina, sekutu dekat Pyongyang, menjadi satu-satunya mitra dagang negara itu.
Korsel membangun diri untuk menjadi kekuatan ekonomi terbesar keempat di Asia, dengan product domestic bruto (PDB) per kapita setara dengan Prancis dan Italia. Kekuatan lunak Korsel berkembang pesat karena ekspor budaya; musik, film, makanan, dan kosmetik, mendapat tempat di seluruh dunia.
“Itulah yang membuat Korut berhati-hati untuk membiarkan pengaruh asing, seperti bahasa gaul Korsel,” kata Lankov. “Jika dibiarkan, itu sama halnya dengan mengakui bahwa model masyarakat alternatif berhasil, dan model Korut tidak.”
Orang Korut mengadopsi perilaku masyarakat Korsel; berpakaian, berdandan, berbicara, dan pilihan pada gaya rambut, menunjukan dua hal; akses ke materi terlrang dan indikasi kekaguman dan simpati terhadap Korsel.
Potensi soft power bergantung pada luasnya ketimpangan antarnegara. Di Korut, orang-orang kekurangan pangan, dan itu diakui oleh Kim Jong-un akibat bencana alam. Di Korsel, yang terjadi sebaliknya.
Rejim Korut bisa saja takut terjadi pemberontakan rakyat yang tidak puas. Namun, siapa pun tahu, rejim Korut cukup brutal menindak keras siapa pun yang berani membuka mulut.
Namun, menurut Lankov, meningkatnya pengetahuan tentang dunia luar; tentang betapa buru rejim Korut, dapat mengikis legitimasi Kim Jong-un dan Partai Buruh Korut, dengan seluruh kerangka ideologisnya.
“Jadi, anak muda Korut menonton K-Pop, K-Drama, dan mengenakan kosmetik Korsel, adalah ancaman,” kata Jean Lee, rekan senior di Wilson Center dan mantan wartawan Associated Press yang berbasis di Pyongyang. “Karena itu berarti orang Korut melihat kehidupan orang Korea di luar negara mereka.”
Tidak aneh jika rejim Korut menargetkan generasi muda dalam pelarangan terhadap semua yang berbau K-Pop. Generasi muda paling rentan terhadap pengaruh baru, sedangkan orang tua tidak menginginkan perubahan.
Politik dan Budaya Pop
Sikap Korut terhadap K-Pop, serta semua yang berbau Korsel, juga dipengaruhi hubungan Pyonyang-Seoul. Selalu ada upaya memulai pembicaraan dan terhenti. Itu terjadi berkali-kali.
Setelah Kim Jong-un mengambil alih kekuasaan tahun 2011, cucu pendiri Korut Kim Il-sung ini semula menyukai pendekatan liberal. Saat itulah musik Barat boleh masuk. Ia juga mengijinkan pembentukan band Korut yang semuanya perempuan.
Menurut Lee, saat itu pengaruh asing terlihat jelas saat aturan dilonggarkan. Orang Korut berbicara dalam dialek Korsel, menggunakan bahasa gaul, yang mengindikasikan mereka baru saja nonton K-Drama.
Tempat wisata menggunakan Bahasa Inggris. Elite Korut diijinkan bepergian lebih banyak, terutama ke Cina.
Namun Kim Jong-un segera menggunakan pendekatan lebih konservatif, dengan menyita USB dan produk teknologi digital yang digunakan menyelundupkan informasi.
Ketegangan meningkat sepanjamg 2016 dan 2017, dengan serangkaian peluncuran rudal. Tahun 2018, hubungan dua Korea mencair setelah Moon Jae-in menjadi presiden Korsel.
Saat itu, Moon dan Kim berjanji mengakhiri Perang Korea lewat perjanjian damai dan bekerja menuju denuklirisasi penuh. Selama masa itulah produk budaya Korsel menjadi tren.
Tahun berikutnya semua berubah. Setelah pertemuan puncak Kim Jong-un dan Presiden AS Donald Trump berantakan, dan komunikasi terputus, Korut dengan cepat menutup diri.
Pandemi Covid-19 membuat Pyongyang menutup perbatasan dengan Cina, satu-satunya jalur kehidupan ekonomi negara itu. Ketika Korut benar-benar dalam kesulitan, rejim Pyongyang tidak mengambil risiko apa pun.
Tidak ada yang tahu pasti apa yang memicu Kim Jong-un menindak keras semua yang berbau asing dalam dua hingga tiga tahun terakhir. Namun, semua itu bisa dikaitkan dengan penutupan perbatasan, kegagalan panen, dan kesulitan ekonomi.
Jika tahun depan pandemi berakhir, perbatasan dibuka kembali, dan panen menghasilkan tujuh juta ton pangan, Kim Jong-un mungkin akan kembali menonton konser K-Pop, tentu saja bukan boy band tapi girl band.